Rekan2,

 

Di bawah sana Opini di Kompas hari ini ttg PP No.2/ 2008 yang banyak
disikapi negative oleh kawan-kawan LSM. Di luar esensi PP No.2/ 2008,
tulisan di bawah terasa sekali menohok dan menjadikan "pertambangan" sebagai
terdakwa utama perusakan/ kerusakan hutan baik hutan lindung maupun hutan
produksi. ... Dan sudah berulang-ulang kawan2 yg aktif di pertambangan
(sampai bosan..) menanggapi isu beginian "kenapa tidak dilakukan penelitian
rinci ttg penyebab kerusakan hutan kita ini.??". Sekitar awal 2000-an
sebenarnyalah ada institusi yg sudah lakukan investigasi ini (lupa
namanya... ada-kah yg ingat?) dan sector pertambangan hanya-lah menyumbang
0.1% (cmiiw).

 

Dan ...semua yg diulas di tulisan itu ttg pertambangan adalah sisi
negative-nya saja - tidak pernah (sangat sedikit) diulas bahwa kehidupan
kita ini berjalan karena ditopang oleh produksi tambang (mobil, rumah,
computer . lanjutin sendiri please.aku sering kehabisan energi "nggedebus
begini" saking berulang-ulangnya). Bahkan pasokan batubara seret karena
cuaca -pun . terpaksa listrik Jakarta - Banten padam bbrp jam kemarin (lihat
Kompas hari ini). 

 

Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat militant kayak LSM-LSM
ini untuk menandingi "propaganda" negative ttg tambang. 

 

Salam - Daru

PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah dilakukan
dengan baik...

 

 

Hutan Lindung dan Masyarakat

Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB 

Siti Maemunah

Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah
hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya
dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan
kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng.

Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4 Februari
lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis
dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku
pada Departemen Kehutanan.

Seharga pisang goreng

PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan
hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp
1,8 juta-Rp 3 juta per hektar. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan
gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater telekomunikasi, stasiun
pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga listrik, instalasi teknologi
energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Tarif untuk semua itu
menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.

Itulah harga hutan lindung termurah-kalaupun fungsinya bisa diuangkan-yang
resmi dikeluarkan negeri ini. Hanya Rp 120-Rp 300 per meter, lebih murah
dari sepotong pisang goreng. Inilah cara amat buruk menghargai fungsi
lindung hutan.

Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam, khususnya
hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah. Sepanjang
2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan longsor di pelosok
negeri. Ada ribuan orang meninggal, sementara ratusan ribu lainnya menjadi
pengungsi.

Empati pengurus negeri ini dipertanyakan. Benarkah mereka masih menaruh
perhatian terhadap nasib anak negeri? Kedatangan pejabat ke daerah-daerah
korban banjir dan longsor terkesan basa-basi, apalagi saat kebijakan yang
dikeluarkan ke depan justru akan memperbesar timbulnya korban.

PP ini keluar di tengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar,
sepanjang 2005 dan 2006. Kerusakan hutan terbesar terjadi di Pulau
Kalimantan dan Sumatera. Dua pulau ini memiliki konsesi tambang yang jumlah
dan luasnya amat besar. Di Kalimantan Selatan saja, sedikitnya ada 400
perizinan tambang batu bara, sebagian besar keluar pascareformasi.

Banyak peraturan dikeluarkan pemerintah bukannya membuat keselamatan dan
produktivitas rakyat terjamin, tetapi justru sebaliknya. Peneliti Cifor
menyebutkan, selama tujuh tahun terakhir telah disahkan 500 lebih peraturan
Menteri Kehutanan untuk mengurus hutan Indonesia. Dalam jangka yang sama,
luas hutan menyusut 11,2 juta hektar.

Yang paling bersorak tentu pelaku pertambangan. Sejak delapan tahun lalu,
berbagai perusahaan tambang asing melakukan lobby hingga ancaman membawa
Indonesia ke arbitrase internasional. Kontrak karya mereka terganjal status
hutan lindung.

Akhirnya, UU Kehutanan Tahun 1999, yang melarang tambang terbuka di hutan
lindung, berhasil diamandemen dua tahun lalu. Ada 13 perusahaan yang
mendapat pengecualian meneruskan tambangnya di hutan lindung. Sebagian besar
adalah perusahaan tambang asing raksasa, sekelas Freeport dari AS, Rio Tinto
dari Inggris, Inco dari Kanada, dan Newcrest dari Australia.

Sejak itu, jika mau membuka tambang di hutan lindung, mereka harus mencari
hutan kompensasi. Tetapi, itu tak cukup. Mereka mengeluhkan lahan kompensasi
sulit didapat. Mereka mau cara lebih mudah dan murah, dan dijawab pemerintah
dengan munculnya PP ini.

Daya rusak tambang

Berlawanan dengan kemanjaan yang diberikan kepada pelaku pertambangan,
protes penduduk korban yang jatuh bangun menghadapi daya rusak pertambangan
tak didengar pimpinan negeri ini. Padahal, pertambangan berdaya rusak tak
terpulihkan. Untuk mendapat satu gram emas saja, sedikitnya 2,1 ton limbah
batuan dan lumpur dibuang ke lingkungan. Dengan ciri itu, lahan hutan yang
digali tak bisa dipulihkan fungsinya seperti semula.

Di Kalimantan Timur, korban tambang Kelian milik Rio Tinto tak jelas
nasibnya dan berkonflik satu sama lain, hingga perusahaan tutup. Warga Dayak
Paser terpaksa pindah kampung, tergusur tambang batu bara Kideco Jaya Agung.
Juga Dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah, lahannya dirampas
Aurora Gold. Kasus-kasus ini tak menjadi rujukan memperbaiki pengurusan
tambang yang lebih adil ke depan.

Warisan lain adalah lubang tambang puluhan hektar dan kedalaman ratusan
meter yang dibiarkan menganga tak diurus. Lahan rusak itu di antaranya
lubang Etzberg milik Freeport, Toguraci milik Newcrest di Maluku Utara,
Serujan milik Aurora Gold, hingga ratusan lubang tambang batu bara di
Kalimantan Selatan dan seribu lebih lubang tambang timah di Bangka Belitung.

Jika tak dicabut, PP ini akan memperparah kerusakan hutan dan kembali
meletakkan nasib rakyat dan lingkungan pada kerentanan tak tertanggungkan.

Siti Maemunah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

 

 

 

 

Kirim email ke