Belum sebulan berlalu, dua  bencana gempa melanda Indonesia : gempa dan tsunami 
di Aceh - Sumatra Utara 26 Desember 2004 dan gempa Palu 24 Januari 2005. 
 
Yang di Aceh - Sumut begitu besar kekuatan (laporan yang banyak dikutip M = 
8,9), cakupan wilayah (Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika Timur), dan korban 
tewas dan korban2 ikutannya. Setahu saya, inilah bencana dengan korban tewas 
terbesar yang pernah melanda Indonesia. Selama ini, kita selalu pegang angka 
36.000 korban tewas untuk erupsi dan tsunami Krakatau 1883 atau 91.000 korban 
tewas untuk erupsi Tambora 1815. Sekarang, angka korban tewas itu dilampaui 
gempa-tsunami Aceh-Sumut yang sampai kemarin oleh MetroTV dilaporkan telah 
dievakuasikan sebanyak 96.000 korban tewas, angka sebenarnya pasti lebih dari 
itu...
 
Gempa di wilayah Palu kemarin merusak sekitar 100 rumah (detik.com hari ini), 
gempa berkekuatan M = 6.2, tidak dilaporkan tsunami terjadi walau Palu berada 
di ujung Teluk Palu yang sempit bagai lembah, tidak dilaporkan terjadi korban 
tewas.
 
Dua kejadian ini barangkali membuat kita berpikir : bagaimana gempa yang dapat 
membangkitkan tsunami (tsunamigenic earthquake) dan bagaimana gempa yang tidak 
dapat membangkitkan tsunami (non-tsunamigenic earthquake). Masyarakat di luar 
geologist pun sudah banyak yang bertanya.  Dua bencana geologi yang berturut2 
terjadi di Indonesia ini sedikit banyak akan membuat masyarakat terhubung ke 
geologi. Sesedih dan separah apapun bencana, ia masih menyisakan pelajaran buat 
siapa pun.
 
Gempa Aceh dan Gempa Palu banyak berbeda dalam karakteristiknya. 
 
Yang Aceh terjadi berhubungan dengan zone subduksi antar lempeng, ini akan 
memberikan mekanisme penyesaran (focal mechanism) thrusting atau normal fault. 
Kalau terjadi di laut, dan kekuatannya besar, runtuhnya blok lapisan batuan 
karena pematahan vertikal ini tentu akan menggerakkan kolom air laut di 
atasnya. Hasil akhirnya adalah tsunami, sejauh parameter oseanografi dan 
morfologi pantai di sekitarnya mengizinkan itu terjadi. 
 
Yang Palu terjadi berhubungan dengan Sesar Palu (Palu-Koro; Palu-Matano Fault 
Zone), ini akan memberikan focal mechanism strike-slip, gerak lateral tanpa 
gerak vertikal yang berarti. Episentrum di darat, 16-20 km tenggara Palu, tidak 
menimbulkan tsunami di Teluk Palu, ia hanya membuka sedikit celah di trace 
Palu-Koro, maka keluarlah  mata air panas yang sekarang di wilayah tenggara 
Palu tengah jadi objek wisata dadakan (ini menjadi bukti juga bahwa gempa 
membuka migrasi subsurface fluid - suatu pelajaran buat petroleum geology, 
sesar aktif bergerak menggerakkan fluida).
 
Jadi, bagaimanakah tsunamigenic earthquake itu ? Secara teoretis, adalah : (1) 
pusat gempa di dasar laut, (2) gempa dangkal (< sekitar 40 km depth), (3) 
bermagnitudo besar (> sekitar M 6,5), (4) mempunyai tipe pematahan batuan 
(focal mechanism) sesar naik atau sesar turun. Statistik tsunami di Indonesia 
(secara dominan) menunjukkan keempat parameter ini berlaku. Penyimpangan 
terhadap teori ? Selalu bisa saja terjadi, alam tak pernah bisa dimengerti 100 
% bukan ? 
 
Yah..Indonesia memang "nasibnya" dipagari zone subduksi dan dikawal strike-slip 
faults besar2. Melingkar dipagari subduksi Sunda, subduksi Banda, subduksi 
Papua Utara, subduksi Halmahera, subduksi Sulawesi Utara; dikawal Sumatra 
Fault, Rembang-Madura-Kangean-Sakala Fault, Lupar-Adang-Walanae-Sumba 
Fault/Fracture, Sorong-Sula Fault, dan Palu-Koro-Matano Fault. Di situlah : 
homes of earthquakes hypo/epicenters. Wajar saja kalau setiap tahun di 
Indonesia rata-rata terjadi 460 gempa dengan magnitudo rata-rata M > 4,0 (data 
1900-1990).
 
Indonesia is sleeping with earthquake !
 
Salam,
awang

                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'

Kirim email ke