Pikiran Rakyat , Senin, 25 April 2005

Oleh SRI-EDI SWASONO

GONJANG-GANJING dan kekacauan mengenai BBM saat ini tidak terlepas 
dari skenario panjang untuk melumpuhkan (disempowering) kedaulatan 
ekonomi Indonesia.

Secara lebih umum, pelumpuhan kedaulatan ekonomi Indonesia berawal 
dari upaya mengamendemen UUD 1945, amendemen mana ternyata telah 
mengubah substansi dan ideologi nasional yang terkandung dalam UUD 
1945. Sehingga sebenarnya UUD 1945, setelah diamendemen 4 kali telah 
menjadi UUD baru, yang lebih tepat disebut sebagai UUD 2002. 
Pembukaan UUD (jiwa) dan batang tubuh UUD (badan) tidak bersambung 
lagi. Sejak berlakunya UUD 2002 ini maka ekonomi benar-benar 
didorong untuk bercorak ekonomi liberal, kapitalistik, dan 
bermekanisme pasar bebas. Dengan demikian, maka bagi Indonesia
globalisasi adalah liberalisasi dan neoliberalisasi serta membuka 
diri untuk penjajahan ekonomi.

Secara lebih khusus, kekacauan mengenai BBM Indonesia saat ini 
bersumber pada UU No. 22 Tahun 2001 sebagai niat untuk 
meliberalisasi dunia perminyakan Indonesia. UU itu dengan cara 
terang-terangan berniat jahat untuk menggusur Pasal 33 UUD 1945 yang 
berperan sebagai penjaga kedaulatan ekonomi Indonesia.

Seharusnya, tanpa keraguan sedikit pun MK (Mahkamah Konstitusi) 
menyatakan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi batal 
demi hukum. Hal ini dapat kita lihat dari Konsideran UU No. 22 Tahun 
2001 yang keliru dan menegaskan, "... Mengingat... Pasal 33 ayat (2) 
dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah 
dengan perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945...."

Konsideran semacam ini sama sekali tidak valid karena, pertama, 
Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) dan ayat (3) sebenarnya tidak 
berubah hingga sekarang dan tetap utuh sebagaimana aslinya. Kedua, 
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku 
saat ini bukanlah ayat-ayat yang diubah pada perubahan kedua (tahun 
1999-2000), tetapi adalah pada perubahan keempat (tahun 2002). 
Padahal, perubahan kedua Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) sangat 
berbeda bunyi dan substansinya dengan perubahan
keempat. Perubahan keempat atau "final" ini baru berlaku pada tahun 
2002.
Dengan kata lain, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 telah merujuk pada 
Pasal
33 dan ayat-ayatnya yang tidak sama dengan Pasal 33 dan ayat-ayatnya 
sesuai
perubahan keempat tahun 2002.

Artinya, UU No. 22 Tahun 2001 yang berlaku pada tanggal 23 November 
2001
tidak bisa merujuk pada Pasal 33 hasil perubahan keempat ("final") 
yang
berlaku tahun 2002.

Ketiga, andaikata pun tidak ada selisih tahun tentang ditetapkannya 
UU No.
22 Th. 2001 dengan Undang-Undang Dasar "final" yang beralaku pada 
tahun 2002
dan andaikata pun diberlakukan "asas keterkaitan antarayat" dalam 
suatu
pasal UUD, maka hal ini tidak bermakna apa pun karena keseluruhan 
bunyi ayat
pada Pasal 33 hasil amendemen kedua sama sekali berbeda dengan bunyi
keseluruhan ayat-ayat Pasal 33 dalam hasil perubahan keempat 
yang "final".

Keempat, jadi perubahan kedua (yang akhirnya diubah lagi oleh 
perubahan
keempat) telah membuat Pasal 33 kehilangan "asas kekeluargaan", 
menjadi
liberalistik dan menonjolkan "asas efisiensi" yang tidak jelas 
tataran mikro
dan makronya. Bunyi Pasal 33 hasil perubahan kedua bibitnya telah 
kelihatan
sejak awal yang mengakibatkan Prof. Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo
mengundurkan diri tanggal 23 Mei 2001 dari Tim Pakar BP-MPR.

Dengan kata lain, UU Migas Tahun 2001 sejak awal sudah memiliki 
antisipasi
kuat bakal "menang" dalam menggusur Pasal 33, dan ini semua merupakan
rencana untuk melumpuhan kedaulatan nasional, khususnya dalam dunia
perminyakan nasional.

Lie Chin Wei telah menepuk dada, menyatakan diri sebagai "market
libertarian" dan menanti-nanti diubahnya Pasal 33 UUD 1945 asli 
sebagai
tantangan pribadinya. Lie Chin Wei ini mulai banyak penganutnya. 
Ketika hal
ini saya sampaikan kepada Presiden, Presiden menyatakan "tidak 
senang"
dengan ucapan seperti itu dan minta saya menyampaikan sikap Presiden 
itu
kepada yang bersangkutan. Moga-moga tidak terlalu banyak elite 
bisnis dan
politik serta kaum birokrat kita yang menjadi sontoloyo atau agen 
asing yang
merasa sah-sah saja menggerogoti kedaulatan ekonomi nasional 
Indonesia.

DPR telah "kebobolan" menerima UU Migas dan Presiden saat itu telah 
lengah
ketika mengesahkan UU Migas ini. Sudah selayaknya MK (Mahkamah 
Konstitusi)
menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak 
dan Gas
Bumi batal demi hukum, karena konsiderannya keliru dan tidak 
valid.***

Penulis, pengamat ekonomi.
--- End forwarded message ---





---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke