wah Pemerintah hanya dapat sharing 0% alias ndak dapat apa2. Pemasukan negara cuma pajak saja? Trus gimana dgn cost recoverynya? apa dianggap impas shg pemerintah ndak kebagian? Ini masih jamannya P Harto, tapi kok nggak ada koreksi, baru sekarang ributnya ketika kontrak mau diperpanjang lagi. Kita tunggu cerita selanjutnya.
Bagaimana dg kabar Cepu?

salam,
pr

_______________________________________________________________
Senin, 4 September 2006
JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah kalangan kembali mempertanyakan kontrak pengembangan minyak dan gas (migas) Blok Natuna D Alpha karena amat janggal. Itu terkait dengan formula bagi hasil yang menempatkan pemerintah memperoleh bagian nol persen. "Jika bagian pemerintah masih nol persen, lebih baik kontrak pengembangan Blok Natuna dihentikan saja. Kita akan minta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar menangani masalah ini," kata anggota Komisi VII DPR Alvin Lie kepada Suara Karya di Jakarta, Minggu. Menurut Alvin, KPK dan BPK layak menelusuri dugaan skandal yang merugikan negara dalam perpanjangan kontrak migas Blok Natuna yang berakhir pada tahun depan. Pandangan serupa juga ditunjukkan anggota Komisi VII Ramson Siagian dan Sekjen Aktivis ProDemokrasi Ferri Juliantono. Sejak dua belas tahun terakhir, Indonesia tak memperoleh sepeser pun bagian dari hasil eksploitasi gas di Blok Natuna. Apa yang diperoleh pemerintah dari lapangan migas tersebut sekadar pajak. "Blok Natuna sebagai penghasil gas sejak tahun 1994 dikelola ExxonMobil dengan basic agreement yang seharusnya berakhir pada Januari 2005, namun diperpanjang hingga tahun 2007," kata Alvin. Dia menilai, kontrak pengembangan Blok Natuna sangat mengherankan. Sebab pemerintah hanya memperoleh bagian nol persen, sementara ExxonMobil 100 persen. "Data ini sahih karena keluar dari mulut kepala BP Migas dan Menteri ESDM sendiri." ujar Alvin. Informasi tersebut juga dibenarkan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Kardaya Warnika saat rapat kerja dengan Komisi VII di DPR-RI, beberapa waktu silam. Kardaya sebelumnya sempat menyatakan, Blok Natuna sejak tahun 1980-an dikelola oleh perusahaan Esso yang kini berubah menjadi Exxon. Pada saat itu pemerintah masih menikmati hasil eksploitasi Blok Natuna. Tetapi sejak tahun 1994, Esso dan Pertamina mengubah kontrak yang menempatkan pihak Esso/ExxonMobil menguasai penuh hasil eksploitasi itu, sementara pemerintah pusat sekadar kebagian pajak. Terkait kenyataan itu, Ramson Siagian sempat mengingatkan bahwa UU Pertamina menggariskan, pemerintah menerima pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil pengelolaan lapangan migas, dan tidak sekadar menerima pajak yang dikenakan terhadap perusahaan migas. Bagi pengamat perminyakan Kurtubi, kontrak yang diberlakukan di ladang gas Natuna ini sangat aneh. Dalam sejarah, katanya, tidak pernah ada model kontrak eksploitasi migas seperti itu. Lazimnya, menurut dia, eksploitasi gas alam cair oleh kontraktor asing harus berbagi hasil dengan pemerintah. Biasanya jika kondisi lapangan sulit dan memerlukan biaya pengembangan besar, pemerintah mendapat bagian 60 persen, sementara pihak kontraktor 40 persen. "Jadi, tidak dikenal kontrak yang membuat pemerintah hanya memperoleh pajak," ujar Kurtubi. Di sisi lain, Koordinator ProDemokrasi Ferri Juliantono menilai kontrak kerja sama pengelolaan Blok Natuna tidak masuk akal dan merugikan negara. Karena itu, dia meminta pemerintah agar meninjau ulang seluruh kontrak karya pertambangan. Apa yang terjadi dengan kontrak bagi hasil Blok Natuna juga terjadi di lapangan migas lain. Kontrak pengembangan yang merugikan pemerintah itu juga terjadi dalam eksploitasi gas alam cair di Aceh. "Lagi-lagi kontrak ini melibatkan ExxonMobil," kata Manager Advokasi dan Kampanye Energi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Andrie S Wijaya. (Abdul Choir)


---------------------------------------------------------------------
-----  PIT IAGI ke 35 di Pekanbaru
----- Call For Papers until 26 May 2006 ----- Submit to: [EMAIL PROTECTED] ---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke