Pak Ade Kadarusman,
Itulah di negeri kita sampai dewasa ini. Tidak banyak memikirkan bagaimana 
pengambilan data yang terpercayai, pengolahan atau data processing dan 
penafiran yang mendalam. Hal ini karena di bangku kuliah sedikit mendapat 
pelajaran, katakan training, tentang masalah "how to handle data". Untuk 
mendapatkan data paleomag, misalnya,  tentu tidak sederhana. Demikian juga data 
geofisika yang lain. Kebanyakan kita hanya mendaptakan data yang terolah. 
Kemudian rame-rame melakukan penafsiran. Jarang yang menanyakan "How good are 
the data" Inilah yang harus kita tingkatkan baik di Perguruan tinggi maupun di 
pusat-pusat penelitian, yaitu "data acqusition dan processing, dan, tentu 
penafsiran yang mendalam".
M. Untung
  ----- Original Message ----- 
  From: Ade Kadarusman 
  To: iagi-net@iagi.or.id 
  Sent: Sunday, July 15, 2007 5:16 PM
  Subject: Re: [iagi-net-l] Kemagnetan Purba, Radiometri dan Dinamika Tektonik 
Indonesia


  Apa kabar Pak Awang?, salut dgn konsisten dgn ide-ide!
  Kelemahan dari ahli geologi kita adalah keberanian untuk merekonstruksinya 
'puzzle' geologi nusantara secara keseluruhan, kebanyakan kita hanya mampu 
menghasilkan data paleomag dan age dating, trus merekonstruksi dalam daerah 
sangat terbatas. Memang kendala utama geologi yang komplek, Robert Hall, 
Hamilton, Eli Silver dll mampu melakukannya.
  Pak Katili sudah mencobanya sejak awal 70an, (tectonophysic, 1975), dan 
sekarang Pak Awang yang akan melanjutkannya, bukan begitu ya Pak?

  Saya sendiri sudah mencobanya dalam geologi Sulawesi (tectonophysic 2004), 
masih terbatas hanya daerah Sulawesi dan sekarang menyerah untuik 
melanjutkannya saat ini, mungkin dgn pengetahuan Pak Awang di Geologi Indonesia 
barat dan timur bisa merekonstruksi secara keseluruhan

  Kind regards,
  Ade Kadarusman
  Sorowako

  Awang Harun Satyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    Sebagai wilayah yang pernah disebut sebuah buku "where two worlds collide" 
Indonesia harus mempunyai data paleo-magnetisme dan umur radiometri yang 
banyak. "Dua dunia" bertemu di Indonesia, asiatic vs australian. Satu dari 
Asia, satu dari Australia - pecah dari tempat asalnya - berjalan ke wilayah 
tropika - saling berbenturan - dan kini membentuk Indonesia. Semua yang 
diwarisi dari Asia maupun Australia kini terekam di Indonesia baik untuk flora, 
fauna, maupun geologi. Wilayah "primitive" atau "asli Indonesia" pun ada, yaitu 
daerah2 yang kini punya flora dan fauna endemic - wilayah Wallacea yang saya 
maksud, yang meliputi sebagian Sulawesi dan pulau2 di Nusa Tenggara.
     
    Apa bukti geologi bahwa Nusantara dibentuk dari pertemuan sebagian kerak 
Asia dan Australia ? Satu-satunya hanyalah paleo-magnetisme yang didukung data 
umur radiometri. Ambil sampel batuan umur pra-Tersier di Sumatra atau 
Kalimantan atau Jawa atau Papua, dan ukur radiometri serta kemagnetan purbanya, 
bila ia menunjukkan posisi lintang di luar 6 degLU - 11 degLS, maka batuan itu 
bukan asli batuan yang terjadi di Indonesia, tetapi ia dibawa dari tempat lain 
dan dialihtempatkan ke wilayah Nusantara oleh proses tektonik yang sangat 
kompleks.
     
    Teori tektonik lempeng mendapatkan sokongan yang sangat kuat dari 
paleo-magnetisme dan radiometri. Kita di Indonesia, menyadari bahwa Indonesia 
adalah laboratorium alam untuk lahirnya dan pengujian teori tektonik lempeng, 
telah melakukan pengukuran paleomagnetism dan radiometry sejak tahun 1970-an.  
Lebih dari dua puluh  tahun dihimpun sampai sekarang dan kini bisa ditampilkan 
dalam bentuk peta regional skala 1 : 10.000.000 terbitan Pusat Survai Geologi, 
Bandung. Karya ahli2 geologi dari lembaga ini (dulu P3G) patut diacungi jempol 
(antara lain : Mubroto, Permanadewi, Hardjono, Wahyono, Rab Sukamto).
     
    Berikut ini adalah beberapa pengamatan yang keseluruhannya menunjukkan 
bahwa Indonesia "is a mosaic of terranes" .
     
    Paleozoic terranes. Batuan Karbon Akhir di Kepala Burung, Papua berasal 
dari 47 degLS, sementara yang berumur Perem Awal dari 46deg LS, yang berumur 
Perem Akhir berasal dari 35 degLS. Kini batuan-batuan ini di tempatnya sekarang 
telah terputar melawan arah jarum jam sebanyak 60 deg. Batuan Perem di Timor 
berasal dari lokasi 20-30 deg LS dan telah terputar CCW 20-40 deg dari arah 
semula. Kita bisa cek atlas dan akan tahu di mana saat ini posisi 47 deg LS itu 
misalnya.
     
    Mesozoic terranes. Batuan Trias-Yura di Kepala Burung pun berasal dari 
tempat di 42 deg LS dan telah terputar CCW (counter clockwise) 60 deg. Batuan 
Trias di Seram berasal dari 9 deg LS (wilayah Timor sekarang) dan telah 
terputar 90 deg CCW (kita tahu bahwa ia terlibat dalam proses bending of Banda 
Arc). Batuan Trias di Sumatra berasal dari 15-20 degLS dan di kedudukannya kini 
telah terputar 40 deg CW (clock wise) - ini membuktikan bahwa Sumatra memang 
telah terputar searah jarum jam. Batuan Trias di Kalimantan, menariknya, 
posisinya dari dulu memang di situ, bisa dipahami sebab Kalimantan termasuk 
core of Sundaland, hanya telah terputar > 60 deg CCW - membuktikan bahwa 
Kalimantan memang terotasi CCW. Batuan Kapur di Kalimantan Barat pun sudah 
sejak Kapur memang di situ, hanya telah terputar 50 deg CCW. Tetapi, batuan 
Kapur di Sulawesi dan Misool berasal dari 16-20 degLS. Sedangkan, batuan Kapur 
di Halmahera berasal dari utaranya, 5 deg LU.
     
    Tertiary events. Data kemagnetan purba pada zaman Tersier bisa menunjukkan 
dinamika geologi Indonesia. Data paleo-magnetisme batuan Tersier menunjukkan 
bahwa rotasi CCW masih terjadi di Kalimantan Tengah selama Eosen, dan tidak 
terjadi lagi sejak Oligosen. Hanya sedikit rotasi CW masih teramati selama 
Oligosen dan Miosen di Sumatra. Data paleomagnetik di bagian timur Pulau Jawa 
menunjukkan bahwa bagian ini berasal dari posisi lebih selatan dari posisinya 
sekarang dan telah mengalami rotasi CCW ke posisinya sekarang. Data 
paleomagnetik Sumbawa-Flores menunjukkan posisi purba yang hampir sama dengan 
sekarang.
     
    Pergerakan mendatar dan perputaran yang lebih nyata selama Tersier teramati 
pada data kemagnetan purba di pulau-pulau Sulawesi, Timor, Seram, Halmahera, 
Waigeo dan Kepala Burung. Batuan Paleogen di Sulawesi Selatan masih menunjukkan 
pergerakan, sedangkan setelah itu atau lebih muda dari Miosen Akhir tak 
menunjukkan pergerakan rotasi atau mendatar (kita memahaminya sebab wilayah ini 
telah terjepit oleh benturan Buton di sebelah timurnya sejak Miosen Akhir). 
Lengan Utara Sulawesi pernah terputar 90 deg CW ke posisinya sekarang sejak 
Eosen-Pliosen.  Batuan Eosen Faumai di Kepala Burung berasal dari 28 deg LS dan 
Miosen Klasafet berasal dari 19 deg LS. Beberapa pergerakan terranes ini dan 
bukti paleomagnetiknya telah saya pakai dalam merekonstruksi beberapa 
pergerakan tektonik wilayah2 di Indonesia (Satyana, 2003 : PIT IAGI-HAGI - 
accretion and dispersion of SE Sundaland; Satyana, 2006 : SEG Jakarta 
geosciences - docking and post-docking tectonic escape of eastern Sulawesi; dan 
Satyana, 2006 : PIT IAGI Pekanbaru - tectonic escapes of Indonesia, dan 
Satyana, 2007 - collisional orogens of Indonesia - in progress).
     
    Penelitian paleo-magnetisme dan rediometri masih terus dilakukan 
kawan-kawan kita di PSG (Pusat Survai Geologi). Beberapa penelitian terbarunya 
untuk Sumatra menunjukkan bahwa batuan Permo-Karbon Kelompok Pegunungan 
Tigapuluh berasal dari 40 degLS; sedangkan batuan Formasi Mengkarang dan 
Palepat berumur Karbon berasal dari 30 deg LU. Benturan "dua dunia" ini terjadi 
di Sumatra sejak Trias bagian atas.
     
    Adalah menjadi tugas dan tantangan para ahli geologi Indonesia yang 
mencintai Nusantara untuk terus-menerus mengumpulkan data ini dan 
merekonstruksinya. Data sudah banyak dan tersedia dan terus dikumpulkan - 
jangan terlalu bergantung kepada rekonstruksi para ahli dari luar. Kita 
mestinya sudah lebih daripada mampu melakukannya sendiri sebab kita sudah 
melakukannya lebih daripada 30 tahun !
     
    Salam,
    awang




------------------------------------------------------------------------------
  Building a website is a piece of cake. 
  Yahoo! Small Business gives you all the tools to get online.

Kirim email ke