Apakah setelah menjadi net importer kita jadi masuk neraka sih ? Rasanya 
net importir juga ngga apa-apa kok. 
Namun sebagai org yg berlepotan dengan minyak, malu juga kenapa bisa 
begini ?

Selain akibat produksi tiap lapangan yg menurun secara natural, net 
importir itu bisa berarti pemakaian energi yang kurang efisien. Ini yang 
jarang disentuh. Pemborosan pemanfaatan energi dalam negeri musti direm... 
ciit !


RDP
===============================
Indonesia, "Net Oil Importer"!
Kurtubi

KONDISI industri perminyakan nasional saat ini sungguh memprihatinkan. 
Betapa tidak, pada saat harga minyak dunia sangat tinggi, yakni sekitar 37 
dollar AS per barrel untuk jenis minyak keranjang Organisasi Negara-negara 
Pengekspor Minyak (OPEC basket) atau sekitar 41 dollar AS per barrel untuk 
jenis minyak West Texas Intermediate (WTI), justru produksi minyak mentah 
Indonesia berada di
titik nadir, yakni di bawah 1,0 juta barrel per hari.

SUATU tingkat produksi yang terendah dalam sejarah industri perminyakan 
Indonesia sejak 1970, di mana saat itu produksi minyak mentah mencapai 1,2 
juta barrel per hari (bph). Indonesia kehilangan peluang memperoleh rezeki 
nomplok dari minyak (oil bonanza) seperti pernah dialami tahun 1974, 1979, 
dan 1990.

Produksi minyak mentah pada triwulan I/2004 (di luar kondensat) kini 
tercatat hanya sekitar 0,98 juta bph atau hanya sekitar 360 juta barrel 
dalam satu tahun. Padahal, pada 1999 produksi minyak masih tercatat 
sekitar 1,4 juta bph.

Hal ini berarti turun sekitar 30 persen hanya dalam waktu empat tahun. Ini 
merupakan salah satu kejadian luar biasa dalam sejarah industri 
perminyakan dunia! Karena nyaris tidak ada negara yang mengalami penurunan 
produksi sedrastis itu dalam waktu begitu singkat. Padahal, selama sekitar 
25 tahun (1974-1999) produksi minyak Indonesia berhasil dipertahankan pada 
kisaran 1,4 juta bph hingga 1,6 juta bph atau sekitar 500 juta hingga 580 
juta barrel per tahun.

Keadaan ini telah menimbulkan pertanyaan berbagai pihak, apa gerangan yang 
terjadi dengan industri minyak di Indonesia? Apakah betul melulu karena 
faktor alamiah semata yang telah menyebabkan produksi terus turun tanpa 
mampu direm?
Ataukah ada sebab-sebab lain di luar itu?

Mengapa investasi di sektor ini belum juga pulih, padahal harga minyak 
dunia sudah mulai membaik sejak tahun 2000 (setelah sebelumnya harga 
anjlok hingga hanya sekitar 12 dollar AS per barrel pada tahun 1998 
sebagai akibat konferensi OPEC di Jakarta yang menaikkan kuota pada saat 
permintaan turun karena merebaknya krisis moneter).

Harian The Asian Wall Street Journal (18/5), misalnya, memaparkan fakta 
mengenai status Indonesia yang sudah menjadi negara pengimpor minyak neto 
(net oil importer). Pasalnya, sejak Maret 2004 jumlah minyak yang diimpor 
untuk keperluan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri (sekitar 484.000 
bph) sudah melampaui jumlah minyak yang bisa diekspor (sekitar 448.000 
bph).

Karena produksi minyak mentah dalam negeri yang terus menurun, jumlah 
minyak yang diimpor pada bulan April 2004 terus meningkat menjadi 503.000 
bph, sementara jumlah yang diekspor terus menurun menjadi hanya 413.000 
bph. Bahkan, kini dipertanyakan apakah Indonesia masih layak (eligible) 
menjadi anggota OPEC.
Sementara dari sisi permintaan BBM dalam negeri, jumlahnya terus meningkat 
akibat adanya pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk, dan juga karena 
harga jual BBM yang relatif murah.

Dampak ikutannya adalah apabila harga jual BBM tidak dinaikkan, maka 
jumlah subsidi BBM yang akan membengkak dua kali lipat lebih, jauh 
melampaui jumlah yang dianggarkan APBN 2004. Sebenarnya proses penurunan 
produksi minyak secara alamiah terjadi di semua lapangan minyak di dunia 
karena berkurangnya tekanan yang ada di reservoir minyak di perut Bumi 
sebagai akibat proses produksi.

Bahkan, kini lapangan minyak Ghawar yang merupakan lapangan terbesar di 
Arab Saudi dan juga beberapa lapangan minyak tua di Rusia dan Laut Utara 
juga sedang mengalami proses penurunan produksi. Namun, mereka berhasil 
memperlambat proses penurunan, bahkan berhasil meningkatkan produksi 
secara total.

Kesinambungan dan tingkat produksi minyak suatu negara secara keseluruhan, 
di samping dipengaruhi kemampuan berproduksi lapangan lama (recovery 
factor), juga dipengaruhi produksi lapangan baru yang tentunya dipengaruhi 
ada tidaknya cadangan baru yang ditemukan. Cadangan minyak di perut Bumi 
baru bisa ditemukan kalau ada eksplorasi.

Aturan hukum dan manajemen sumber daya migas suatu negara selalu diarahkan 
untuk meningkatkan (atau sejauh mungkin mempertahankan) tingkat produksi 
dari lapangan yang sudah ada dengan menerapkan berbagai macam teknologi 
produksi yang tersedia sambil terus mengupayakan pencarian cadangan baru 
melalui kegiatan eksplorasi.

Kegiatan eksplorasi bisa dilakukan oleh perusahaan lama yang sudah 
berproduksi di blok atau wilayah lama maupun oleh perusahaan atau investor 
baru di blok atau wilayah baru.

Namun, kalau aturan hukum dan manajemen sumber daya migas tidak tepat, 
tidak konsisten, dan tidak kondusif bagi berlangsungnya kegiatan usaha 
eksplorasi yang risikonya sangat tinggi, maka alih-alih produksi bisa 
ditingkatkan, mempertahankannya pada tingkat tertentu pun menjadi sulit.

Akibatnya, tingkat produksi akan terus melorot dan menurun dan menurun 
terus setiap tahun. Soalnya, tanpa investasi, kemampuan lapangan untuk 
memproduksikan minyak akan terus menurun karena faktor usia lapangan di 
mana jumlah cadangan yang bisa diproduksikan akan terus berkurang.

Demikian juga, tanpa investasi, mustahil ditemukan cadangan baru untuk 
mengganti cadangan lama yang sudah diproduksikan karena tidak adanya 
kegiatan eksplorasi. Di sinilah letak titik krusial yang terjadi pada 
industri perminyakan Indonesia. Perubahan aturan hukum di bidang migas 
ternyata telah memberikan dampak negatif bagi investor, baik dalam rangka 
meningkatkan produksi maupun mencari cadangan baru.

Dampak perubahan aturan

Sejak pemerintah mencanangkan liberalisasi industri migas dengan mengubah 
aturan hukum secara radikal, yakni dengan mengajukan Rancangan 
Undang-Undang Migas ke DPR yang sekaligus mencabut UU Nomor 44 Tahun 1960 
mengenai Pertambangan Migas dan UU No 8/1971 mengenai Pertamina, iklim 
investasi migas serta-merta berubah
menjadi tidak kondusif dan tidak menentu.

Alasannya wajar-wajar saja, karena investor lebih memilih menunggu adanya 
kepastian aturan hukum. Para investor lebih bersikap wait and see sambil 
menunggu RUU Migas disahkan DPR. Ternyata, meskipun DPR sudah mengesahkan 
RUU Migas menjadi UU Migas No 22/2001 pada November 2001, investor belum 
juga datang seperti yang diharapkan.

Kali ini alasannya adalah aturan implementasi UU Migas yang berupa 
peraturan pemerintah (PP) di sektor hulu belum juga keluar, sementara PP 
mengenai Badan Pelaksana Migas (BP Migas) dan perubahan status Pertamina 
menjadi PT (Persero) sudah keluar.

Padahal, PP hulu sangat diperlukan untuk menjadi aturan hukum yang lebih 
detail mengenai bagaimana usaha eksplorasi dan eksploitasi (produksi) 
diatur sehingga investor dapat berusaha dengan lebih pasti. Berhubung PP 
hulu belum ada, maka adalah wajar juga kalau investor migas yang sangat 
diharapkan masih lebih bersikap wait and see. Namun sebenarnya, lebih dari 
hanya sekadar keterlambatan
PP Hulu, ternyata substansi atau materi dari UU Migas ini cenderung 
dijauhi oleh investor hulu.

Pasalnya, dengan UU Migas beban investor dalam rangka mencari cadangan 
baru (kegiatan eksplorasi) yang mengandung risiko tinggi justru menjadi 
lebih terbebani dengan adanya Pasal 31 yang mewajibkan investor untuk 
membayar berbagai pajak dan pungutan selama periode eksplorasi.

Padahal, selama ini (sebelum UU Migas) lebih dari 30 tahun pajak atau 
pungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak impor atas alat-alat 
atau benda modal untuk keperluan eksplorasi, retribusi daerah, dan 
sebagainya tidak pernah ada. Nanti kalau mereka sudah berproduksi, barulah 
dipungut berbagai macam pajak
atau pungutan. Karena selama periode eksplorasi, investor belum tentu 
menemukan cadangan migas.

Lagi pula status investor hulu merupakan "kontraktor" belaka. Menurut 
konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), pemilik sumber daya migas yang ada di 
perut Bumi adalah negara sehingga kalau investor berhasil menemukan 
cadangan minyak di perut Bumi, minyak tersebut 100 persen tetap milik 
negara, bukan milik investor.

Sebagian dari minyak ini baru menjadi milik investor manakala cadangan 
tersebut sudah diproduksi dan sampai di pelabuhan ekspor, maka tidaklah 
tepat untuk membebani rupa-rupa pajak di atas pundak investor yang 
berusaha mencari cadangan baru (eksplorasi) untuk menambah aset atau 
kekayaan milik negara.

Praktik seperti ini sudah sangat umum terjadi di industri minyak dunia 
karena dilakukan hampir semua negara produsen migas, termasuk Malaysia 
yang pernah belajar dari Indonesia di tahun 1970-an dan Rusia yang juga 
mengadopsi model Kontrak Production Sharing (KPS/kontrak bagi hasil) 
Indonesia pasca-Uni Soviet bubar.

Meskipun departemen teknis (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral) 
sudah meminta Departemen Keuangan untuk membebaskan investor migas dari 
berbagai pajak atau pungutan semasa periode eksplorasi, hingga kini tetap 
saja Depkeu belum setuju karena nyaris tidak mungkin mengharap Depkeu 
melanggar Pasal 31 UU Migas.

Selain itu, dengan UU Migas proses investasi migas menjadi lebih 
birokratis dan berbelit-belit, dari sebelumnya yang hanya satu atap, kini 
harus melewati paling tidak tiga atap. Investor yang berniat melakukan 
usaha di sektor hulu terlebih dulu harus berhubungan dengan Direktorat 
Jenderal Migas untuk mengikuti tender blok yang ditawarkan.

Kalau sudah memenangkan tender, mereka harus berhubungan dengan instansi 
lain bernama BP Migas untuk menandatangani kontrak kerja sama dan 
mengajukan rencana anggaran, serta dengan Bea dan Cukai untuk pengurusan 
alat-alat atau benda modal yang diperlukan untuk eksplorasi. Walhasil, 
"liberalisasi" industri migas di Indonesia lewat UU Migas bukannya 
menyederhanakan prosedur guna menambah minat
investor, tetapi justru cenderung menambah mata rantai yang menyebabkan 
investor akan makin menjauh.

Penurunan produksi minyak saat ini juga merupakan buah dari sistem baru 
yang dikembangkan UU Migas di mana pengembangan sebuah lapangan minyak 
untuk segera dapat berproduksi kini mengalami banyak penundaan karena 
proses birokratis yang sangat lamban di BP Migas.

Mestinya saat ini produksi minyak dari wilayah Kalimantan Timur, misalnya, 
sudah bisa ditingkatkan kalau saja proses birokratis di BP Migas bisa 
lebih dipercepat.

BP Migas sebagai lembaga baru cenderung dikembangkan menjadi mata rantai 
birokratis yang tidak efisien. Hal ini tergambar misalnya dari lambannya 
persetujuan AFE (authority for expenditure) seperti yang dikeluhkan banyak 
perusahaan minyak, anggaran yang membengkak, dan jumlah karyawan yang 
meningkat sekitar empat kali lipat bila dibanding dengan sewaktu menjadi 
sebuah direktorat di bawah Pertamina selama lebih dari 30 tahun, padahal 
pekerjaannya sama.

Dengan demikian, jika Indonesia tak hendak berlama-lama dalam status 
sebagai net oil importing country (negara pengimpor neto minyak), 
sekaligus mendorong sumbangan yang lebih besar dari sektor migas bagi 
penciptaan lapangan kerja, maka harus segera diupayakan untuk meningkatkan 
produksi dan cadangan minyak.

Ini bisa dilakukan lewat penyederhanaan sistem, menghapus aturan 
birokratis yang mempersulit investor, mempercepat pengembangan lapangan 
minyak baru termasuk lapangan Cepu dengan segera mengambil keputusan tegas 
apakah lapangan tersebut pada 2010 dikembalikan utuh ke Pertamina atau 
dikerjasamakan dengan Exxon.
Mengingat harga minyak dunia yang tinggi, keputusan pengembangan lapangan 
Cepu harus segera diambil.

Sambil menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi yang sedang mengkaji ulang 
UU Migas karena dinilai bertentangan dengan konstitusi, ke depan 
pemerintahan baru harus segera menyempurnakan manajemen pengelolaan dan 
aturan hukum migas yang konsisten dan berpihak kepada masyarakat (people 
friendly) menuju industri migas yang lebih efisien, aturan hukum yang 
tidak ditakuti investor (investor friendly) karena penciptaan sistem yang 
birokratis dan pembebanan pajak yang tidak tepat.

Kurtubi Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies 
(CPEES), dan Pengajar Program Pascasarjana FEUI

Kirim email ke