Apa yang dialami mas Akhmad Murtajib adalah bentuk pergeseran paradigma dalam 
melihat bencana. Justru gejala ini yang sedang dikampanyekan oleh barbagai 
pihak diseluruh dunia tentang DRR (disaster risk reduction)/PRB (pengurangan 
resiko bencana). Pengalaman panjang berbagai pihak dan berbagai negara dalam 
menangani bencana, akhirnya menemukan suatu pola yang barangkali paling tepat 
hingga hari ini adalah mengurangi resiko bencana. 
Kita semua tidur dalam ancaman bencana. Apalagi Indonesia, tiada hari tanpa 
dinamika bumi indonesia ini, yang cenderung bisa menjadi proses bencana. 
Apalagi dari sisi sosial, kebijakan, ekonomi, dan politik; juga sebagai sumber 
bencana. Masih ingat bencana "Gempa 30juta SR di Jogja" (2 hari setelah 5.9 SR; 
hebat kan) . Dan penanganan bencana adalah tanggung jawab kita semua (ini 
spirit dari Protokol Hyogo dalam DRR/PRB), tidak saja masyarakat, tapi semua 
elemen masyarakat. Ada plus dan minus-nya. Itu pasti. Yang perlu kita 
kampanyekan adalah bagaimana : denyut nadi dan nafas jantung masing-masing 
orang, selain sering menyebut nama Tuhan dalam dzikir dan pikir, tapi juga 
selalu tanggap terhadap sebuah resiko. Mudahnya saja : bangun tidur.., resiko 
apa yang kira-kira bisa kita alami dari bangun tidur, ke kamar mandi dll sampai 
beraktivitas ke luar rumah, sampai kembali ke rumah, sampai mau tidur kembali 
(resiko apa yang terjadi jika saya tidur di rumah ini, di kamar ini dst). 

Bantuan mie instan yang sering menjadi "favorit dalam bantuan korban bencana" 
saat ini, sebetulnya juga "tidak mendidik dan itu bagian dari bencana yang 
lebih besar". Disini ada ketergantungan dari pihak luar :
1. bagaimana kita mengoptimalkan sumberdaya lokal (kangkung, jagung, ketela 
dst..yang biasa tumbuh di lingkungan masyarakat desa), sehingga ketika bencana, 
sumberdaya lokal tersebut bisa menopang kebutuhan konsumsi saat darurat. 
2. mie instan ? ingat bahan baku mie adalah impor semua, padahal itu produk 
agroindustri. Kenapa indonesia yang negara pertanian, membuat mie saja harus 
tergantung dari bahan baku agro dari luar. Ini kan bencana pembodohon produksi 
dalam negeri. 
3. semua unsur dalam mie instan adalah bahan kimia yang mudah membentuk 'karat 
lemak dalam pembuluh darah"; jadi konsumsi mie yang berlebihan mempunyai dampak 
buruk terhadap kinerja otak dan kinerja stamina kita. Akhirnya jadi bencana 
pesakitan diri kita. Jadi membantu mie instan bagi korban bencana itu tidak 
malah menolong si korban bencana, tapi mempercepat resiko pesakitan bagi korban 
bencana itu sendiri. Mendidik pola makan yang tidak sehat kan.

Yo..wis, akhirnya perbanyaklah dzikir resiko bencana dalam diri kita, selain 
dzikir kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mari pak Ustazd, Pak Kyai, Habib, Pendeta, 
atau pengajar agama di seluruh indonesia ajarkanlah ; dzikir resiko bencana 
kepada masing-masing ummat / sedulur-sedulur kita. 

Dengan memahami keseharian kita dalam dzikir resiko bencana dalam kehidupan 
sehari-hari; maka kita akan mencoba mengurangi setiap "bencana menjadi ajang 
proyek bencana" baik untuk proyek kemanusiaan, proyek rehab/rekons, proyek 
mitigasi, proyek regulasi, maupun proyek kajian dst. 

Salam
Agus Hendratno 


Djuni Pristiyanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
Meredam Resiko Bencana di Sekitar Kita
Published on September 24, 2007 

Akhmad Murtajib

Akhirnya saya ingin menulis berkait isu/tema bencana, sebuah isu/tema yang 
dulunya saya pahami sebatas “kejadian kerusakan alam” serta kegiatnnya sebatas 
“memberi bantuan para korbannya”. Namun kini, dan yang ini yang mendesak saya 
untuk menulis perihal bencana, saya memahami lebih dari sekedar itu. Saya 
sendiri belum bisa menggambarkan bagaiman rumusan pemahaman “yang tidak sekedar 
itu”. Tetapi saya akan mencoba merangkai pengalaman perubahan pemahaman ini 
dengan harapan bisa menjadi bahan refeksi bagi siapapun yang membaca tulisan 
ini.

Saya mulai saja tulisan ini dengan cerita ketika saya dan temen-temen INDIPT 
mencoba ikut terlibat dalam pengiriman bantuan untuk korban bencana gempa di 
Bantul, Yogyakarta. Awalnya, saya, teman-teman INDIPT serta beberapa komunitas 
dampingan INDIPT berfikir akan memberi bantuan apa untuk para korban. Akan 
memberi bantuan berupa uang, tidak ada; memberikan bantuan mie instant, telah 
begitu banyak yang mengirimkan; akan mengirimkan bantuan dalam bentuk pakaian, 
tiada pakaian yang masih pantas pakai, lagi pula berdasar asessment singkat 
­karena kami tidak bisa ke Yogya akhirnya hanya­ melalui internet,  korban 
tidak begitu butuh bantuan pakaian bekas, pantas pakai.

Sehari sudah berlalu ketika berita dan informasi tentang gempa di Bantul saya 
dan temen-temen INDIPT dengar, serta lihat di berbagai media, internet 
terutamanya. Namun, belum ada juga keputusan untuk mengirimkan barang apa saja 
yang akan dikirim ke Yogyakarta. Walaupun pada saat itu, di jalan-jalan Kebumen 
telah begitu banyak komunitas yang dengan sukarela turun jalan, mencari bantuan 
dengan cara menyodorkan kotak bantuan. Awalnya kegiatan semacam itu yang akan 
dilakukan, tetapi kemudian diurungkan ketika diskusi dengan teman-teman INDIPT 
menghasilkan keputusan agar mengirimkan barang-barang yang berbeda dari bantuan 
yang diberikan oleh komunitas lain.

Bukan sekedar karena ingin beda bila kami berfikir mencarikan “bantuan yang 
berbeda”. Tetapi lebih karena pemahaman bahwa masyarakat Bantul ketika itu 
sudah banyak mendapat bantuan mie intant. Seorang teman berkirim SMS bahwa 
banyak warga Bantul yang mencret karena kebanyakan mie intant, dan bila mau 
mengirimkan bantuan semestinya jangan mie nstant. Makanan berupa nasi dan lauk 
yang dibungkus? Ini alternatif, tetapi dengan jarak Kebumen-Yogyakarta yang 
jauh ­naik bus saja membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam­ tentu bukan 
pilihan yang bagus bila mau mengirimkan nasi bungkus. Disamping akan cepat 
basi, juga tidak bisa bertahan lama.

Pilihan bantua lain seperti pakaian pantas pake. Inipun bukan pilihan yang pas, 
sebab masyarakat Bantul ­dari assessment kami­ tidak sedang membutuhkan pakaian 
macam itu. Kayaknya malah, pakaian pantas pakai tidak akan banyak berguna, 
walau mungkin ada yang menggunakan. Karena tidak lagi menemukan pilihan, 
akhirnya pilihan adalah bantuan berupa uang, walau tidak seberapa, yang 
disalurkan melalui beberapa Posko penanganan gempa. Ini adalah pilihan terakhir 
yang lebih pas, karena uang bisa digunakan untuk banyak hal.

“Masyarakat Bantul saat ini tidak membutuhkan uang, karena uang tidak begitu 
laku saat ini,” begitu sebuah tulisan di ponsel saya berbunyi, yang dikirimkan 
oleh seorang teman yang sudah di Bantul. Saya dan teman-teman INDIPT, juga 
bersama dengan beberapa teman dampingan INDIPT, memutar otak untuk mencarikan 
alternatif bantuan yang paling pas untuk kondisi saat itu. Dan, akhirnya, 
setelah lama merenung dan diskusi, ditemukan sebuah keputusan untuk mengirimkan 
bantuan berupa diantaranya: 1) kangkung, 2) kelapa, 3) minyak goreng, ……….dan, 
yang paling heboh, adalah barang-barang berkait dengan perempuan: pembalut, 
cawat dan “sebangsanya”.

Bantuan-bantuan itu disalurkan melalui beberapa Posko di Yogyakarta, 
diantaranya melalui Posko Gempa Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. 
Sebagian lagi melalui LBH Yogyakarta, melalui seorang teman Kebumen, Teguh 
Purnomo.

Dari informasi yang saya terima, masyarakat yang mendapat bantuan itu merasa 
begitu senang dengan bantuan-bantuan itu. Karena disamping sejak terjadinya 
gempa hanya lebih banyak makan mie intant, makanan-makanan seperti kangkung 
adalah juga makanan yang dekat dengan mereka. Selain itu, bagi perempuan pun 
banyak yang akhirnya “menjadi nyaman” ketika haid, situasi yang bisa meredam, 
walau untuk sementara, kegetiran mereka menjadi korban bencana gempa.

Bantuan “Yang tidak mengada-ada”

Bantuan berupa kangkung, kelapa, dan minyak goreng, serta…pembalut wanita 
menjadi awal refleksi saya dan temen-temen INDIPIT tentang bagaimana sebuah 
kegiatan pemberian bantuan untuk masyarakat bencana. Yakni bahwa ternyata 1) 
masyarakat korban bencana akan merasa lebih senang dengan bantuan makanan 
dengan makanan yang biasa mereka konsumsi. Memang makan mie intant itu bisa 
menjadi alternatif bila sedang “tiak ada makanan lain”, tetapi akan menjelehkan 
bila dikomsumsi setiap hari. Dan bahan makanan berupa kangkung menjadi pilihan 
yang menyenangkan bagi mereka.

Yang lebih menjadi bahan refeksi bantuan kangkung itu diberikan oleh masyarakat 
petani. Awalnya, para petani kangkung yang mengumpulkan bantuan itu mengatakan 
ingin ikut membantu korban bencana. “Tetapi kami tidak punya uang,” kata 
mereka. Dan mereka pun tidak pernah berfikir awalnya bahwa mengirim kangkung 
pada saat itu adalah pilihan terbaik tidak hanya bagi korban, yang sudah 
semakin jeleh dengan mie intant, juga pilihan terbaik bagi petani yang hanya 
punya kangkung pada saat itu. Artinya, bahwa siapapun sebenarnya bisa 
memberikan bantuan untuk para korban dimana bantuan itu bukan “diada-adakan” 
melainkan “memang sudah ada”. Bukankah bila petani kangkung mengirim mie 
instant, itu artinya “bantuan yang diada-adakan”?

2) Tentang pembalut wanita. Ketika itu saya search di intenet, dan baca di 
berbagai milis. Saya sendiri belum menemukan ada bantuan berupa pembalut 
wanita. Memang, pembalut wanita akhirnya kami “ada-adakan” dari dana yang 
terkumpul ketika itu. Mengapa akhirnya memilih membeli pembalut wanita dan 
“saudaranya” karena memang dari informasi yang saya dan temen-temen INDIPT 
terima dari temen-temen di Yogya banyak perempuan yang “stress”. Kami berharap, 
pembalut wanita bisa mengurangi “kestressan” itu, tertama bagi perempuan yang 
sedang haid. Ini adalah pilihan alternaif, dan memang kenyataannya demikian.

Bantuan Suah tidak Trend

Kejadian bencana  yang baru saja terjadi di Bengkulu tidak seheboh ketika 
bencana di Yogya, apalagi Aceh. Di Kebumen sudah tidak lagi ada yang turun ke 
jalan-jalan, menyodorkan kardus meminta sumbangan dana dari para pengendara. 
Sudah tidak ada itu, atau saya sendiri yang tidak tahu? Kalaupun ada, mungkin 
jumlahnya sangat kecil dan sedkit. Mngapa? Entah jawabannya bagaimana, tetapi 
sepengetahuan saya bahwa bencana sudah menjadi hal biasa, dan bantuan pun telah 
“tidak menjadi trend lagi”. Sudah tidak akan disebut sebagai pejuang 
kemanusiaan barangkali, bisa turun ke jalan lalu mencarikan bantuan untuk 
korban bencana di Bengkulu, sebagaimana ketika mencari bantuan untuk 
korbanbencana di Aceh dan Yogya.

Sekali lagi saya ingin bertanya, paling tidak pada diri saya sendiri, mengapa 
demikian? Jawabnya bisa jadi sangat banyak, 1) karena, seperti sudah saya sebut 
diatas, mencari bantuan untuk korban bencana sudah bukan lagi trend. Bukankah 
masyarakat kita selama ini sering terbawa oleh arus trend, bila sendang trend 
semua melakukan dan bila sudah bukan trend semua orang meningalkan? 2) Mungkin 
karena sudah begitu banyak lembaga internasional, termasuk juga pemintah, yang 
membantu korban bencana, terlepas apakah bantuan mereka sampai atau tidak 
kepada para korban. Berita-berita di media tentang bantuan-bantuan itu, 
kayaknya sih, menjadikan masyarakat sudah ayem karena “toh sudah ada yang 
membantu”". 3) Karena bencana terjadi dimana-mana, sudah bukan isu baru, atau 
malah menjadi isu yang sudah basi. Media massa juga tidak segencar 
memberitakannya sebagimana ketika memberitakan bencana Aceh dan Yogya.

Mengurangi Bencana Saja Deh…

Terlepas dari itu semua, bencana nampaknya terus silih berganti, dari satu 
tempat ke tempat lain. Artinya, kita yang dulu hanya melihat melalui media 
massa bisa jadi besok menjadi korbannya. Bergantian, barangkali begitu. Apa 
yang hendak saya tuliskan bahwa kita semua berpotensi menjadi korban bencana, 
entah banjir, gempa atau lainnya. Jika sudah demikian, lantas kita mau apa? 
Berharap bantuan, sementara bantuan tidak lagi trend? Berharap bantuan dari 
pemerintah sementara, yang sering kita dengar, bahwa bantuan itu tidak sampai, 
atau sampai tetapi sudah tidak utuh lagi? Atau berharap bantuan dari lembaga 
internasonal?

Ya, siapapun kita akan merasa senang bisa sedang terkena bencana lantas ada 
yang membantu kita. Tetapi, pernahkah kita berfikir lebih baik terhindar dari 
bencana daripada terkena bencana lantas mendapat bantuan?  Jika demikian, 
lantas bagaimana agar tidak terkena atau menjadi korban dari bencana?

Jawabannya mungkin terlalu melangit, yakni, kita mesti memahami lingkungan di 
sekitar kita, apa saja ancaman bencana yang ada, dan bagaimana selama ini kita 
melihat dan mensikapi ancaman itu, serta bagaimana kita bisa memperkuat 
kapasitas kita sehingga bila ancaman itu menjadi bencana beneran, kita sudah 
bisa menanganinya sendiri. Tanpa bantuan pemerintah, yang konon kabarnya sering 
“hilang d tengah jalan,” tanpa bantuan lembaga asing yang bisa membuat kita 
tergantung kepada mereka, dan tanpa mengharap rasa kasihan dari orang lain.

Mungkinkah itu?

Saya kira itu mungkin. Dan inilah yang saya maksud di alenia awal tulisan ini 
mengenai perubahan pemahaman saya dari bencana yang saya pahami sebagai 
“kejadian kerusakan alam” sementara kegiatan penanganannya berupa “kegiatan 
membantu para korban,” menjadi benana sebagai sesuatu kejadian yang sejak awal 
bisa kita siasati, dan aktivtas bantuan itu sebagai “sejak awal kita mensikapi 
agar ancaman bencana itu bisa kita hindari, atau malah kita redam”.

Terimakasih

Akhmad Murtajib, direktur INDIPT Kebumen.

http://bandatelomoyo.indipt.org/2007/09/24/meredam-resiko-bencana-di-sekitar-kita/
 



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Hidup Bersama Risiko Bencana
Website: http://bencana.net; Milis: [EMAIL PROTECTED]
Mendaftar anggota milis: [EMAIL PROTECTED]
Keluar dari milis: [EMAIL PROTECTED]
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---



 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke