Pak Rovicky,
Di beberapa tempat yang cuacanya sering buruk memang cuaca sering berpengaruh 
kepada jalannya operasi migas. Beberapa pengalaman misalnya seperti di bawah 
ini. 
 
(1) di Blok Rombebai Papua Utara, Nations Petroleum sampai hampir setahun stand 
by dan kesulitan memobilisasi peralatan rig-nya karena jalan yang sangat buruk 
kondisinya akibat hujan terus. Untuk masuk ke muara sungai yang cukup lebar pun 
harus berhitung-hitung karena beting pasir di sana berpindah-pindah. Bagaimana 
kalau tengah mobilisasi peralatan berat di muara sungai tiba2 wilayah itu 
dikepung pasir yang dibawa Lautan Pasifik masuk ke anak2 Sungai Mamberamo di 
sana ? Hm..tentu gak lucu...
 
(2) Di Kepala Burung Papua, khususnya Pulau Salawati, hujannya banyak. Lokasi 
rig yang sudah keras tak jarang menjadi seperti bubur lumpur lagi. Jelas ini 
menghambat mobilisasi. Untuk berjalan dari portacamp wellsite geologist ke 
portacam mud logging unit atau rig terpaksa dipasang titian dari papan kayu 
agar safety shoes tak terbenam di lumpur. Ini lama-lama bisa membahayakan rig 
site kan. Tetapi karena banyak genangan di jalan, ada manfaatnya juga, banyak 
kolam dadakan yang bisa ditanami ikan gabus dan hidup dengan baik ternyata.
 
(3) Sebuah kapal survey di Selat Makassar yang tengah shooting seismik oleh 
suatu operator di sana terpaksa ditarik ke Singapore beberapa bulan lalu untuk 
perbaikan sebab sistem listrik kapal rusak dihantam badai. Pekerjaan jadi 
tertunda, padahal tengah mengejar komitmen.
 
Di beberapa daerah cuaca dapat diprediksi dengan baik sehingga pekerjaan2 
lapangan bisa ditangguhkan bila cuaca di periode tertentu jelek; tetapi di 
banyak wilayah Indonesia Timur tak gampang menunggu cuaca baik. Terbang saja 
kalau dari Luwuk atau Jayapura harus berhitung-hitung dengan cuaca, jangan 
sampai didahului cuaca jelek. Ya, menurut hemat saya, kita ikuti saja prediksi 
para ahli cuaca. Saya melihat kualitas prediksi ahli-ahli cuaca kita semakin 
bagus dan detail.
 
Salam,
awang

--- On Mon, 7/21/08, Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [iagi-net-l] Sultan Agung 1628-1629 : Menghitung Alam Melumpuhkan 
Batavia
To: iagi-net@iagi.or.id
Date: Monday, July 21, 2008, 4:45 PM

Wah menarik pak awang,
Aku jadi inget sebuah tayangan di TV national geography atau discovery
channel tentang peranan ramalan cuaca dalam sebuah perang ini. Dan
tengok-tengok ternyata ada juga presentasi hal ini disini :
http://www.ofcm.gov/wist_proceedings/pdf/panel1/mneyland.pdf

Menarik juga ya ... dulu pernah kita bicara di mailist ini tentang peranan
geologist dalam perang. Skali lagi perang !
Haddduh perang memang memerluka segalanya untuk menang.

Btw,
Bagaimana menurut Pak Awang peranan ahli cuaca dalam prakiraan cuaca dalam
kondisi saat ini yang lebih susah diprediksi dalam operasi minyak bumi. Saya
pernah denger bahwa window untuk melakukan shooting seismic di Natuna ini
sangat tergantung cuaca juga.

RDP

On Mon, Jul 21, 2008 at 5:20 PM, Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:

> Sedikit cerita sejarah bernuansa klimatologi dan topografi Jawa, sayang
> rasanya kalau diketahui sendiri saja. Saya tuliskan untuk rekan-rekan
semua,
> semoga bermanfaat menambah pengetahuan.
>
> Menarik mencermati publikasi lama Fruin-Mees (1919) : "Geschiedenis
van
> Java" dan "Geografi Kesejarahan" Daldjoeni (1984, 1992).
Kedua penulis ini
> menganalisis dengan tajam bagaimana Sultan Agung dari Mataram
> menghitung-hitung rintangan dan dukungan alam untuk menyerang Belanda di
> Batavia (1628-1629). Berikut ringkasannya.
>
> Batavia tak mungkin diserbu pada bulan Desember dan Januari karena saat
itu
> musim penghujan. Banjir akan menggenangi Batavia, angin Barat yang sedang
> berhembus ke timur akan menyusahkan kapal-kapal Mataram berlayar ke barat
> dari pesisir utara Jawa Tengah menuju Batavia.
>
> Selain itu, Batavia harus digempur dari laut dan dari darat secara bersatu
> dan kompak. Ini tak mungkin dalam bulan-bulan musim hujan, tetapi harus
> dilakukan dalam musim kemarau yaitu Juli-September. Sebab, pada musim
> kemarau bertiup angin Timur ke barat yang akan mendorong kapal-kapal
Mataram
> berlayar ke Batavia. Pada musim kemarau, angkatan darat Mataram akan
> memperoleh banyak bantuan dari para petani di sepanjang perjalanan sebab
> para petaninya baru selesai memanen padinya pada April-Mei (ingat sistem
> pranata mangsa para petani di Jawa, pernah saya ulas juga di milis ini
> berdasarkan Daldjoeni, 1984; 1992), mereka sedang menganggur sebab baru
akan
> mulai menanam lagi pada bulan November saat hujan pertama datang.
>
> Lalu, bila serangan dilakukan pada bulan Juli-September, persediaan
makanan
> sepanjang perjalanan akan cukup sebab di sepanjang perjalanan para petani
> baru selesai panen (April-Mei). Sultan Agung memerintahkan untuk
mendirikan
> lumbung-lumbung beras sepanjang perjalanan dari Mataram ke Batavia.
>
> Perjalanan kaki tentara Mataram dari pusat kerajaan di sekitar Yogyakarta
> ke Batavia butuh waktu tempuh 90 hari, ini tentu akan lebih lama bila
> dilakukan pada musim hujan.
>
> Kemudian, Batavia akan diserang dengan cara membelokkan Sungai Ciliwung,
> sehingga Batavia akan menderita kekeringan dan wabah penyakit sebab tak
ada
> air mengaliri kota. Membelokkan sungai bukan pekerjaan mudah dan tentu ini
> akan lebih mudah dilakukan pada saat musim kemarau saat debit sungai
> minimal.
>
> Sementara itu, perlu juga diperhitungkan kondisi geomorfologi dan geografi
> kota Batavia dan sekitarnya. Menurut de Haan (1912) :
"Priangan", Batavia
> pada abad ke-17 terletak di muara Sungai Ciliwung, berawa-rawa, dengan
> vegetasi dominan pohon kelapa. Sampai tahun 1625, bila di Batavia hujan
maka
> terjadi genangan setinggi lutut. Orang bahkan bisa naik sampan untuk masuk
> ke hutan-hutan di belakang Batavia. Sampai tahun 1655 ada pendapat bahwa
> Batavia pada musim hujan tak mungkin diserang kalau pada musim hujan sebab
> genangan air akan merupakan penghalang. Rawa-rawa di sekitar Jakarta itu
> telah ada sejak abad-abad awal Masehi maka para pedagang dari Hindustan
> (India) tak memilih menempati Jakarta sebab kondisinya tidak sehat.
>
> Pada tahun 1628, daerah Jatinegara sekarang masih merupakan hutan rimba
> yang dijadikan tentara Mataram untuk bersembunyi sebelum menyerang
Batavia.
> Tahu begitu, maka Belanda menebangi banyak pohon di sekeliling benteng
> Batavia termasuk pohon-pohon kelapanya. Maka, Batavia pun kekurangan
kelapa
> dan Belanda mendatangkan kelapa dari Pulau Cocos dekat Pulau Christmas di
> Samudera Hindia. Itu terjadi tahun 1632.
>
> Fruin Mees (1919) menulis bahwa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia
> dua kali, yaitu dari September 1628 dan September 1629. Keduanya sengaja
> dipilih pada musim kemarau. Serangan pertama gagal karena ketika
pengepungan
> sedang dilakukan tiba-tiba turun hujan pertama, maka para tentara yang
> sebagian petani menjadi gelisah sebab mereka ingin segera bertani. Maka
para
> tentara di bawah pimpinan Sura Agul-Agul itu kembali ke Mataram. Pada
> serangan kedua, Sungai Ciliwung berhasil dibelokkan sehingga kota dilanda
> penyakit. J.P. Coen, gubernur jenderal saat itu, meninggal pada 20
September
> 1629 karena serangan penyakit tersebut (sumber lain mengatakan bahwa ia
> dibunuh seorang tentara Mataram yang menyelinap masuk ke benteng). Tetapi,
> perang bubar pada 7 Oktober 1629 seiring turunnya hujan pertama pada masa
> labuh. Tentara petani memaksa pulang ingin mengerjakan sawahnya.
>
> Begitulah, perang masa lalu tak bisa dilepaskan dari irama permusiman di
> darat dan pergantian arus laut di Laut Jawa. Strategi Sultan Agung dari
> Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia sebenarnya cukup pelik dan
berat
> sebab harus selalu memperhitungkan kerumitan faktor alam. Fungsi iklim dan
> geomorfologi akan mempengaruhi kesuksesan perang. Dua faktor ini juga
> mempengaruhi aktivitas manusia (khususnya) petani yang dijadikan tentara.
>
> Pada masa rendheng (Desember-Maret) tak diadakan perang sebab pertanian
> padi basah sedang berlangsung, tak ada tenaga petani yang mau jadi
tentara.
> Pada mangsa mareng (April-Juni) sedang terjadi pengumpulan bahan makanan
> (panen). Pada mangsa katiga (Juli-September) baru diadakan penyerangan
yang
> diakhiri pada awal mangsa labuh (Oktober-November).
>
> Salam,
> awang
>
>
>




-- 
http://tempe.wordpress.com/
Telling the truth is important
Telling the positive is better !!!


      

Kirim email ke