Pada sebuah bagian di dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan Sutawijaya, saat ia
belum menjadi Raja Mataram, sedang bersamadi di pantai selatan Jawa ditemani
penasihatnya yang setia Ki Jurumertani. Tiba-tiba di langit, muncullah kilatan
cahaya berwarna hijau yang menyorot Sutawijaya. Ki Jurumertani pun serentak
mendengar sebuah suara tanpa wujud yang mengatakan bahwa Sutawijaya akan
menjadi seorang raja penguasa Tanah Jawa. Sejarah mencatat bahwa Sutawijaya
memang menjadi raja pertama Mataram (Islam) pada tahun 1586 dengan gelar
Senapati Sunan Mataram.
Kilatan cahaya yang menyorot Sutawijaya itu adalah sebuah meteor. Menurut
kepercayaan orang-orang Jawa, kilatan cahaya meteor atau bintang jatuh itu bisa
berarti nasib baik atau nasib buruk. Bila cahayanya berwarna merah, maka
bintang jatuh itu adalah bintang pembawa malapetaka. Bila berwarna hijau, maka
bintang ini adalah pembawa wahyu dan bisa memberikan kekuasaan duniawi kepada
orang yang mendapat sorotannya (Admiranto, 2000).
Begitulah cerita tentang meteor yang beberapa kali ditemukan di dalam babad
atau roman sejarah (Jawa). Kali ini saya ingin bercerita tentang bagaimana
sekelompok ilmuwan mengejar meteor, benar-benar mengejarnya sejak ia terlihat
muncul di langit, sampai mencari puing-puingnya di suatu gurun di Afrika
sebelah utara. Ini adalah sebuah kisah unik sebab sebelumnya belum pernah
terjadi bagaimana suatu meteor diawasi dalam sistem penuhnya : asteroid sebagai
bakal meteor ditemukan di langit, gerakan ”jatuhnya” diikuti, kilatan cahayanya
saat ia terbakar di atmosfer diawasi, sampai puing-puingnya dicari di permukaan
Bumi. Jurnal ”Nature” edisi 26 Maret 2009 menceritakan pengejaran meteor ini.
Tanpa meteorit yang jatuh di Bumi, para ilmuwan tidak akan mempunyai bukti
interpretasi mereka tentang sejarah Tata Surya termasuk Bumi.
Cerita ini bermula pada 6 Oktober 2008 ketika seorang pengamat bintang amatir
di Arizona, AS, memberikan lokasi koordinat langit sebuah asteroid kepada the
Minor Planet Center di Cambridge, Massachusetts, AS. Ini merupakan hal rutin
yang dilakukan para pengamat bintang profesional maupun amatir dalam rangka
mengawasi asteroid-asteroid yang melenceng jalannya mendekati Bumi (program
bernama NEO –Near Earth Object atau Spaceguard). Tetapi, kali ini koordinat
tersebut ketika dimasukkan ke dalam suatu sistem komputer langsung ditolak. Tim
Spahr, direktur pusat penelitian tersebut segera melakukan perhitungan orbit
secara manual dan menjadi jelas bahwa asteroid ini akan segera menabrak Bumi.
Ukuran dan kecemerlangan asteroid ini, yang dinamakan 2008 TC3, tidak
membahayakan Bumi, tetapi Spahr mengikuti prosedur keamanan baku bernama NASA
hotline. Pusat penelitian ini segera meneruskan informasi kepada Jet Propulsion
Laboratory (JPL) di Pasadena, California. Steve Chesley di JPL segera melakukan
perhitungan tentang orbit asteroid ini dan mengindikasi 100 % peluang menabrak
Bumi. Program perhitungan juga menunjukkan bahwa asteroid ini akan menabrak
Bumi dengan kekuatan satu atau dua kiloton TNT – dalam waktu kurang daripada 20
jam. Segera saja, para astronom tersebut yang biasa bermain dengan jarak
tahunan cahaya menjadi heboh diperhadapkan kepada jarak yang sangat dekat untuk
sebuah tabrakan antara asteroid dengan Bumi.
Obrolan para ilmuwan ini melalui internet dan jalur telefon internasional
bersubyek "IMPACT TONIGHT!!!", Dalam hitungan beberapa menit, segera diketahui
bahwa asteroid ini akan menerobos atmosfer di atas sebuah gurun di wilayah
Nubia, Sudan, Afrika yang berpenduduk jarang. Atmosfer Bumi diperkirakan akan
menghancurkan asteroid ini menjadi puing-puing dan jatuh di gurun.
Menjelang fajar pada 7 Oktober 2008 asteroid ini bergesekan dengan atmosfer
Bumi pada kecepatan hampir 50.000 km per jam, membuat buntut api sepanjang 100
km, kemudian meledak berkeping-keping pada ketinggian 36 km di atas Gurun
Nubia, Sudan bagian utara. Pada saat yang sama, seorang pilot pesawat KLM yang
terbang dari Johannesburg ke Amsterdam melaporkan telah menyaksikan sebuah
kilatan cahaya yang cemerlang pada jarak sekitar 1400 km dari pesawat ketika
asteroid 2008 TC3 menerobos atmosfer Bumi.
Para ilmuwan tidak membiarkan puing-puing asteroid yang kini menjadi meteorit
tersebut terdiam membisu terkubur pasir panas Gurun Nubia. Awal Desember 2008,
seorang astronom dari SETI (Search for Extra-Terrestrial Intelligence)
Institute di Mountain View, California terbang ke Sudan. Di Sudan, Jenniskens
mendatangi Muawia Hamid Shaddad, seorang pengajar dari Khartoum University.
Mereka bersama sekelompok mahasiswa pergi ke Gurun Nubia. Di sepanjang jalan,
mereka bertanya kepada para penghuni gurun yang ditemuinya apakah mereka pernah
melihat sebuah bola api yang meledak di langit pada sekitar awal Oktober 2008.
Semua yang ditanyai menerangkan bahwa mereka mendengar ledakan dahsyat itu,
tetapi tidak pernah melihat ada kepingan-kepingan yang jatuh. Tidak ada
petunjuk ke mana harus mencari puing-puing ledakan.
Steve Chesley di Jet Propulsion Laboratory (JPL) di Pasadena, California yang
dari awal telah menghitung bahwa asteroid ini akan jatuh di Sudan kemudian
berhasil membuat peta kemungkinan jatuhan puing-puing asteroid ini. Berbekal
peta “harta karun” ini Jenniskens, Shaddad dan para mahasiswa serta staf dari
Khartoum University memulai penyisiran di lokasi jatuhan asteroid paling
mungkin pada 6 Desember 2008. Mereka menggali jalur di pasir sepanjang 32 km
mengikuti jalur jatuhan puing asteroid menurut peta JPL – Jalur Chesley, sesuai
nama penemunya. Pencarian ini tentu seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Akhirnya, ketekunan mereka membuahkan hasil, ditemukan sebanyak 15 sampel
dengan berat total sekitar 1 kg. Puing meteorit ini dideskripsi : porous, rocky
material, rounded like a pebble, with a broken face, and very black in color.
Dalam beberapa kunjungan, akhirnya berhasil dikumpulkan sebanyak 280 sampel
meteorit dengan massa total sekitar 5 kg. Sampel-sampel ini dikirimkan ke tiga
tempat untuk dianalisis : NASA's Johnson Space Center di Houston, the Carnegie
Institution di Washington, dan Fordham University di New York.
"Kami benar-benar menemukan harta karun”, ucap Michael Zolensky, seorang
cosmic mineralogist NASA. Ia menyambung penjelasannya, "Kami sebelumnya tak
pernah melihat meteorit seperti ini karena mereka begitu rapuh sehingga meledak
di tempat tinggi di atmosfer. Sampel-sampel ini nampaknya berasal dari
permukaan sebuah asteroid tingkat awal, sehingga berharga untuk para
planetologist dalam menjelaskan sejarah geologi benda-benda luar angkasa yang
primitive.” Dalam ilmu meterorit, meteorit 2008 TC3 ini diklasifikasikan
sebagai “polymic ureilite”, yaitu jenis meteorit batuan berwarna gelap yang
sangat jarang dan rapuh.
Begitulah ceritanya. Untuk pertama kalinya, para ilmuwan mempelajari meteorit
yang punya definitive link dengan asteroid di luar angkasa. Penemuan ini telah
memberi peluang kepada para ilmuwan untuk mempelajari asteroid, asal dan
perbedaan-perbedaannya, yang mungkin akan memberikan jawaban untuk pembentukan
Tata Surya kita.
salam,
awang