"Perlu dikagumi apa yang dapat dicapai oleh seseorang dalam keadaan histori 
tertentu apabila orang itu adalah tokoh yang luar biasa..." (Rudigert Siebert 
dalam "Deutsche Spuren in Indonesien", Horleman Verlag, 2002)

Seorang bapak, guru matematika di sebuah sekolah menengah, bertanya kepada saya 
dalam Sarasehan Para Ilmuwan Perintis Indonesia yang diselenggarakan Geotrek 
Indonesia dan Badan Geologi, "Pada masa kini, apakah peranan seorang autodidak 
dan ekstremis masih besar dan dapat dihargai dalam kehidupan?" Pertanyaan ini 
dinspirasi oleh kisah hidup Raffles, Wallace dan Junghuhn yang berkarya sangat 
besar dan menentukan pada abad ke-19, padahal mereka semuanya autodidak dalam 
bidangnya. Mereka saya sebut para ekstremis karena karya mereka tak mungkin 
lahir kalau mereka biasa-biasa saja atau sedikit lebih, tidak, mereka berbuat 
yang ekstrem yang orang lain rasanya susah melakukannya kalau tak ada 
ekstremitas di jiwanya.

Saya menjawabnya dulu secara lugas, autodidak dan ekstremitas adalah syarat 
mutlak buat seseorang punya karya besar dan diakui. Tidak ada karya besar, 
magnum opus, dilahirkan tanpa ekstremitas. Apakah pada masa kini seorang 
autodidak dihargai? Kita definisikan dulu autodidak di sini, yaitu orang yang 
belajar sendiri tanpa pendidikan formal di sekolah2. Jelas dia tak punya gelar 
akademik seperti diberikan di sekolah2 formal. Tetapi kemampuan tak berkorelasi 
positif dengan gelar, sekalipun itu seorang doktor atau gurubesar. Mestinya 
berkorelasi positif, tetapi ternyata tidak, suatu keanehan, tetapi kenyataan. 
Pada masa kini, masa ketika gelar2 akademik banyak dikejar dari yang junior 
sampai yang senior, masa ketika orang2 dengan gelar plus punya peluang lebih 
dalam berkarier, maka tak ada tempat buat seorang autodidak. Paling tidak, 
seorang autodidak sudah tersingkir sejak awal saat sebuah lowongan pekerjaan 
misalnya membutuhkan gelar minimal S2 dan
 seterusnya. Saya tak yakin seorang autodidak dengan kemampuan luarbiasa tetapi 
gelar minimal (S1) dipertimbangkan untuk diterima ketika spesifikasi lowongan 
mengharuskan gelar minimal adalah S2. Bagaimana bahwa orang2 sekarang mengejar 
gelar akademik plus adalah kenyataan bahwa para S1 sekarang ini lebih langka 
dibandingkan S2. Dan, marak perguruan2 tinggi mengadakan pendidikan2 
pascasarjana entah yang reguler, maupun yang diadaptasi agar bisa ditempuh 
sambil bekerja demi tambahan gelar.

Kembali kepada Raffles, Junghuhn dan Wallace.

Stamford Raffles dengan karyanya, History of Java (1817) masih kuat menentukan 
analisis2 sejarah pada akhir abad ke-18 dan awal abad 19. Sebab Raffles dengan 
sangat detail menuliskan dan menggambarkan semua yang dilihatnya. Padahal, 
Raffles menjadi Gubernur Jenderal di Jawa atau Bengkulu hanya bermodalkan 
sekolah sampai sederajat SMP, 14 tahun putus di tengah jalan. Kalau bukan 
autodidak dan ekstremitas, dia tak akan dapat menuliskan dengan sangat detail 
flora dan fauna, tentang adat-istiadat orang Jawa dan Sumatara, tentang 
bangunan2 bersejarah yang ditemukan kembali dan dibukanya, menggagas pendirian 
Kebun Raya Bogor, Museum Etnografi di Batavaia, atau namanya dipakai sebagai 
nama spesies di beberapa flora dan fauna di Indonesia. Bagaimana ia bisa 
memimpin dengan baik Jawa kalau bukan seorang autodidak sebab pendidikan 
politik pemerintahan pun tak ada di riwayat hidupnya.

Junghuhn, tak ada satu pun gelar akademik dalam bidang ilmu pengetahuan alam 
ditambahkan kepada namanya. Dia memang seorang dokter militer, dokter karena 
profesi bukan akademik sebab sebagai dokter pun dia tak lulus sekolah karena 
banyak masalah. Tetapi, adakah orang dengan kecintaan dan antusiasme yang 
begitu berkobar seperti Junghuhn meneliti alam Jawa dan memetakannya selama 13 
tahun termasuk mendaki semua gunungapi di Jawa dan menuliskannya dalam empat 
buku tebal yang bila ditumpuk akan setinggi 30 cm, belum ratusan atikelnya yang 
muncul di berbagai jurnal. Juga, peta topograi Jawa dengan ukuran 4x1 meter 
yang sangat akurat dan tak kalah dengan peta google masa kini padahal dibuat 
Junghuhn tahun 1855. Sampai sekarang, belum ada peneliti Jawa dengan minat dan 
ketekunan luar biasa seperti Junghuhn. Satu lagi, pada masanya, Junghuhn sering 
bentrok dengan para ilmuwan sekolahan macam CL Blume, kurator herbarium 
Kerajaan Belanda, juga dengan para ahli
 kimia saat Junghuhn membudidayakan kina. Kalau bukan penganut autodidak dan 
ekstremis, tak mungkin Junghuhn menghasilkan karya2 besarnya.

Wallace meskipun hanya bersekolah sampai umur 13 tahun, toh dia menyaingi 
prestasi Charles Darwin dalam bidang evolusi dan seleksi alam. Wallace bukan 
orang akademik dan  anggota perhimpunan ilmuwan yang terhormat Royal Society 
seperti Darwin. Dalam bidang biogeografi, dia tak tersaingi siapa pun pada 
masanya. Dan adakah gurubesar geologi pada masanya yang berpikir seperti 
Wallace bahwa Sulawesi itu dibangun oleh bagian2 kerakbumi yang saling 
berbenturan sehingga faunanya anomali? Tidak ada, tidak juga Charles Lyell, 
bapak geologi modern yang terhormat kawan Darwin di Royal Society. Wallace 
menulis soal benturan Sulawesi ini pada tahun 1859, sebelum para ahli geologi 
peneliti  Indonesia membuktikannya dengan teori tektonik lempeng pada 
pertengahan 1980-an. Soal publikasi, adakah ilmuwan sekolahan yang menulis 22 
buku dan 747 artikel (191 artikel diterbitkan oleh Nature, jurnal terkenal 
dalam ilmu pengetahuan dan terkenal punya standar paling tinggi)
 seperti Wallace? Padahal Wallace menghasilkan semua itu bukan sebagai sarjana, 
sederajat SMP pun dia tak lulus. Kalau bukan penganut autodidak dan ekstremis, 
tak mungkin Wallace melakukan itu, tak mungkin ia mengelilingi Indonesia selama 
8 tahun menempuh 22.000 km kalau orang biasa2 saja.

Mungkin kini zamannya para autodidak dan ekstremis seperti Raffles, Junghuhn 
dan Wallace sudah lewat sebab kini ilmu pengetahuan bercabang begitu banyak, 
lahir para spesialis2 bergelar doktor atau gurubesar keluaran perguruan2 tinggi 
dan makin banyak, sehingga pekerjaan2 raksasa dan karya2 besar sepanjang masa 
seperti yang dilakukan oleh  Raffles, Junghuhn dan Wallace sekarang dikerjakan 
oleh begitu banyak orang dan begitu spesialis.

Tetapi kecintaan akan ilmu yang diputuskan untuk ditekuni, ketekunan meneliti 
dan mencatatnya, kemauan keras-mental baja atas target yang ingin dicapai, 
konsisten menyelesaikan pekerjaan, keberanian 
menjelajah-meneliti-mempublikasi-berdebat, daya tahan di lapangan dan di atas 
meja yang tinggi, autodidak terus belajar sendiri, antusiasme yang 
tinggi-semangat berkobar, dan EKSTREM adalah ciri bersama Raffles, Junghuhn dan 
Wallace yang dapat kita teladani.

Salam,
Awang

Kirim email ke