Bacaan menarik...
Ijin share kekawan-kawan yang lain Pak...
Terimaksih.

Salam,

Bari
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: Awang Satyana <awangsaty...@yahoo.com>
Date: Wed, 2 Feb 2011 12:59:20 
To: IAGI<iagi-net@iagi.or.id>; Geo Unpad<geo_un...@yahoogroups.com>; Forum 
HAGI<fo...@hagi.or.id>; Eksplorasi BPMIGAS<eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com>
Reply-To: <iagi-net@iagi.or.id>
Subject: [iagi-net-l] Aruteun (Holotan, Bogor)-Kerajaan Tertua di Indonesia: 
Bukti Sejarah dan Indikasi Geologi
Rekan-rekan, berikut sebuah hasil penelitian pribadi menyangkut sejarah dan 
geologi kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia. Sebuah pemikiran alternatif. 
Diangkat dari berbagai penelusuran banyak literatur. Semoga bermanfaat.

BUKTI SEJARAH KERAJAAN ARUTEUN

Buku-buku resmi pelajaran sejarah yang pernah diajarkan kepada kita pada masa 
sekolah dasar-menengah, juga kepada anak-anak sekolah sekarang, menyebutkan 
bahwa kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia adalah dua kerajaan Hindu yang 
muncul pada sekitar awal abad ke-5 (sekitar tahun 400 M) yaitu Kerajaan 
Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Kutai/Kutei di Kalimantan Timur. Dua 
raja paling terkenal dari dua kerajaan itu adalah Purnawarman di Tarumanegara 
dan Mulawarman di Kutei. Bukti fisik hadirnya kerajaan-kerajaan tertua itu 
adalah prasasti. Maka umum disebutkan bahwa sejarah Indonesia dimulai pada 
sekitar tahun 400-an M. Masa sebelum itu, umum disebut sebagai prasejarah, masa 
belum ada tulisan sebagai peninggalan sejarah. Pemulaan sejarah setiap bangsa 
tentu berbeda-beda. Bangsa Mesir dan Cina dikenal sebagai bangsa-bangsa tertua 
karena mereka telah mengenal tulisan ribuan tahun sebelum masehi.

Tetapi, terdapat beberapa sumber sejarah (sumber sejarah bisa banyak: prasasti, 
buku-buku babad/kronik sejarah, catatan-catatan perjalanan para pengelana yang 
mengunjungi suatu bangsa. Catatan-catatan resmi kerajaan, dll.) yang 
menunjukkan bahwa kerajaan tertua di Indonesia bukanlah Tarumanegara atau 
Kutei. Beberapa sumber sejarah menyebutkan: Dwipantara (200 SM), Salakanagara  
(150 M) dan Holotan (akhir abad-4 sampai awal abad ke-5). 

Keberadaan Kerajaan Dwipantara (kerajaan Hindu di antara Pulau Jawa dan Pulau 
Sumatra) didasarkan atas tulisan para cendekiawan India. Keberadaan Kerajaan 
Salakanagara didasarkan atas Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi 
Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta, 
Kesultanan Cirebon). Keberadaan Kerajaan Holotan didasarkan atas bukti fisik 
berupa Prasasti Ciaruteun dan catatan-catatan kerajaan Cina Dinasti Sung. 

Keberadaan Kerajaan Dwipantara tidak jelas dan susah ditelusuri sumber-sumber 
sejarahnya untuk suatu pembuktian. Keberadaan Kerajaan Salakanagara meragukan 
karena Naskah Wangsakerta di kalangan para ahli sejarah juga menimbulkan 
perdebatan dan sebagian kalangan tidak mengakuinya sebagai sumber sejarah 
(perdebatan atas naskah ini pernah saya ulas di milis IAGI). Sekarang tinggal 
membuktikan Kerajaan Holotan yang kiranya mempunyai bukti yang lebih meyakinkan 
yaitu: bukti fisik berupa prasasti dan catatan resmi kenegaraan Dinasti Sung di 
Cina. Tetapi, saya akan juga menampilkan indikasi geologi untuk melihat 
kemungkinan keberadaannya.

Sebuah buku lama, “Dari Holotan ke Jayakarta” (saya peroleh 12 tahun lalu di 
pedagang buku bekas pojok Kramat Raya ke Kwitang, Jakarta) tulisan Prof. Dr. 
Slamet Muljana (ahli sejarah,  filologi dan linguistik) terbitan Yayasan Idayu, 
Jakarta 1980, menarik untuk disimak bila kita ingin mendalami sejarah Holotan, 
Tarumanegara sampai Jakarta. Pak Slamet Muljana adalah seorang ahli sejarah 
yang tekun meneliti dan menulis, penemuan-penemuan sejarahnya sering 
menimbulkan kehebohan dan berbeda dengan arusutama pengetahuan umum sejarah, 
sehingga beberapa bukunya pernah dilarang terbit agar tidak menjadi pengetahuan 
umum. Saat ini, buku-buku ‘terlarang’ Pak Slamet Muljana telah diterbitkan lagi 
oleh sebuah penerbit di Yogyakarta, dan saya tengah memburunya, baik yang edisi 
aslinya yang pernah dilarang (hanya ada di pedagang-pedagang buku bekas), 
maupun yang dicetak ulang oleh penerbit baru.

Prof.  Slamet Muljana berpendapat bahwa prasasti-prasasti  yang ditinggalkan 
oleh Purnawarman, raja Tarumanegara, berupa prasasti-prasasti dengan gambar 
telapak kaki, merupakan tanda kekuasaan sang raja di wilayah itu. Sampai 
sekarang, telah ditemukan empat prasasti ‘tapak kaki’ tinggalan Purnawarman di 
Jawa Barat: prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, dan Lebak (Cidanghiyang). 
Semuanya berasal dari abad kelima atau permulaan abad keenam. Di antara 
prasasti-prasasti itu, yang paling menarik adalah prasasti Ciaruteun (yang 
gambarnya sering muncul di buku-buku sejarah, dan replikanya dalam ukuran 
sebenarnya bisa dilihat di Museum Nasional, di gedung barunya –sebelah kanan 
gedung lama, saya baru menengoknya bulan lalu). 

Prasasti Ciaruteun ditulis menggunakan aksara Pallawa disusun dalam tatabahasa 
Sanskerta menggunakan metrum Anustubh tersusun atas tiga baris kalimat 
dilengkapi tulisan sulur (pilin –tulisan ini sampai sekarang belum berhasil 
dipecahkan apa artinya) dan pahatan  sepasang tapak kaki Raja Purnawarman. Ahli 
sejarah, filologi dan linguistik berkebangsaan Belanda, Kern pada abad-19 
menafsirkan bunyi prasasti ini adalah sebagai: 
"vikkranta syavani pateh shrimatah purnavarmanah tarumanagarendrasya vishnoriva 
padadvayam"

Yang menurutnya berarti:  “Ini adalah sepasang telapak kaki Paduka Yang Mulia 
Purnawarman, yang berkuasa di daerah ini, raja Taruma laksana Wisnu”.
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada tahun 1863 di pertemuan Sungai Ciaruteun dan 
Cisadane di sebelah utara-baratlaut kota Bogor sekarang. Sejak itu, prasasti 
ini menjadi objek penelitian Bataaviasch Genootschap van Kunsten en 
Wetenschappen (Lembaga Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan –sekarang 
kita kenal sebagai Museum Nasional).  Banjir  besar pada tahun 1893 melanda 
wilayah ini dan telah menyeret prasasti Ciaruteun beberapa meter ke arah hilir 
dari tempat aslinya dan membalikkan prasasti ini sehingga  tulisannya  berada 
di bawah.  Tahun  1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan 
Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat prasasti 
ini dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman, masih di sekitar tempat 
aslinya, agar tak terseret banjir lagi. Kapan-kapan saya ingin mengunjungi 
prasasti ini, bagus untuk wisata sejarah. Sekarang wilayah prasasti ini masuk 
ke wilayah Desa Benteng, Kecamatan Ciampea.

Slamet Muljana (1980) mengajukan pendapat bahwa Ciaruteun berasal dari nama 
asli Aruteun karena ditemukan di tengah sungai, maka disebutlah Ciaruteun sebab 
dalam bahasa Sunda ‘Ci’ = cai = sungai (sepadan dengan Ciliwung, Citarum, 
Cimanuk, Cisadane, dll.).  Nama Aruteun ini merupakan nama asli yang dalam 
bahasa Cina disebutnya ‘Holotan’. Nama ‘Holotan’ muncul sebagai nama sebuah 
kerajaan di Jawa yang pernah mengirimkan utusan ke Kekaisaran Cina pada tahun 
430, 433, 434, 435. 437 dan terakhir pada tahun 452 M (menurut catatan resmi 
Kekaisaran Dinasti Sung, yang tercatat dalam buku Sejarah Lama Dinasti Sung).

Bahwa Aruteun/Holotan adalah nama sebuah kerajaan didasarkan kepada analogi 
pada masa itu bahwa nama kerajaan yang terletak di muara sungai selalu diberi 
nama sesuai dengan nama sungai itu. Misalnya, dalam abad ketujuh I-tsing, 
seorang pengelana dari Cina, mencatat tentang Kerajaan Sriwijaya yang 
disebutnya sebagai Shih-li-fo-shih. ‘Fo-shih’ adalah transliterasi dari ‘Musi’ 
–nama sungai besar di sekitar lokasi Kerajaan Sriwijaya (meskipun apakah 
ibukota Kerajaan Sriwijaya itu di Palembang atau Jambi masih jadi perdebatan 
para ahli sejarah –pernah saya ulas di milis-milis). 

Berdasarkan itu, maka Prof. Slamet Muljana pada tahun 1980 mengeluarkan 
pendapat bahwa Aruteun adalah nama sebuah kerajaan yang dalam literatur sejarah 
Cina disebut sebagai ‘Holotan’, beribukita di muara sungai Aruteun di sebelah 
utara-baratlaut kota Bogor sekarang.

Lalu apa alasan mengatakan bahwa Aruteun lebih tua daripada Tarumanegara ? 
Sebab, Tarumamegara menurut catatan kekaisaran Cina mengirimkan utusannya ke 
Cina pada tahun 528 M. Sedangkan ‘Kerajaan’ Aruteun mengirimkan utusannya ke 
Negeri Cina pada tahun 430, 433, 434, 437 dan 452 M. Dan dokumen kekaisaran 
Dinasti Sung ‘Sejarah Lama Dinasti Sung’ menguraikan bahwa utusan Kerajaan 
Aruteun (yang disebutnya Holotan) pada tahun 430 meminta perlindungan kepada 
kaisar terhadap ancaman-ancaman negara tetangganya.  Itulah salah satu sebab 
maka Kerajaan Aruteun mengirimkan utusan ke Negeri  Cina. Pengiriman utusan itu 
diulanginya beberapa kali sampai yang terakhir terjadi pada tahun 452 M.

Sekarang, apakah makna Prasasti tapak Ciaruteun ? Semua prasasti Purnawarman, 
kecuali prasasti Tugu (H. Kern, Het Sanskrit-opschrift te Tugu (district 
Bekasih, Batavia): 450 AD, Verpreide Geschriften VII, h. 129-138) merupakan 
prasasti tapak kaki. Prasasti tapak kaki menunjukkan kekuasaan Purnawarman, 
raja Tarumanegara atas wilayah tempat prasasti itu berada. Jadi wilayah itu 
adalah wilayah taklukan atau kekuasaan Tarumanegara (Stutterheim, 1932, Het 
Hinduisme in den Archipel, Groningen, hal. 87).

Mengapa di Bekasi pada Prasasti Tugu tak ada tapak kaki. Sebab, Bekasi adalah 
ibukota Kerajaan Tarumanegara, jadi tak perlu penanda kekuasaan raja di 
daerahnya sendiri. Di daerah taklukan, tentu penanda kekuasaan itu menjadi 
penting. Dapat dilihat bahwa Tarumanegara dari Bekasi meluaskan wilayahnya ke 
wilayah2 di sebelah baratnya termasuk ke Auteun, Bogor dan Lebak Banten, tempat 
ditemukan prasast-prasasti tapak kaki Purnawarman.
Dengan demikian, Tarumanegara bukanlah kerajaan Hindu tertua di Indonesia, 
tetapi masih ada kerajaan yang lebih tua daripadanya, yaitu Aruteun/Holotan 
yang ditaklukkan oleh Tarumanegara pada sekitar tahun 452 dan 528 M. Oleh 
karena kerajaan Aruteun ini telah kehilangan kemerdekaannya, maka tak lagi 
mengirim utusan ke Cina. Utusan ke Negeri Cina dilanjutkan oleh Tarumanegara 
yang mengirimkan utusannya pertama pada tahun 528 M. Tarumanegara menjadi 
kerajaan besar di Jawa Barat sampai abad ke-7 M dan setelah itu digantikan oleh 
Kerajaan Sunda sampai abad ke-16 M.

Sekarang mari kita lihat indikasi geologi tentang keberadaan Kerajaan 
Aruteun/Holotan ini. Aruteun pada abad ke-5 telah mampu mengirimkan utusan ke 
Negeri Cina, menunjukkan bahwa pada abad ke-5 telah ada pelaut-pelaut Jawa 
Barat (suku Sunda ternyata pelaut ulung juga !) yang mampu membawa kapal-kapal 
jauh berlayar ke Negeri Cina (lihat publikasi Wolters, 1967, Early Indonesian 
Commerce, A Study of the Origins of Crivijaya, Cornell Univ. Press, Ithaca). 
Cornell (1967) mengutip Berita Cina mengatakan bahwa pada bulan keempat tahun 
430 utusan-utusan dari Kerajaan Holotan membawa beberapa kapal dagang ke Cina 
membawa upeti berupa bahan pakaian dari india dan Gandhara.

INDIKASi GEOLOGI HIDUP & MATINYA ARUTEUN

‘Pelabuhan Aruteun’ terletak di muara Sungai Cisadane. Pada waktu itu muara 
Sungai Cisadane terletak jauh lebih ke selatan karena garispantai utara Jawa 
Barat pada 1600 tahun yang lalu jauh berbeda dengan yang sekarang. Tanah 
aluvium dari muara Ciaruteun sampai garispantai utara Jawa Barat sekarang 
adalah hasil sedimentasi selama 1600 tahun. Van Bemmelen (1949) menyebut 
wilayah endapan ini sebagai ‘coastal plain of Batavia’ yang dibentuk oleh 
banyak sungai yang mengalir ke utara termasuk Sungai Cisadane dari kompleks 
pegunungan di daerah Banten-Bogor-Majalengka. 

Penaklukan Holotan oleh Tarumanegara menurut Slamet Muljana (1980) terjadi di 
antara tahun 452 -528 M. Bagaimana geologi bersaksi tentang ini ?
Setiap kerajaan yang ada di Jawa dan Sumatra, hidup dan matinya harus dikaitkan 
dengan peristiwa-peristiwa geologi sebab mereka berdampingan setiap harinya 
dengan proses-proses geologi. Itu tesis yang saya ajukan pada tahun 2007 
(Satyana, 2007: Bencana Geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit : 
Hipotesis Erupsi Gununglumpur Historis Berdasarkan Kitab Pararaton, Serat 
Kanda, Babad Tanah Jawi; Folklor Timun Mas; Analogi Erupsi LUSI; dan Analisis 
Geologi Depresi Kendeng-Delta Brantas, Proceedings Joint Convention Bali 2007- 
HAGI, IAGI, and IATMI, 14-16 November 2007). Apakah Aruteun/Holotan dihancurkan 
oleh bencana geologi? Kita harus memikirkannya ke arah itu, sebab ada indikasi 
serius ke arah itu sebagaimana saya uraikan di bawah.

Erupsi katastrofik Krakatau Purba 400/500M memunahkan Aruteun.
Banyak dokumen menunjukkan bahwa Krakatau 1883 bukanlah satu-satunya letusan 
dahsyat yang terjadi atas gunungapi terkenal di dunia ini. Sebelumnya, masih di 
Krakatau juga, ada letusannya yang kelihatannya jauh lebih dahsyat lagi 
daripada letusan 1883, yang terjadi pada masa sejarah, pada masa 
kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Indonesia tahun 400-an atau 500-an M. Tentu 
saja letusan ini tak banyak ditulis apalagi difilmkan sebab pengetahuan kita 
tentangnya masih samar-samar, walaupun nyata. Adalah B.G. Escher (1919, 1948) 
yang berdasarkan penyelidikannya dan penyelidikan Verbeek (1885) – dua-duanya 
adalah ahli geologi Belanda yang lama bekerja di Indonesia – yang menyusun 
sejarah letusan Krakatau sejak zaman sejarah – modern.

Saat ini, di Selat Sunda ada Gunung Anak Krakatau (lahir Desember 1927, 44 
tahun setelah letusan Krakatau 1883 terjadi), yang dikelilingi tiga pulau : 
Sertung (Verlaten Eiland, Escher 1919), Rakata Kecil (Lang Eiland, Escher, 
1919) dan Rakata. Berdasarkan penelitian geologi, ketiga pulau ini adalah 
tepi-tepi kawah/kaldera hasil letusan Gunung Krakatau (Purba, 400-an/500-an 
AD). Escher kemudian melakukan rekonstruksi berdasarkan penelitian geologi 
batuan2 di ketiga pulau itu dan karakteristik letusan Krakatau 1883, maka 
keluarlah evolusi erupsi Krakatau yang menakjubkan (skema evolusi Krakatau dari 
Escher ini bisa dilihat di buku van Bemmelen, 1949, 1972, atau di semua buku 
modern tentang Krakatau).

B.G. Escher berkisah, dulu ada sebuah gunungapi besar di tengah Selat Sunda, 
kita namakan saja KRAKATAU PURBA yang disusun oleh batuan andesitik. Lalu, 
gunungapi ini meletus hebat (kapan ? ada dokumen2 sejarah tentang ini, ditulis 
di bawah) dan membuat kawah yang besar di Selat Sunda yang tepi-tepinya menjadi 
pulau Sertung, Rakata Kecil dan Rakata. Lalu sebuah kerucut gunungapi tumbuh 
berasal dari pinggir kawah dari pulau Rakata, sebut saja gunungapi Rakata, 
terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunungapi muncul di tengah kawah, 
bernama gunungapi Danan dan gunungapi Perbuwatan.

Kedua gunungapi ini kemudian menyatu dengan gunungapi di Rakata yang muncul 
terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunungapi inilah yang disebut KRAKATAU. Tahun 
1680, gunung Krakatau meletus menghasilkan lava andesitik asam. Tanggal 20 Mei 
1883, setelah 200 tahun tertidur, sebuah erupsi besar terjadi, dan 
terus-menerus sampai puncak erupsi terjadi antara 26-28 Agustus 1883 (Inilah 
letusan Krakatau 1883 yang terkenal itu). Erupsi ini telah melemparkan 18 km3 
batuapung dan abu volkanik. Gunungapi Danan dan Perbuwatan hilang karena erupsi 
dan runtuh, dan setengah kerucut gunungapi Rakata hilang karena runtuh, membuat 
cekungan kaldera selebar 7 km sedalam 250 meter. Desember 1927, ANAK KRAKATAU 
muncul di tengah-tengah kaldera.
Seberapa besar dan kapan erupsi KRAKATAU PURBA terjadi ? Tulisan2 yang berhasil 
dikumpulkan (buku2 dan paper2 lepas) menunjuk ke dua angka tahun : 416 AD atau 
535 AD. Angka 416 AD adalah berasal dari sebuah teks Jawa kuno berjudul 
“Pustaka Raja Purwa” yang bila diterjemahkan bertuliskan : “Ada suara guntur 
yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang 
menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan 
hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah 
banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung 
Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, 
menciptakan pulau Sumatra” . 

Di tempat lain, seorang bishop Siria, John dari Efesus, menulis sebuah 
chronicle di antara tahun 535 – 536 AD, ” Ada tanda-tanda dari Matahari, 
tanda-tanda yang belum pernah dilihat atau dilaporkan sebelumnya. Matahari 
menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung sampai 18 bulan. Setiap harinya 
hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan 
bahwa Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi” . Dokumen di Dinasti 
Cina mencatat : “suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan mil jauhnya ke 
baratdaya Cina”. (Semua kutipan diambil dari buku Keys, 1999 : Catastrophe : A 
Quest for the Origins of the Modern Worls, Ballentine Books, New York).

Itu catatan2 dokumen sejarah yang bisa benar atau diragukan. Tetapi, penelitian 
selanjutnya menemukan banyak jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam 
belerang volkanik di temukan di contoh-contoh batuan inti (core) di lapisan es 
Antarktika dan Greenland, ketika ditera umurnya : 535-540 AD. Jejak2 belerang 
volkanik tersebar ke kedua belahan Bumi : selatan dan utara. Dari mana lagi 
kalau bukan berasal dari sebuah gunungapi di wilayah Equator ? Kumpul-kumpul 
data, sana-sini, maka semua data menunjuk ke satu titik di Selat Sunda : 
Krakatau ! Adalah letusan KRAKATAU PURBA penyebab semua itu.

Letusan KRAKATAU PURBA begitu dahsyat, sehingga dituduh sebagai penyebab semua 
abad kegelapan di dunia. Penyakit sampar Bubonic (Bubonic plague) terjadi 
karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan telah mengurangi 
jumlah penduduk di seluruh dunia. Kota-kota super dunia segera berakhir, abad 
kejayaan Persia purba berakhir, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan 
Bizantium terjadi, peradaban South Arabian selesai, berakhirnya rival Katolik 
terbesar (Arian Crhistianity), runtuhnya peradaban2 purba di Dunia baru – 
berakhirnya negara metropolis Teotihuacan, punahnya kota besar Maya Tikal, dan 
jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Kata Keys 
(1999), semua peristiwa abad kegelapan dunia ini terjadi karena bencana alam 
yang mahabesar, yang sangat mengurangi cahaya dan panas Matahari selama 18 
bulan, menyebabkan iklim global mendingin.

Nah, Kerajaan Aruteun/Holotan bisa saja terpapar kepada bencana letusan 
katastrofik Krakatau Purba yang letaknya tak sampai 200 km ke sebelah baratnya, 
sebelum lalu dianeksasi Tarumanegara.

Berdasarkan data sejarah dan geologi, saya percaya bahwa Kerajaan 
Aruteun/Holotan pernah ada, pada sekitar tahun 400-500 M, yang lalu dilanda 
bencana Krakatau Purba kemudian dianeksasi Tarumanegara pada antara paruh 
pertama abad ke-6 (500-550 M). Perbedaan/persamaan kronologi antara sejarah dan 
geologi akan menjadi kajian menarik selanjutnya.

Salam,
Awang





--------------------------------------------------------------------------------
PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro...
--------------------------------------------------------------------------------
Ayo siapkan diri....!!!!!
Hadirilah Joint Convention Makassar (JCM), HAGI-IAGI, Sulawesi, 26-29
September 2011
-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke