kalau sudah pernah dipostingkan..delete saja ====================================================
Bisnis & Investasi Selasa, 21 Desember 2004 UU Kelistrikan dan UU Migas Dr Kurtubi PENCABUTAN UU Kelistrikan Nomor 20 Tahun 2002 oleh Mahkamah Konstitusi karena beberapa pasalnya dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 telah menimbulkan shock beberapa pihak karena ketidaksiapan menerima putusan MK tersebut. Padahal, proses judicial review atas UU No 20/2002 yang diajukan oleh beberapa komponen masyarakat tersebut telah berlangsung cukup lama. Bahkan, pihak MK telah menggelar beberapa kali sidang terbuka dan telah pula mendengar keterangan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan para ahli. AKAN tetapi, karena menurut sistem ketatanegaraan yang disepakati bersama bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan keputusan yang final dan mengikat, seyogianya semua pihak dapat menerima keputusan itu dengan legowo. Harus menyadari bahwa itu merupakan keputusan yang terbaik buat bangsa ini, sekaligus merupakan peringatan bagi semua pihak di dalam membuat undang-undang agar tetap memerhatikan secara saksama ketentuan di dalam konstitusi, terutama yang menyangkut barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pasalnya, aturan dasar bagi barang yang menguasai hajat hidup orang banyak secara tegas telah diatur di dalam Pasal 33 UUD 1945. Ketentuan konstitusi itu mengharuskan kita lebih waspada dan berhati-hati di dalam mengadopsi sistem dari mana pun, termasuk dalam rangka mengadopsi agenda Konsensus Washington bagi liberalisasi industri kelistrikan nasional. Terlebih hingga saat ini tidak semua liberalisasi kelistrikan yang sedang dan telah dilakukan di dunia akan menguntungkan rakyat. Dalam arti, tidak semua liberalisasi kelistrikan menghasilkan harga listrik yang lebih murah jika dibandingkan dengan sebelum liberalisasi. Bahkan yang sering terjadi justru sebaliknya, harga listrik meningkat setelah liberalisasi, seperti di California, Swedia (Ferdinand Banks, 2003). Untuk mendapatkan jaminan agar harga listrik tidak naik setelah liberalisasi, banyak pihak di Amerika Serikat mengusulkan agar di dalam UU Liberalisasi Kelistrikan perlu dicantumkam pasal mengenai manfaat dari liberalisasi bagi rakyat berupa ketentuan agar harga listrik harus lebih rendah setelah liberalisasi. Jelas, permintaan seperti ini sulit untuk dipenuhi karena tidak ada satu pihak pun yang berani menjamin bahwa harga listrik di sisi konsumen akan menjadi lebih murah setelah liberalisasi. Kendati secara teori, pasar persaingan dengan banyak pemain akan menghasilkan barang dengan harga murah dan kualitas yang tinggi. Hal ini merupakan salah satu kendala mengapa hingga saat ini sebagian besar negara bagian di AS masih belum mau melaksanakan liberalisasi kelistrikan, di samping masih sulit melepaskan diri dari sindrom kegagalan liberalisasi kelistrikan di California. Menurut Majalah Energy Market, Juni 2004, di AS baru beberapa negara bagian yang telah melakukan liberalisasi (Texas, Illinois, Pennsylvania, Massachussets, Connecticut, New Jersey, Maryland, Virginia, Ohio, dan Michigan). Sementara sebagian besar hingga saat ini masih belum melakukan liberalisasi, bahkan masih belum meloloskan UU Liberalisasi Kelistrikan-nya, seperti terjadi di: Colorado, Washington, Idaho, Utah, Wyoming, Nebraska, North Dakota, South Dakota, Kansas, Indiana, Kentucky, Tennessee, Alabama, Georgia, South Carolina, North Carolina, Vermont, Minnesota, Iowa, Missouri, Mississippi, Louisiana, Florida, Oregon, Nevada, New Mexico, Oklahoma, Arkansas, West Virginia, Alaska, dan Hawaii. PENGALAMAN liberalisasi kelistrikan masih belum cukup meyakinkan untuk ditiru. Hal itu terbukti karena masih sulit untuk memperoleh efisiensi yang optimal. Liberalisasi ternyata menimbulkan biaya transaksi yang tinggi sebagai akibat penerapan prinsip unbundling (pecah-belah) yang diperparah oleh kerugian akibat skala usaha yang harus dikorbankan. Pasalnya, listrik dan juga komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak lainnya ternyata mempunyai perilaku ekonomi yang berbeda dengan komoditas ekonomi lainnya, seperti pecel lele, mobil, telepon genggam, biskuit, jasa angkutan udara. Di mana semakin banyak pemain, jenis, dan merek yang semakin bagus karena rakyat akan diuntungkan. Sebab harga akan turun, sedangkan kualitas akan meningkat. Sejalan dengan proses judicial review dari UU No 20/2002, saat ini MK juga sedang melakukan judicial review UU Migas No 22/2001. Substansi yang dipermasalahkan dari UU Migas ini adalah sama dengan UU kelistrikan, yakni adanya benang merah yang sama-sama menerapkan Konsensus Washington, yakni liberalisasi dengan menerapkan prinsip unbundling dan berusaha menghilangkan peran negara. Di UU Migas, masalah Kuasa Pertambangan (KP) sebagai wujud Kedaulatan Negara atas sumber daya alam migas ternyata tidak secara tegas diatur sebagaimana halnya di UU No 8/1971. Bahkan, ada kecenderungan KP di dalam UU Migas, setelah diperoleh oleh pemerintah dari negara berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), ternyata malah oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral diserahkan kepada pelaku usaha melalui Pasal 1 Angka 5 dan Pasal 12 Ayat (3). Selain itu, komoditas BBM yang merupakan produk yang menguasai hajat hidup orang banyak yang hingga kini belum ada substitusi yang memadai pengaturannya, termasuk penetapan harganya (Pasal 28), sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Padahal, dalam praktiknya hingga saat ini semua negara masih ikut campur menentukan harga jual melalui mekanisme pajak BBM (hingga mencapai 400 persen), sekaligus sebagai alat implementasi Kebijakan Energi Nasional-nya. Selain itu, UU Migas ternyata membahayakan kepentingan nasional karena jaminan atas kontrak production sharing (KPS)/kontrak kerja sama telah diperlebar. Awalnya dari hanya dijamin oleh aset BUMN (Pertamina) sebagai penanda tangan kontrak di dalam pola hubungan perusahaan ke perusahaan (B to B) dengan pihak perusahaan minyak asing. Kini kontrak diubah dengan jaminan seluruh aset pemerintah di dalam pola hubungan perusahaan dengan negara (B to G). Karena yang menandatangani kontrak dari pihak Indonesia saat ini adalah BP Migas, yang merupakan bagian dari pemerintah. IIMPLIKASI ekonomi dari kehadiran lembaga BP Migas sangatlah merugikan keuangan negara karena BP Migas bukan merupakan entitas bisnis maka konsekuensinya BP Migas tidak berhak untuk melakukan kegiatan bisnis, termasuk kegiatan menjual minyak dan gas bagian negara yang berasal dari para KPS. Dengan demikian, untuk menjual minyak dan gas tersebut, BP Migas harus menunjuk pihak ketiga. BP Migas tidak bisa bernegosiasi bisnis dengan pembeli langsung, sehingga harga jual tidak optimal. Di sisi lain negara harus membayar fee kepada pihak ketiga yang ditunjuk! Ketentuan ini telah membuka peluang bisnis bagi para perantara/oil traders atas biaya negara. Lebih parah lagi, dalam mengembangkan dan menjual LNG Tangguh ternyata BP Migas malah menunjuk British Petroleum (BP). Padahal, BP diketahui punya share di Australian North West Shelf LNG yang merupakan pesaing LNG Tangguh dalam merebut pasar Guangdong, selain BP juga mempunyai share di receiving terminal di China. Faktanya, LNG Tangguh "kalah" di Guangdong dan mendapatkan "ganti" ke Fujian dengan harga jual yang supermurah, yakni maksimal dengan harga sekitar 2,66 dollar AS per MMBTU yang dikaitkan dengan harga minyak mentah maksimal 25 dollar As per barrel, untuk masa 25 tahun. Harga jual (dalam nilai kalori) yang lebih rendah dari harga jual minyak tanah bersubsidi yang dibeli oleh rakyat miskin di Indonesia telah menimbulkan dampak ikutan yang negatif. Para pembeli LNG Badak yang berasal dari Jepang menuntut penurunan harga LNG Badak yang mereka beli dengan menunjuk harga jual LNG Tangguh ke Fujian yang lebih rendah sekitar 40 persen dari harga LNG Badak. Padahal, saat ini diketahui demand LNG dunia terus naik sehingga Indonesia kesulitan mencari LNG di pasar spot guna mengganti penurunan LNG Arun. Kalau harga ke Fujian merupakan harga LNG termurah di dunia, dan tuntutan para pembeli Jepang dipenuhi, tak ayal lagi bahwa ini merupakan bentuk nyata kerugian keuangan negara dari sistem yang dikembangkan oleh UU Migas. Belum lagi investasi migas yang anjlok dalam lima tahun terakhir sebagai akibat UU Migas yang dibarengi dengan penurunan produksi crude dari sekitar 1,4 juta barrel per hari (bph) pada tahun 1998 menjadi hanya sekitar 1,0 juta bph pada tahun 2004. Sementara itu , biaya produksi membengkak dari sekitar 2,3 miliar dollar AS pada tahun 1998 menjadi sekitar 3,9 miliar dollar AS per barrel pada tahun 2004. Pasal 31 UU Migas telah mengubah iklim investasi migas secara drastis menuju kehancuran industri migas nasional. Betapa tidak, selama lebih dari 30 tahun atas dasar UU No 8/1971, investor migas selalu dibebaskan dari segala pajak dan pungutan selama dalam tahap eksplorasi (mencari migas). Setelah mereka menemukan cadangan migas dan berproduksi, barulah mereka dibebani berbagai jenis biaya. Cara ini dinilai sangat fair, tetapi dengan UU Migas, investor harus membayar PPN, pajak impor, berbagai pungutan lainnya meskipun belum menemukan migas. Akibatnya, hingga saat ini soal pajak semasa eksplorasi menjadi persoalan yang nyaris mustahil untuk bisa dipecahkan selama UU Migas masih berlaku. DENGAN demikian, kalau lah MK akan mencabut UU Migas, industri migas nasional akan menjadi lebih efisien dan menguntungkan semua pihak, termasuk investor. Oleh karena itu, hubungan dengan investor akan kembali ke pola B to B, proses investasi akan lebih simpel, pengurusan alat-alat untuk keperluan industri migas di Bea dan Cukai akan lebih cepat. Penghapusan pajak semasa eksplorasi, penjualan migas bagian negara akan menjadi lebih optimal, BUMN tidak perlu di pecah-pecah sehingga menutup peluang penjualan Kilang Balikpapan atau Kilang Cilacap, seperti yang dikehendaki oleh Bank Dunia. Biaya pokok BBM yang dibutuhkan rakyat akan selalu lebih rendah dari harga BBM sistem unbundling, otonomi daerah sama sekali tidak dihambat oleh UU No 8/1971 karena tak mungkin akan merugikan daerah penghasil dengan membebankan biaya di luar lapangan migas yang bersangkutan. Kalau UU Migas dicabut, pemerintah perlu segera mengeluarkan PP dan keppres yang sejalan dengan keputusan MK, sekaligus untuk menyempurnakan UU No 8/1971. * Penulis Pengajar Program Pasca Sarjana FEUI, bekerja di Pertamina. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi -----Original Message----- From: ismail [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, December 20, 2004 8:44 PM To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [iagi-net-l] BP Migas Berharap Mahkamah Konstitusi Tidak Batalkan U U Migas Dua UU ( Migas , listrik) tsb yang dimasalahkan bahwa dua UU itu bertentangan dg UUD, seharusnya kedua komoditi tsb dikuasai oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Sebetulnya yg dinamakan "Dikuasai" oleh Negara"itu bagaimana to ? Apakah Negara harus mengambilnya sendiri dari dalam tanah, kemudian menjual atau memproses dan menjual hasilnya kepada rakyat dg harga yang murah ( kalau ongkos produksinya lebih mahal maka negara hrs mensubsidi.) Apakah memberikan Kuasa Pertambangan (KP) itu juga tdk bertentangan dg UUD, mengingat Kekuasaan yg dimiliki negara dialihkan kepada pihak lain. Kalau kita amati felosofi dari UU tsb adalah memberikan fungsi masing masing kepada setiap stikholder SDA, bagaimana seharusnya fungsi Negara sebagai "Penguasa SDA", Bagaimana fungsi pemerintah sebagai "alat Negara" dan Bagaimana fungsi pedagang bid SDA. yang sebelumnya fungsi fungsi tsb saling dirangkap, ibaratnya pemain tapi juga merangkap wasitnya. ISM ISM ----- Subject: Re: [iagi-net-l] BP Migas Berharap Mahkamah Konstitusi Tidak Batalkan U U Migas > > Adakah yg tahu sisi lemah dari UU Migas ? > > Saya kok malah curiga adanya perebutan kepentingan pribadi/kelompok > > ketimbang kepentingan negara secara utuh ya.... > > ah suudzon kali ya ... :( > > > > Moga2 tidak ada yg berusaha membatalkannya. Sehingga kita dapat > > langsung konsentrasi meningkatkan usaha penemuan ladang-ladang baru. > > > RDP > > === > > > Menurut saya secara UU , UU no 21 itu sudah memadai dalam arti kata > bahwa memang Negara melalui BP Migas sudah sangat menentukan arah dari > kegiatan sektor hulu Migas. > BP Migas bukan hanya saham (??? mungkin istilahnya ndak tepat ya) dikuasai > secara mayoritas oleh Negara , tetapi dia memang adlah "negara". > Memang kemudian terjadi komplikasi komplikasi akibat BP - Migas bukanlah > suatu entity bisnis. > Hal lain yang dilupakan (????) adalah suatu kenyaatan bahwa untuk memiliki > suatu posisi tawar yang tinggi Pemerintah harus memiliki suatu entity > bisnis yang kuat dibidang hulu migas (baca Pertamina yang kuat). > Sehingga kalau Kontraktor agak "ndablek" , BUMN inilah yang menjadi alat > pemerintah untuk melakukan aktifitas. > Dus Pertamina harus mendapatkan perlakuan khusus yang positip tentu saja ! > Hanya kenyataan pahit yang ada didepan mata, contoh soal CEPU yang memang > sejak awal adalah WKP Pertamina , malahan kebijakan Pemerintah kayaknya > ndak jelas dan tidak mendukung BUMN-nya sendiri. > Apakah ada trade off dibelakang layar saya tidak tahu kontrak TAC dengan > apa mungkin dg Exxonmobil diperpanjang , tapi embargo senjata dilepas . Ya > kalau ini sih namanya politik !!!! > Tentu saja dengan catatan bahwa Pertamina harus mau berubah dan menjadi > suatu entity bisnis yang didukung oleh direksi dan karyawan yang sudah > "tahu bisnis". > Amandemen ???? > Mungkin saja , ditolak dan Pemerintah mengamandemen UU tsb, tapi apakah > kalau itu ditolak , lalu kegiatan hulu menjadi kacau , kayaknya tidak juga > ya . > Kan pengaturan akan kembali ke UU . No 8 thn 1971 (Cwiiiw). > > Si Abah > > > > BP Migas Berharap Mahkamah Konstitusi Tidak Batalkan UU Migas > > Sabtu, 18 Desember 2004 | 05:27 WIB > > > > TEMPO Interaktif, Jakarta:Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP > > Migas) berharap,Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan (mencabut) > > Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. > > > > "Semestinya UU Migas tidak mengalami nasib yang sama seperti > > Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Ketenagalistrikan" kata Kepala BP > > Migas Rachmat Sudibjo di Bogor. > > > > Menurut dia, UU Nomor 21 Tahun 2001 itu merupakan penyempurnaan dari > > undang-undang yang lama. UU Migas yang baru itu lebih rinci mengatur > > berbagai hal seperti kewajiban pasokan gas untuk kebutuhan dalam > > negeri bagi para kontraktor, mempertegas aturan-aturan perpajakan > > serta kewajiban kontraktor dalam kontrak bagi hasil, dan juga mengatur > > kontrak-kontrak gas secara lebih detail. > > > > "Dalam undang-undang yang lama hanya disebutkan bahwa hanya Pertamina > > yang diperbolehkan mengadakan kontrak bagi hasil dengan mitra swasta. > > Tapi hanya itu saja, sama sekali tidak diatur hal-hal lain," katanya. > > > > BP Migas saat ini tengah menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi yang > > akan menilai apakah UU Migas yang baru bertentangan dengan > > Undang-Undang Dasar 1945. Menurut rencana, Mahkamah Konstitusi akan > > membacakan putusan pada Selasa (21/12). > > > > Rachmat menjelaskan, berbagai permasalahan di industri minyak dan gas > > bumi merupakan warisan undang-undang yang lama seperti masalah > > kelanjutan kontrak gas alam cair di Arun (Aceh) dan Bontang > > (Kalimantan Timur). > > > > "Kalau hanya melihat kulitnya, memang akan gampang memperoleh > > kesimpulan yang salah," Rachmat, "Tapi saya pikir Mahkamah Konstitusi > > dapat melihat secara lebih luas permasalahan di industri migas ini." > > > > Dia mengakui, dalam undang-undang yang baru diatur ketentuan > > perpajakan seperti mewajibkan kontraktor bagi hasil membayar langsung > > pajak penghasilan pada pemerintah. Pasal ini diberlakukan karena di > > masa lalu, biasanya kontraktor mengelak dari kewajiban itu dan meminta > > pemerintah untuk menagih pada pemerintah negara asal kontraktor > > tersebut. > > > > Kebijakan ini akhirnya menimbulkan efek domino pada kebijakan > > perpajakan yang lain. "Departemen Keuangan meminta pajak pertambahan > > nilai dibayar dimuka, tidak lagi ditunda setelah kegiatan produksi. > > Sedangkan Bea dan Cukai juga meminta bea masuk impor alat-alat berat > > juga dibayar di muka," kata Rachmat. > > > > Akibat dari kebijakan itu, kontraktor menuding pemerintah melanggar > > kesepakatan dalam kontrak, karena pajak pertambahan nilai dan bea > > masuk dianggap sudah termasuk dalam penerimaan pemerintah dari pola > > bagi hasil yang disepakati. > > > > Pemerintah kemudian berjanji untuk mengembalikan dana pajak > > pertambahan nilai dan bea masuk yang telah dibayarkan. Kenyataannya, > > pengembalian itu memakan waktu jauh lebih lama daripada yang > > dijanjikan, sehingga jumlahnya terus membengkak. > > > > Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU > > Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Alasannya, paradigma > > yang mendasari undang-undang itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD > > 1945. > > > > Dalam kesimpulannya, hakim menyebutkan bahwa ketenagalistrikan > > merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat > > hidup orang banyak, sehingga cabang produksi itu haruslah dikuasai > > negara. > > > > Pengertian dikuasai negara, menurut Mahkamah Konstitusi, berarti > > negara tidak hanya menjadi pengatur ataupun pengawas tapi juga turut > > mengelola dan mengurus cabang produksi tersebut. Karena itu, hanya > > badan usaha milik negara yang masih dikuasai negara (mayoritas > > sahamnya dimiliki pemerintah) yang boleh mengelola cabang produksi itu > > agar bisa terjangkau oleh rakyat. > > > > Dara Meutia Uning - Tempo > > > > > > > > > > > > -- > > my blog : > > http://putrohari.tripod.com/Putrohari/ > > > > --------------------------------------------------------------------- > > To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] > > To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] > > Visit IAGI Website: http://iagi.or.id > > IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ > > IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi > > Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan > > Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id > > Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) > > Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) > > Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) > > Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau > > [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) > > Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) > > --------------------------------------------------------------------- > > > > > > > > --------------------------------------------------------------------- > To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] > To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] > Visit IAGI Website: http://iagi.or.id > IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ > IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi > Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id > Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) > Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) > Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) > Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) > Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) > --------------------------------------------------------------------- > > --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) --------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------