Seorang netter memposting dalam komen di Blog sangat menunjukkan
kekhawatiran akan bencana (lihat dibawah).

Tidak bisa dipungkiri bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan bencana
sangat meningkat pasca tsunami dan gejala-gejala alam yang lain. Ini
merupakan momentum pas untuk mengajarkan "ilmu geologi" ke masyarakat awam.
Perhatian masyarakat awam saat ini sangat besar. Berita di koran Kompas
(terlampir) dan juga Pikiran rakyat pekan lalu, menunjukkan bagaimana media
pun menjadikan issue kebencanaan ini sebagai issue penting. Apalagi
tulisannya dihiasi dengan penulis dari Tokyo, Australia, Amerika ... pasti
soal bencana ini akan diutamakan untuk dimuat di media.

Berita kebencanaan selalu saja terdengar "njelgurr !" ketika muncul dimedia
saat ini dan selalu dilalap habis oleh pembaca. Ada dua dampak yaitu
ketakutan dan kewaspadaan. Keduanya memang "thrilling" dan meningkatkan
adrenalin.

Saya ngga tahu bagaimana semestinya menjadi geoscientis menjelaskan fenomena
ini ke masyarakat awam? Pembelajaran adanya fakta-fakta alam memang mencerahkan
namun tak dipungkiri kadang-kadang "menakutkan".

Yth, Pak Koesoema dan Pak Untung sebagai sesepuh IAGI dan HAGI mungkin punya
pendapat bagaimana semestinya seorang geoscientist menjelaskan fenomena alam
ini, dengan memberikan pencerahan dan seminim mungkin memebrikan rasa takut
(trauma).
Bagaimana pula pendapat Kang ADB, Pak Awang, juga pak ketum IAGI-HAGI ?

RDP
"Hanya bisa mendongeng"

===
bagai mana dengan berita di kompas ini
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/26/humaniora/3555770.htm

Sabtu, 26 Mei 2007

Patahan Sunda
Ancaman Eksistensial Jawa-Sumatera


Mu'man Nuryana

Gempa bumi hebat yang mengguncang Pulau Sumatera dan Jawa dalam tiga tahun
terakhir ini adalah sebuah bukti bahwa Patahan Sunda (Sunda Trench)—salah
satu seksi dari Ring of Fire di belahan barat Pacific rim—telah
memperlihatkan aktivitas seismik paling berbahaya.

Aktivitasnya bisa saja terus berlanjut karena terkait dengan pergerakan
lempeng-lempeng permukaan bumi. Tetapi, bagi penduduk yang menghuni kedua
pulau tersebut dapat menjadi sebuah ancaman serius terhadap keberlangsungan
hidupnya.

Magnitude gempa bumi di Sumatera dan Jawa bisa saja melampaui apa yang
pernah dialami selama ini, sementara tidak ada orang yang mampu memprediksi
kapan dan bagaimana hal itu terjadi. Dengan asumsi bahwa penduduk tetap
tinggal di situ, maka maksimum yang dapat mereka lakukan adalah mengurangi
risiko bencana.

Tetapi, sebagaimana yang kita alami sekarang, rehabilitasi dan rekonstruksi
pasca-bencana di Aceh, Nias, Yogyakarta, Pangandaran, dan Padang yang telah
menyedot sumber daya demikian besar, hasilnya masih jauh dari yang
diharapkan.

Pemerintah Indonesia terpaksa menangguhkan berbagai prioritas pembangunan
nasional untuk mendahulukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana.
Penanggulangan bencana dengan pendekatan pencegahan juga tidak gampang
karena perlu koordinasi, integrasi, dan sinergi serta pengerahan sumber daya
yang luar biasa besar.

Ongkos penanggulangan bencana alam bisa jauh lebih mahal dibandingkan dengan
pemindahan penduduk secara massal dari daerah rawan bencana ke wilayah yang
relatif lebih aman.

Muasal semua gempa

Patahan Sunda membentang mulai dari Teluk Bengali, bersambung ke Pulau
Andaman dan Nikobar, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan seterusnya, berakhir
di Tanimbar. Patahan Sunda adalah patahan vulkanik yang membentuk Kepulauan
Sunda Besar dan Sunda Kecil.

Patahan ini termasuk ke dalam tipe convergent boundary, di mana dua buah
lempeng permukaan bumi—Eurasian Plate dan Indian-Australian Plate—dalam
proses bertumbukan (subduction). Di atas Sunda Plate inilah terhampar
pulau-pulau besar dan kecil, laksana mutu manikam di khatulistiwa yang
dikenal dengan Kepulauan Nusantara, sebuah kompleks kepulauan terbesar di
dunia.

Patahan Sunda adalah sebuah contoh klasik dari patahan vulkanik. Deformasi
tektonik sepanjang zone subduksi Patahan Sunda inilah yang menimbulkan gempa
bumi di Samudra Hindia tanggal 26 Desember 2004. Begitu pula peristiwa gempa
bumi di Nias (28 Maret 2005), di Yogyakarta (27 Mei 2006), di Pangandaran
(17 Juli 2006), dan di Padang (6 Maret 2007). Semua disebabkan oleh
aktivitas Patahan Sunda.

Masih banyak lagi peristiwa gempa bumi dengan magnitude lebih rendah yang
tidak menimbulkan korban manusia dan kerugian harta benda, sehingga kurang
mendapat perhatian masyarakat. Padahal, ini semua merupakan tanda-tanda alam
yang memberikan peringatan kepada manusia untuk berpikir.

Fenomena yang sama muncul pada April tahun 1815 dengan sebuah ledakan
cataclysmic volcano Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, yang merupakan sebuah
letusan paling kuat yang tercatat dalam sejarah. Debu vulkanik Tambora
sampai menutupi langit berbulan-bulan lamanya sehingga menurunkan temperatur
bumi sampai 3 derajat Celsius.

Meskipun telah setahun pasca-letusan Tambora pada waktu itu, hampir semua
lapisan hemisphere di belahan utara mengalami temperatur lebih dingin selama
bulan-bulan musim panas. Masyarakat di sebagian Benua Eropa dan Amerika
Utara mengenal tahun 1816 itu sebagai "the year without a summer", akibat
tertutupnya permukaan bumi oleh awan debu dari vulkanik Tambora.

Ancaman eksistensial

Motivasi tulisan ini sekadar mengingatkan bahwa aktivitas seismik Patahan
Sunda adalah sebuah ancaman paling realistis dan serius dewasa ini bagi
keberlanjutan bangsa Indonesia, terutama bagi mereka yang tinggal di Pulau
Sumatera dan Jawa.

Di lepas pantai barat Pulau Sumatera dan lepas pantai selatan Pulau Jawa,
terbentang Patahan Sunda yang menakutkan, seperti dilukiskan dalam konsep
mitologi Jawa Kuno; yang menyebut Laut Hindia sebagai "Laut Kidul" yang
penuh misteri karena memiliki palung laut paling dalam di dunia (7,725
meter) setelah Patahan Diamantina di Lautan Hindia (8,047 m).

Subduksi atau benturan antara Eurasian Plate dan India-Australian Plate itu
dikenal dengan Patahan Sunda dengan aktivitas seismik yang semakin intensif
akhir-akhir ini. Apakah fenomena alam ini perlu dihiraukan atau biarkan saja
berlalu bagai air mengalir di sungai? Jawabannya bergantung pada kita
sendiri. Kalau gempa bumi di Pulau Sumatera dan Jawa dinilai sebagai
peristiwa alam biasa, maka kita cukup menjalaninya saja sebagai sebuah
realitas dalam kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi, kalau kita berpikir untuk kepentingan eksistensi bangsa
Indonesia dalam kerangka jangka panjang, maka bencana alam akhir-akhir ini
dapat menjadi sebuah informasi penting bagi kajian lebih lanjut. Dengan
begitu didapatkan sebuah landasan berpikir ilmiah untuk mendukung sebuah
kebijakan nasional berupa migrasi penduduk untuk kepentingan eksistensi
sebuah bangsa Indonesia dalam kerangka jangka panjang.

Migrasi besar-besaran

Cukup beralasan bila mulai berpikir tentang konsep migrasi penduduk dalam
skala besar dalam konteks jangka panjang bagi mereka yang tinggal di Pulau
Sumatera dan Jawa ke pulau lain yang relatif lebih aman. Di dalam Nusantara
sendiri, Indonesia memiliki Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi yang relatif
aman bagi permukiman penduduk.

Bahkan, kalau perlu memikirkan bagaimana agar bisa mengembangkan permukiman
penduduk di daerah baru di Benua Australia bagian utara karena lebih mudah
terjangkau dan lebih aman. Benua yang demikian luas itu belum mampu
dimanfaatkan secara optimal oleh penduduknya untuk permukiman dalam skala
besar.

Benua itu pada hakikatnya adalah tanah milik bangsa Aborigin yang serumpun
dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Hanya karena konsep kolonialisasi
yang diterapkan oleh pemerintah kolonial sehingga muncul batas-batas
antarnegara, di mana penduduk serumpun sudah tidak bisa lagi saling
bersilaturahmi dan berbagi tanah bagi kehidupan bersama.

Bangsa-bangsa Eropa (Inggris, Portugis, Spanyol, Perancis, Belanda,
Irlandia) bisa mengembangkan permukiman dalam skala massal (koloni) di luar
wilayah negara mereka, yakni Amerika Utara, Kanada, Asia (Canton, Hongkong,
Macao), Australia, dan Afrika (Afrika Selatan), dan Pulau Timor. Kenapa
bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak boleh melakukan hal yang sama dengan
motivasi yang lebih mulia, yakni kemanusiaan? Kalau dahulu bangsa Eropa
melakukan ekspansi karena alasan ekonomi dengan menguasai sumber daya alam,
tetapi kita dapat melakukan hal yang sama atas dasar keselamatan dan
eksistensi manusia.

Kerja sama internasional dapat membuka ruang bagi kita untuk memperoleh hak
hidup lebih layak dan aman. Apa artinya warga dunia menyebut dirinya sebagai
"komunitas global" kalau dalam situasi kesulitan seperti yang kita hadapi
mereka tidak mampu memberikan solusi yang lebih adil....

Mu'man Nuryana Peneliti Tamu di Hosei School of Policy Sciences, Universitas
Hosei, Tokyo

--
http://rovicky.wordpress.com/

Kirim email ke