>

  RDP

  Terima kasih  ya , kok sampai aku tidak sempat baca tulisan beliau yang
sangat penting itu.
Moga moga  (kembali Pemerintah) mau lebih memperhatikan ilmu ilmu dasar
yang juga tidak kalah pentingnya dengan ilmu aplikasi.Termasuk bagaimana
meningkatkan penerbitan penerbita ilmiah yang sulit mendapatkan dana
karena memang sangat sangat ilmiah , sehinga sulit mendapatkan sponsor.
Kalau mau tahu komentyar emosional saya " memang tetangga diselatan  kita
itu tidak pernah bersahabat kepada kita " (CWIW).
Mau contoh yang paling "up to date" : Pengusiran lebih dari duaratus kiwa
WNI yang sudah tinggal pukuhan tahun dan bekerja di Timor Leste" terjadi ,
tidak ada komentar dari aktivis HAM Australia ( padahal "pelanggaran HAM
pasca Jajag pendapat mereka ribut setengah mati). Lebih meyedihkan lagi
KOMNAS HAM (yang WNI ) juga kok ikut ikut "tidak ribut".
Mengapa YAAAAAAAA ????

Si Abah.


  Dibawah sana komentar T Jacob di Kompas beberapa hari lalu. Namun
> karena ditulisnya di harian kompas, walopun itu juga sebuah publikasi,
> namun nilai ilmiahnya sangat kuecil sekali. Bahkan terkesan emosionil
> (bukan marah looh ... malah melankolis kalao baca judulnya ....  :)
>
> RDP
> ========
> On Fri, 17 Dec 2004 08:51:38 +0700 (WIT), [EMAIL PROTECTED]
> <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>> >
>>
>>  RDP
>>
>>  Ini tragisnya , walaupun penemuan Homo floresiensis itu sudah dibantah
>> sebagai penemuan baru al. oleh Pro. Teuku Jacob , namun komonitas
>> ilmuwan dunia tetap mengakui sebagai suatu "penemuan baru".
>
> Bunga Sengketa dari Flores, Taufan dalam Cawan
>
> Teuku Jacob
>
> HAMPIR dua bulan terakhir media massa dunia ramai membicarakan peninggalan
> manusia Flores yang diaklamasi sebagai spesies baru dan dianggap temuan
> fosil
> manusia terpenting di dunia dalam 50 tahun belakangan.
>
> BERITA ini tentu saja spektakuler dan sangat sensasional, apalagi dimuat
> dalam
> mingguan Nature di London yang mempunyai status ilmiah tinggi, setara
> dengan
> Science di Amerika Serikat. Surat kabar, radio dan televisi di Australia,
> Eropa,
> Amerika, dan Asia menerkam berita itu, termasuk di Indonesia, dan
> membumbuinya
> lagi. Untuk mengejar publisitas ahli-ahli Australia tidak mengindahkan
> travel
> warning pemerintahnya melawat ke Indonesia.
>
> Temuan itu berasal dari peninggalan arkeologis di goa batuan kapur Liang
> Bua (=
> goa dingin) di Flores Barat oleh tim kerja sama Indonesia Australia antara
> Puslit Arkeologi dan Universitas New England di bawah koordinasi Prof
> Soejono
> dan Dr Morwood.
>
> Yang pertama adalah arkeolog prehistori senior Indonesia dan yang
> belakangan
> pakar lukisan goa prehistoris Australia. Studi fosil-(atau subfosil)-nya
> dilakukan oleh Dr Brown, seorang antropolog ragawi Australia, secara
> hands-on
> dan Dr Springer, paleoantropolog Inggris, dari data yang diberikan Brown.
>
> Kesimpulannya dari satu rangka yang dipelajari fosil digolongkan dalam
> spesies
> baru. "Homo fioresiensis", yang erat afinitasnya dengan Homo habilis dari
> 3-4 Ma
> (Mega-annum, juta tahun) SS (sebelum sekarang) yang hidup di Afrika Timur.
>
> Dalam pohon silsilah yang digambarkan, "H floreaiensia" ini merupakan
> keturunan
> langsung dari H habilis dan mengalami pengatalan oleh karena evolusi di
> pulau
> kecil, sehingga kepalanya kecil, setengah dari volume otak cimpansi
> (bahasa
> Kongo) dan tinggi badannya hanya satu meter lebih sedikit.
>
> Ia sudah mahir membuat alat-alat batu, berupa serpih (flakes) dan bilah
> (blades). Antikuitasnya disebut beberapa angka, yaitu 13 ka, 18 ka, 36 ka,
> dan
> 95 ka (kilo annum, ribu tahun), yang diperoleh dengan beberapa metode
> pertanggalan (datasi). Banyak ahli yang menyangsikan reliabilitas metode
> OSL.
>
> Tidak heran para paleoantropolog, arkeolog, anatom, bioantropolog, dan
> geolog
> kuarter gempar, mulai dari Australia sampai ke Inggris, dan dari Turki
> sampai ke
> Amerika. Para kreasionis, yang menenteng teori evolusi dan memegang teguh
> interpretasi harfiah dari Biblla (kreasionisme Protestan) atau Al Quran
> (kreasionisme Islam) memakai kesempatan ini untuk memukul para
> evolusionis, yang
> dianggap menafsirkan temuan menurut keinginannya masing- masing.
>
> SKEPTISMA yang timbul bukan tanpa alasan. Mengapa hanya dari studi satu
> rangka
> saja sudah diambil kesimpulan, padahal ada tujuh rangka (belum dihitung
> dengan
> tepat karena ada tulang yang masih di dalam matrix-tanah-dan belum
> dibersihkan)?
> Rangka LB1 ini dijadikan holotipus, hipodigma di atas mana paradigma
> didirikan.
> Mengapa dibandingkan dengan spesimen H habilis yang terpisah begitu jauh
> dalam
> ruang dan waktu; mengapa tidak dengan Lieng Toge, Liang Momer (dan nama
> pendeta
> Mummersteeg) atau Liang Panas di Flores? Apakah evolusi reversibel: otak
> menjadi
> kecil, lalu menjadi besar lagi?
>
> Apakah adanya beberapa ciri yang sama dengan Homo crectus berarti
> afinitasnya
> erat dengan hominid ini? Apakah bukan karena mikrenkofali (otak kecil)
> yang
> menyebabkan dahi tidak terisi, bentuk tengkorak pentagonal dilihat dari
> belakang, lekuk otak kecilnya tidak besar, karena kurang berkembangnya
> kulit
> otak dan bagian- bagian otak kecil?
>
> Apakah bukan karena mikrognat (rahang kecil) yang menyebabkan bagian ceruk
> geligi tidak mereduksi dan bagian depan dasar rahang bawah tidak
> ketinggalan di
> depan sebagai tonjolan dagu? Gigi geliginya dengan nyata menunjukkan
> spesimen
> itu manusia modern (Homo sapiens), dengan agenesis (tak ada tunasnya) atau
> tidak
> munculnya, rotasi dan berjejalnya beberapa gigi, sedangkan ciri-ciri
> arkaik
> tidak diperlihatkannya.
>
> Laboratorium Bio dan Paleoantropologi di UGM sejak tahun 1960-an bekerja
> sama
> dengan Dinas Purbakala yang kemudian menjadi Pusat Penelitian Arkeologi.
> Temuan
> paleoantropologis dikirim ke Yogyakarta dan temuan-temuan arkeologis
> dikirimkan
> ke Jakarta.
>
> Kerja sama berlangsung dengan mulus, tidak ada yang mengganggu. Di Bandung
> didirikan laboratorium radiometri. Rangka-rangka arkeologis yang pernah
> diserahkan ke Yogyakarta cukup banyak dan berasal dari berbagai pulau dari
> Sumatera sampai ke Irian.
>
> Laboratorium di Yogyakarta memusatkan perhatian pada fosil manusia dari
> Pleistosan Tengah meskipun ada yang lebih tua (bawah) dan lebih muda
> (atas).
> Sampai sekarang terdapat dalam safe kira-kira sepertiga dari fosil-fosil H
> erectus di dunia, dan banyak doktor mendapat derajatnya dengan melakukan
> penelitian di sini, baik dari Eropa, Amerika, maupun Asia.
>
> Sayang, animo dari Indonesia sendiri kurang banyak karena kalah daya
> tariknya
> dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang mempunyai jalur cepat ke
> sukses
> materialistis.
>
> Peneliti di laboratorium Yogyakarta sebetulnya tak terlibat dalam proyek
> penelitian Liang Bua. Memang penulis melakukan penelitian tentang
> sisa-sisa
> manusia dari goa-goa Flores di negeri Belanda yang digali Pater Verhoeven
> tahun
> 1950-an dan kawan-kawan dari laboratorium pernah menyelidiki spesimen dari
> Liang
> Bua yang digali Dr Soejono tahun 1978- 1989.
>
> Terkaitnya laboratorium di Yogyakarta dengan temuan Liang Bua 2003-2004
> adalah
> ketika sebelum puasa 1424 H Prof Soejono meminta tim meneliti tengkorak
> LB1.
>
> Penulis sendiri sedang tidak sehat (bedridden), tetapi dari foto yang
> dibuat
> kelihatan tengkorak itu seperti primat infra- manusia; hanya tengkorak itu
> sebagian masih dalam matrix dan difoto tidak secara standar antropologis.
>
> Baru Juli tahun ini Prof Soejono datang lagi meminta supaya temuan itu
> segera
> diambil dan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi memberi biaya untuk
> transportasinya. Penulis setuju sekali agar ahli-ahli yang relatif muda
> dan
> dengan susah payah direkrut mendapat kesempatan meneliti temuan baru,
> tidak
> semuanya diserahkan kepada ahli-ahli asing saja.
>
> Yang lucu, sekaligus menyakitkan, adalah seorang ahli Australia, yang baru
> dikenal Prof Soejono beberapa belas tahun, menanyakan padanya, yang sudah
> mengenal penulislebih dari 40 tahun, apa penulis dapat dipercaya. Orang
> itu
> harus bercermin dulu karena laboratorium di Yogyakarta sudah tiga kali
> merasa
> tertipu.
>
> DIKABARKAN oleh wartawan-wartawan Australia bahwa ahli-ahli Australia
> sangat
> tidak senang dengan dibawanya fosil itu ke Yogyakarta. Pembantu-
> pembantunya
> juga diberitakan sangat tidak suka studi diadakan di Yogyakarta.
>
> Wartawan-wartawan asing, terutama Australia, diberi tahu, dan penulis
> disibukkan
> oleh pertanyaan-pertanyaan sinis, naif, dan konspiratif tentang
> pengambilan
> tulang-tulang itu; apakah akan dikembalikan, apa gunanya diteliti, apakah
> boleh
> dilihat orang lain, apakah penulis satu-satunya orang yang tak setuju
> dengan
> kesimpulan spesies baru, mengapa tidak diselidiki di Jakarta saja, apakah
> ini
> turf war (perang teritorial) antara ahli dan sebagainya. Patut diketahui
> wartawan-wartawan asing yang mengerti dan cukup obyektif juga banyak.
>
> Dari pertanyaan dan interogasi itu tampaklah kepicikan wawasan. Ada yang
> tak
> mengerti perbedaan antara arkeologi dan paleoantropologi. Ada yang
> menyangka
> bahwa studi paleoantropologi tidak memerlukan instrumentasi, fasilitas
> rekonstruksi, dan bahan bandingan, seperti rangka atau replika kera,
> manusia
> sekarang, fosil-fosil manusia, perpustakaan, dan lain-lain.
>
> Gertak dan intimidasi, suap dan presi tidak mempan untuk tim di
> Yogyakarta.
> Memberi dana penelitian tidak berarti bahwa pendana boleh memasukkan
> hidungnya
> dalam urusan interm sebuah negeri.
>
> Tidak ada deputy sheriff arkeologi untuk Asia Tenggara yang leluasa
> mendesakkan
> kemauannya. Memang di Australia penggalian arkeologis dilarang atas
> permintaan
> penduduk asli yang menganggap suci kuburan moyangnya dan banyak temuan
> dahulu
> sudah dikuburkan kembali (penulis pernah diminta bantuan dalam soal ini
> dahulu),
> sehingga arkeolog Australia yang diproduksi terus, terpaksa menjelajah ke
> Asia
> Tenggara (yang kaya peninggalan purba) dan Pasifik Selatan; jadi turf war,
> kalau
> ada, hanya sepihak, berupa turf conquest oleh conquistadores zaman akhir.
>
> Kalau bukan karena kerja sama yang sudah berakar dengan Pusat Arkeologi,
> tim
> Yogya sudah merasa cukup dengan koleksi fosil H erectus dari 100 ka sampai
> 1,8
> Ma SS. Banyak mahasiswa asing telah melakukan penelitian di laboratorium
> Yogya
> sehingga fitnah bahwa koleksi setempat tertutup sangat memuakkan.
>
> Tentu saja kalau sedang diteliti sekarang, tidak diterima peneliti lain
> secara
> simultan, sehingga tidak berpuluh tangan memperebutkan sekerat tulang.
> Fosil
> titipan untuk studi tentu penulis harus memerhatikan syarat-syarat
> penitip,
> tidak dapat dipamerkan sembarangan.
>
> Fosil-fosil yang penting tentulah tidak diperlihatkan kepada setiap turis
> yang
> lewat, bahkan mahasiswa pascasarjana yang akan meneliti pun memerlukan
> rekomendasi dari guru besarnya. Koleksi penting membutuhkan kurator yang
> arif,
> tahu memelihara fosil dan kepada siapa boleh diberi izin meneliti.
> Wartawan-wartawan asing boleh mencoba minta lihat dan menimang-nimang
> fosil
> manusia di lembaga-lembaga di negeri Barat.
>
> KALAU kita mau mendapat gambaran yang seimbang, jangan hanya membaca koran
> Australia. Baca koran-koran, dengar radio, serta lihat televisi-televisi
> Belanda, Jerman, Jepang, China, Malaysia, Amerika, dan lain-lain. Penulis
> cukup
> banyak mendapat telepon, faksimile, dan e-mail, termasuk dari Australia
> yang
> pendapatnya sama.
>
> Ada ahli Australia yang mau mendesakkan agar semua sisa manusia arkeologis
> yang
> pernah diserahkan kepada Laboratorium Paleoantropologi Yogyakarta
> diserahkan
> kembali ke Pusat Arkeologi, dan jumlahnya cukup banyak dan memakan tempat,
> di
> samping fosil-fosil hewan yang diperoleh dalam penggalian di Jawa sejak
> tahun
> 1963 yang kurang tempatnya. Lihat saja berapa kuat presi ini, yang katanya
> hendak melibatkan Pemerintah Australia.
>
> Tentang tulang belulang dari Liang Bua kesimpulannya adalah sebagai
> berikut,
> sementara menunggu penelitian keseluruhan usai. Mungkin dua rangka adalah
> katai,
> mengalami pigmisasi oleh evolusi insuler, seperti dibuktikan pula oleh
> terdapatnya Stegodon timorensis yang katai.
>
> Paling kurang satu menderita kelainan mikrokefali primer (kepala kecil),
> dengan
> mikrokrani (tengkorak kecil), mikronkafali (otak kecil), dan mikrognati
> (rahang
> kecil), yang berakibat rotardasi mental, terganggunya perkembangan kulit
> otak,
> terutama bagian dahi, otak kecil dan sebagainya, sehingga terdapat
> ciri-ciri
> pseudoarkaik, yang sepintas lalu ada persamaannya dengan tengkorak H
> erectus
> atau H ergaster.
>
> Isi tengkorak yang diukur lebih besar sedikit daripada yang telah
> diumumkan,
> tinggi badannya menurut beberapa ahli yang telah menghitungnya juga lebih
> tinggi
> dari 106 cm. Penulis rasa Liang Bua ini ada relasinya dengan tengkorak
> Liang
> Toge yang pernah dianggap proto-Negrito oleh Verhoeven (yang penulis rasa
> bukan).
>
> Membuat taxon (kategori dalam taksonomi) yang baru tidaklah mudah. Spesies
> baru
> harus memperlihatkan bahwa ia mempunyai kompleks biologis atau morfologis
> total
> yang berbeda dari takson lain sehingga dapat disimpulkan mereka tak
> interfertil
> (dapat saling kembang biak). Jangan mengabaikan kemungkinan adanya
> paleopatologi
> (penyakit purba), di samping memperlihatkan geokronologi, arkeostratigrafi
> dan
> paleodemografi.
>
> Sebagai penutup, jangan menganggap bahwa penemuan manusia katai dalam
> penggalian
> ini sama sekali tidak penting. Di Eropa dan Amerika Selatan memang pernah
> dilaporkan penemuan individu mikrokefal dan beberapa ribu atau ratus tahun
> yang
> lalu.
>
> Akhir kalam, berita Liang Bua ini terlalu digelembungkan sehingga
> menimbulkan
> tautan dalam gelas. Prof. Tjia dari Kuala Lumpur mengirim faksimile kepada
> penulis yang berbunyi:
>
> Saya (dan istri) sangat menyokong tindakan Pak Jacob. Setidak-tidaknya
> supaya
> tidak lebih simpang siur pernyataan "petualang kebudayaan" dari luar.
> Banyak di
> antara mereka ingin membuat " kejutan"-benar atau kurang benar-dan mereka
> sering
> menganggap penyelidik tempatan kurang mampu... Our people should be in
> control
> of the material...,"
>
> Sebelumnya dalam Kompas awal November Dr Moendardjito, Prof Sedyawati, dan
> Drs
> Arief Rahman, Ketua Unesco Indonesia, sangat mengkhawatirkan temuan Flores
> itu
> akan "digaibkan" ke Australia.
>
> Teuku Jacob Profesor Emeritus Paleoantropologi Universitas Gadjah Mada,
> Yogyakarta
>
> ---------------------------------------------------------------------
> To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
> To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
> Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
> IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
> IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
> Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan
> Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
> Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
> Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
> Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
> Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau
> [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
> Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
> ---------------------------------------------------------------------
>
>



---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke