Pak Awang,

Terimakasih,

Salam
Yanto Salim


----- Pesan Asli ----
Dari: Awang Harun Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Terkirim: Senin, 23 Juli, 2007 11:12:53
Topik: RE: Hal: [iagi-net-l] anomali gairah eksplorasi di Indonesia


Pak Yanto,
 
Perizinan pengeboran di areal kehutanan memang menjadi faktor kendala 
tersendiri untuk pelaksanaan komitmen. Secara garis besar untuk skala nasional, 
sekitar 20 % penundaan komitmen disebabkan hal itu. Ketersediaan rig merupakan 
kendala yang signifikan, apalagi untuk laut dalam. Kendala lain adalah 
perubahan skala prioritas (pada blok produksi biasanya). Kendala lain yang yang 
signifikan pada penundaan komitmen adalah ketersediaan dana.
 
BPMIGAS bersama KKKS mengatasi masalah perizinan kehutanan dengan 
mendiskusikannya bersama instansi terkait misalnya Badan Planologi Kehutanan di 
pusat dan dengan semua kantor kehutanan di daerah, melakukan peninjauan di 
lapangan (karena peruntukan hutan sering tidak sesuai lagi dengan 
kenyataannya), dll. Mengatasi masalah kelangkaan rig dengan cara melakukan 
konsorsium KKKS yang akan menggunakan rig, dengan cara itu yang empunya rig 
lebih tertarik untuk menggerakkan rig-nya ke lokasi2 anggota konsorsium karena 
lebih menguntungkan (kontrak jangka panjang dengan harga bersaing). Baru2 ini 
telah terbentuk konsorsium tujuh KKKS di wilayah Selat Makassar yang akan 
menggunakan satu rig. Mereka menyebut dirinya : MSEC – Makassar Straits 
Explorers Consortium. Saya pikir ini satu-satunya cara, pelaksanaan komitmen 
pemboran di wilayah ini telah tertunda dalam tiga tahun ini akibat kelangkaan 
rig laut dalam.
 
Salam,
awang
 
From: yanto salim [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Monday, July 23, 2007 10:56 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Hal: Hal: [iagi-net-l] anomali gairah eksplorasi di Indonesia
 
Kelupaan satu tambahan lagi, pengusaha hutan, dan agribisnis yang lain juga 
faktor yang membuat tambahan benang kusut, sudah menjadi rahasia umum mereka 
juga bisa tidak memberikan ijin dan kalau ada maka ada yang memungut ganti rugi 
atau biaya perbaikan jalan.
----- Pesan Asli ----
Dari: yanto salim <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Terkirim: Senin, 23 Juli, 2007 10:52:48
Topik: Hal: [iagi-net-l] anomali gairah eksplorasi di Indonesia
Menarik ulasan ulasan pak Andang dan pak Awang.
Kira- kira berapa persen, (kalau ada dan bisa direlease), perusahaan yang 
serius tapi mengalami kendala perijinan dan approval baik ditingkat pusat 
maupun daerah. Dan juga terbatasnya persediaan rig untuk drilling.
Karena saya kira problem perijinan yang sangat merugikan tata waktu saat ini 
ibarat benang kusut dan buntutnya tidak terlaksananya kommitment kommitment.
Kalau terjadinya keterlambatan karena perijinan atau terbatasnya rig apa kira 
kira tindakan BP MIGAS?
 
Salam,
 
Yanto Salim
----- Pesan Asli ----
Dari: Awang Harun Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Terkirim: Senin, 23 Juli, 2007 9:00:35
Topik: RE: [iagi-net-l] anomali gairah eksplorasi di Indonesia
Pengamatan yang baik, Pak Andang. 
 
Itu juga gairah sekaligus keprihatinan saya. Gairah, karena sebentar-sebentar 
sebagai anggota tim penilai penawaran wilayah kerja Migas, saya diundang untuk 
memberikan penilaian atas proposal dan presentasi calon investor yang akan 
bereksplorasi di suatu wilayah. Prihatin, karena sebagai pekerja Divisi 
Eksplorasi BPMIGAS, saya sering melihat surat2 dari investor baru mengajukan 
penundaan pelaksanaan komitmennya, juga saya tak jarang menagih2 ke investor2 
tersebut agar segera mengebor sumur yang proposal dan AFE-nya sudah disetujui.
 
Gairah bereksplorasi dalam bidang migas bisa ditunjukkan dengan data 
bertambahnya blok2 baru dalam pengawasan BPMIGAS. Misalnya : 2002 (2 blok 
baru), 2003 (15 blok), 2004 (16 blok), 2005 (10 blok), 2006 (5 blok), 2007 (25 
blok). Maka sekarang BPMIGAS mengawasi 155 blok, bandingkan dengan 93 blok pada 
lima tahun lalu (sudah termasuk pengurangan oleh blok2 yang terminasi). 
 
Keprihatinan, di sisi yang bertentangan, bisa ditunjukkan dengan data realisasi 
jumlah sumur eksplorasi dibor dan menurunnya penambahan cadangan migas baru. 
Coba lihat : 2002 (74 sumur eksplorasi, success ratio 50 %), 2003 (53 sumur, SR 
48 %), 2004 (62 sumur, SR 46 %), 2005 (53 sumur, SR 30 %), 2006 (82 sumur, SR 
25 %). Penambahan cadangan migas baru : 2000 (2757 MMBOE), 2001 (2236 MMBOE), 
2002 (2373 MMBOE), 2003 (1050 MMBOE), 2004 (907 MMBOE), 2005 (250 MMBOE). 
Catatan tambahan : kebanyakan sumur dibor di wilayah matang dan sudah puluhan 
tahun jadi wilayah produksi, kebanyakan penemuan bervolume kecil, juga success 
ratio-nya). 
 
Data gairah dan keprihatinan ini memang tidak paralel sebab realisasi pekerjaan 
di atas sebagian besar bukan dilakukan oleh para investor baru, tetapi oleh 
para investor lama. Tetapi, saat ini memang tengah terjadi dua sisi yang 
berlawanan : di satu sisi betapa bergairahnya akuisisi blok eksplorasi, di sisi 
lain : prihatin pemenuhan realisasi program eksplorasi.
 
Tidak selarasnya antara gairah yang menggebu untuk mendapatkan wilayah 
eksplorasi dengan pelaksanaan komitmen yang banyak ditunda sebenarnya telah 
diusahakan diatasi dengan berbagai peraturan baru yang termuat dalam Peraturan 
Menteri (Permen) ESDM no. 040/2006. Menerapkan butir2 di peraturan tersebut, 
diharapkan calon investor yang menang tender blok baru adalah benar2 investor 
yang mampu dalam hal teknis dan pendanaan. Tetapi, ternyata, masih ada juga 
yang tak sesuai seperti yang diharapkan. Untuk itu, tim lelang dan tim 
penawaran wilayah kerja sedang meninjau lagi Permen no. 040/2006 tersebut untuk 
melakukan modifikasi2.
 
Dalam Permen tersebut, seperti yang Pak Andang ceritakan, memang tim memeriksa 
lebih detail calon investornya. Banyak proposal dan presentasi yang diulang 
alias “di-herd” sebab dalam pengujian pertama calon investor tak lulus secara 
teknis. Ada yang mengulang sampai 3x, tetapi ada juga yang sekaligus lulus. 
Nama-nama calon investor yang asing di telinga atau baru didengar mau tak mau 
diperiksa lebih ketat, terutama masalah kemampuan finansialnya. Untuk investor2 
yang namanya baru ini banyak didukung oleh konsultan2 G & G dari oil companies 
atau perguruan tinggi yang umumnya saya kenal. Yang mengejutkan saya adalah 
bahwa pemain2 baru di bidang migas ini betapa beraninya mengajukan daerah yang 
dalam penilaian saya sangat berisiko. Banyak yang proposal teknisnya hanya 
berisi regional petroleum geology suatu cekungan. Yang seperti ini pasti akan 
diulang, sampai ia bisa menunjukkan mengapa ia tertarik ke suatu wilayah yang 
sudah ditinggalkan orang, apa kini strateginya, dll.
 
Aturan2 dalam Permen tentang penjaminan pun mestinya bisa cukup menyaring bahwa 
calon investor yang menawar adalah yang cukup mampu secara finansial. 
Contohnya, ia harus memasukan jaminan pelaksanaan joint study sebesar 500.000 
USD. Dalam studi, si calon investor harus meningkatkan mutu data melalui 
re-processing data seismic dan/atau penambahan data baru melalui survey seismic 
bila calon investor ngotot pengen mengambil suatu daerah tetapi datanya kurang. 
Lalu, ketika memasukkan dokumen tender (partisipasi) si calon investor harus 
memasukkan jaminan penawaran (bid bond) 20 % dari nilai bonus tanda tangan. 
Kemudian jaminan bonus 100 % dari besar bonus tanda tangan diserahkan 14 hari 
setelah diumumkan sebagai pemenang. Kemudian si investor juga harus menyerahkan 
jaminan pelaksanaan (performance bond) sebesar anggaran survey seismic komitmen 
3 tahun pertama masa eksplorasi. Kegagalan memenuhi semua komitmen itu (studi, 
tender, pelaksanaan komitmen), maka jaminan tersebut
 secara sepihak akan dicairkan.
 
Nah, bisa kita lihat bahwa aturan2 penjaminan tersebut cukup “memberati” calon 
investor yang “main-main” alias perusahaan minyak-minyakan. Setelah gagal dalam 
pengujian teknis apalagi setelah tahu banyak penjaminan yang mesti diserahkan, 
ada juga yang mengurungkan niatnya berinvestasi di bidang migas.
Maka, sekarang banyak investor yang dari awal mengajukan daerah sudah membentuk 
konsorsium beberapa perusahaan agar secara financial cukup mampu. 
 
Yang saya prihatin juga adalah masalah penegakan dan pelaksanaan peraturan2. 
Peraturan2 telah dibuat cukup bagus atau bagus, tetapi melaksanakannya di 
lapangan kok bisa saja “diakomodasi untuk pelanggarannya”. Inilah justru yang 
membuat peraturan sekedar peraturan, hal ini mengakibatkan “kok masih ada juga 
ya yang lolos” – yaitu tadi, -“diakomodasi untuk lolos”. Harusnya ketegasan 
lebih ditingkatkan, penalti ya penalti. Bagaimana bisa sebuah company tetap 
eksis sampai mau tahun ke-10 padahal ia berjanji akan mengebor sumur2 
eksplorasinya di tahun ke-2 dan ke-3. Ini khususnya kritik buat BPMIGAS dan 
Ditjen Migas, tempat saya tergabung di dalamnya – auto-critic. 
 
Permen 40/2006 baru tahun lalu, belum kelihatan keberdayaan peraturan2nya dalam 
realisasi komitmen – itu akan terlihat beberapa tahun ke depan. Saya akan 
mengamatinya dan akan tetap menjalankan salah satu tugas saya : menagih 
komitmen (walaupun pengalaman menunjukkani “cape deh nagih2 realisasi komitmen” 
!)
 
Bergairah sekaligus prihatin.
 
Salam,
awang
 
 
From: Andang Bachtiar [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, July 20, 2007 2:17 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: [iagi-net-l] anomali gairah eksplorasi di Indonesia
 
Kabar terakhir yang saya dapatkan dari sumber resmi (dalam acara tidak resmi), 
saat ini ada lebih dari usulan100 joint studi pengajuan blok-blok migas baru di 
Indonesia, mulai daerah yang di-relinquish dengan satu-dua sumur indikasi 
minyak, sampai yang tanpa sumur dengan hanya beberapa lintasan seismik; mulai 
dari daerah-daerah offshore dangkal yang bahkan batas cekungan 
terpublikasikanpun tidak sampai kesitu, sampai ke offshore dalam - fore-arc 
area; mulai dari daerah rawan mud-volcano jateng-jatim sampai dengan 
daerah-daerah relatif aman dari berita hazard; semuanya menunjukkane euphoria 
yang tidak biasa alias tidak pernah terjadi bin anomali dalam sejarah 
eksplorasi di Indonesia.
 
Yang perlu kita waspadai dari gejala ini adalah ke-awam-an para regulator kita 
dibidang migas terhadap bentuk-bentuk komitmen terobosan (menurut istilah 
pengaju joint-study) dan kelemahan daya enforcement dari kontroler/pelaksana 
apabila pihak-pihak kumpeni ini tidak menjalankan komitmen-nya. Harga minyak 
yang sudah 2 tahun terakhir ini melambung diatas 50USD/barrel dan juga 
likuiditas dana-dana dari luar negeri yang butuh porto-folio-2 bisnis skala 
besar nampaknya ikut melatarbelakangi euphoria tersebut. Sebagai efek 
sampingannya banyak pemain-pemain baru dibidang migas dari Indonesia yang 
ikutan dalam hiruk-pikuk mencari blok-blok baru tersebut. Pemain-pemain baru 
tersebut, pada umumnya datang dari kalangan ex-bisnis-man yang ikutan 
meramaikan bisnis Indonesia dimasa pra-krisis, menghilang (berganti 
bentuk/nama) dimasa krisis (ada juga yang main-main dengan BPPN dan BLBI), dan 
sekarang kembali lagi berkiprah ikutan meramaikan oil&gas Indonesia. Sebagian 
besar dari mereka
 punya attitude bisnis yang short-term, quick-yielding, risk-free venture, 
certain-captive commodity, dan asset-certificate based financial banking 
players. Sebagian besar dari mereka itulah yang pertanyaan dasarnya kalau 
ketemu dengan konsultan adalah: "carikan saya blok yang sudah ada minyaknya, 
yang bisa di-bank-kan, dapetinnya gampang, saingannya gak banyak". Lha, yo, opo 
tumon?? Maka, beberapa kawan konsultan moon-lighter maupun retiree yang mereka 
temui -dalam kebingungannya- seringkali kehabisan akal terus menunjukkan 
daerah-daerah kosong yang tidak pernah 'proven" tapi mereka jelaskan sebagai 
"ini ada minyaknya, cuma belum bisa diambil ke permukaan". Pengertian 
speculative, hipotetical resources, possible, probable, dan proven reserve jadi 
saling tumpang tindih, loncat sana-sini dan hasil akhirnya ..... ya itu tadi: 
lebih dari 100 Joint-Study sekarang ada di Ditjen Migas. 
 
Ada juga kumpeni2 yang punya visi dan misi benar-benar eksplorasionis, sebagian 
karena memang ditukangi oleh old-crackers eksplorasionis di dalam gerak 
langkahnya. Tetapi kalau diurut-urut ke ujung atasnya, seringkali mereka juga 
mengandalkan pendanaan financial banking (atau trend terbaru-nya: private 
equity investment group), dimana untuk kasus yang pertama bukannya pengerjaan 
eksplorasi penemuan cadangan-nya yang menjadi tujuan, tetapi penguasaan atas 
data dari blok yang diajukan untuk joint-study yang jadi venture-bisnis-nya. 
Dengan akusisi data di hampir seluruh daerah baru (benar-benar new frontier) di 
Indonesia, dimana mereka punya hak paling tidak s/d 5 tahun untuk mengelola 
data-nya (termasuk membuatnya menjadi komoditas bisnis), maka sebenarnyalah 
mereka mengantongi hak "spec-survey" di wilayah-wilayah yang mereka ajukan 
tersebut. Bedanya dengan spec-survey biasa, begitu mereka mendapatkan hak 
"joint-study"  di suatu block/wilayah, pihak lain manapun tidak bisa
 melakukan survey / study apapun yang berkaitan dengan migas di daerah tersebut.
 
Selentingan penyebutan ide-ide daerah baru yang diajukan dalam joint-study 
bisa-bisa membuat kita terkaget-kaget menyimaknya; dimana selama 20 tahun 
terakhir ini jarang sekali ada perhatian ditunjukkan oleh new-venture group 
dari PSC-PSC besar terhadap daerah-daerah tersebut. Pembuang Basin yang 
dianggap tipis, keberlanjutan Sunda-Asri Basin ke arah utara, Rendahan-rendahan 
baru di sepanjang Selat Malaka dari utara Bengkalis sampai Aceh, Cekungan Sula, 
daerah sekitar Buton, Cekungan Melawi-Ketungau, Barito Basin (bagian lebih 
selatan dari existing producing blocks), Cekungan Gorontalo dan Tomini, 
Cekungan Sula, fore-arc basin sebelah barat Sumatra dari Aceh s/d Lampung dan 
tak ketinggalan juga di sepanjang laut dangkal dataran Sahul.
 
Fenomena banyaknya inisiatif pihak swasta yang mengajukan blok dibandingkan 
dengan jumlah blok-blok yang distudi sendiri oleh pemerintah memperlihatkan 
bahwa: kapasitas pemerintah kita dalam meng-eksplorasi daerah sendiri 
sangat-sangat terbatas; baik dari segi financial maupun (yang mengkhawatirkan) 
dari segi pemahaman dasar tentang potensi secara umumnya. Apabila hal ini 
menyebabkan posisi tawar pemerintah terhadap usulan joint-study menjadi rendah, 
maka pihak swasta bisa dengan leluasa memaksakan skenario-skenario akuisisi-nya 
dalam proses joint-study tersebut. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam 
menyeleksi keseriusan pihak swasta dalam pengajuan-pengajuan blok tersebut. 
Persyaratan 500K USD jaminan joint-study, 1.5 - 2M USD aminan pelaksanaan 
komitmen seismik merupakan terobosan baru dari pihak pemerintah yang patut 
diacungi jempol. Perkembangan terbaru dari ide seleksi keseriusan tersebut 
adalah: kemungkinan akan ada persyaratan adanya permanen-employe G&G
 (terutama Exploration Manager) dalam perusahaan yang dibuktikan dari 
pembayaran pajak ybs oleh perusahaan. Kalau hal itu benar adanya, maka posisi 
eksplorasionis akan terlindungi (dan benar-benar mendapatkan manfaat) dari 
euphoria bangkitnya gairah eksplorasi di Indonesia ini.
 
Kita sudah sama-sama mengamati dalam 3-4 tahun terakhir ini, gebrakan 
pemerintah dalam mendongkrak aktifitas eksplorasi di pemberian award untuk 
blok-blok baru ternyata berujung pada minimnya pelaksanaan komitmen PSC-PSC 
baru tersebut. Hal ini seringkali dibahas baik oleh BPMigas maupun Ditjen 
Migas, dan diterangkan sebagai akibat dari "kurang professional"nya para pemain 
baru Indonesia dalam oil&gas e&p bussiness (baca: "tidak mengerti resiko bisnis 
migas") atau dalam bahasa yang lebih kasar "karena kebanyakan mereka adalah 
broker, financial player, quick yielder, dsb dsb"; sehingga begitu mendapatkan 
block hal pertama yang mereka lakukan adalah "mencari partner", "jualan saham", 
"mencari pinjaman dana", dan hal-hal lain yang tidak mencerminkan proses 
eksplorasi sejati yang agressif dan / tapi benar.  Akhir tahun 2007 ini akan 
kita tunggu sama-sama, bagaimana enforcement dari pihak pemerintah untuk 
blok-blok yang tidak melaksanakan komitmennya dari kontrak-kontrak 2003 dan
 2004 (sudah 4 dan 3 tahun). Kalau memang tidak ada itikad serius sama sekali, 
boleh jadi memang pemilik-2 blok "makelaran" tersebut perlu di'cerai'kan dari 
bloknya, block ditender ulang, atau dicarikan operator baru sementara operator 
lama disuruh diam dan didilusi.
 
Memakai analogi kasus-kasus blok macet 2003-2006, kita semua patut kuatir 
dengan nasib blok-blok yang nantinya dihasilkan dari "lebih dari 100 
joint-study' saat ini. Kalau pihak pemerintah tidak betul-betul selektif dalam 
menerima lamaran kumpeni-kumpeni baru tersebut, bisa jadi kasus 
cacat-cedera-komitmen akan terulang lagi dalam kurun waktu s/d 3 tahun ke 
depan. Dengan demikian maka anomali gairah eksplorasi yang kita amati sekarang 
ini akan menjadi tidak lebih dari gairah palsu, gairah semu, yang tidak 
berujung pada penyatuan 2 gairah cinta (swasta-pemerintah), tidak akan 
menghasilkan buah-buah cinta meningkatnya cadangan dan produksi oil&gas 
Indonesia dimasa mendatang.
 
Dalam gairah dan keprihatinan.
 
 
Andang Bachtiar  
Exploration Think Tank Indonesia
 
 



Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!
 
 



Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!


      ________________________________________________________ 
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi 
Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/

Kirim email ke