Teman-teman IAGI,

 

Saya dapat undangan dari Serikat Pekerja Pertamina Hulu dan Indonesia
Society of Petroleum Geologist, anak perusahaan IAGI, untuk memberi sumbang
saran rencana penerapan Gross PSC yang diadakan tgl. 19 Januari, 2017.
Sekitar 150 participants dari K3S dan Pertamina hadir. Seminar dibuka dengan
ceramah dari Wamen ttg. "Kontrak Bagi Hasil Gross PSC" atau KBHGS.

 

Ternyata tujuan seminar tidak sesuai isi undangan. KBHGS sudah berjalan dan
telah ditandatangani dengan ONWJ sebagai percobaan. Contoh KBHGS baru saya
terima tgl 19 Januari.   

 

Kemajuan dan kelangsungan IAGI tergantung dari "lakunya" KHBGS, yang
sekarang sedang dipromosikan ESDM. Partisipasi IAGI diperlukan.

 

 

KEKURANGAN-KEKURANGAN "HASIL BAGI GROSS SPLIT"

 

Karena KBHGS baru diberikan pada kami waktu presentasi tgl. 19 Januari, saya
tidak sempat membaca hingga presentasiasi saya tidak kena sasaran. Saya
ingin  memperbaiki dan memberi tanggapan terbatas pada pasal 4, 5, 6, dan 7
saja. 

 

Berdasarkan Pasal 6, kontrak ini terdiri dari dua bagian. Kalau eksplorasi
berhasil, akan dilakukan persetujuan berikutnya berupa "Pengembangan
lapangan" (seperti POD), berdasarkan hasil awal (base split) yang
disesuaikan dengan 10 komponen variable dengan 35 sub-komponen dan 2
komponen progresif dengan 13 sub-komponen.  

 

Dalam industri natural resources semua perusahaaan ingin kontrak yang
menyatu, yaitu dari  Eksplorasi sampai Produksi, seperti PSC sekarang.
Istilahnya adalah  "From Cradle to Grave" atau "Dari Buaian sampai Nisan".
Kalau eksplorasi berhasil langsung bisa produksi.  

 

Perlu juga diutarakan bahwa perusahaan minyak dalam kalkulasi profit memakai
Expected Value, bukan NPV. Hal ini mereka lakukan karena antisipasi risiko
kegagalan  eksplorasi seperti dry holes. Jadi kalau profit mereka batasi,
seperti yang dikehendaki oleh Pemerintah, dengan memberi insentif
berdasarkan komponen yang sudah ditentukan Pemerintah, bagian terbesar dari
mereka akan menolak terutama untuk blok eksplorasi. 

 

Alasan K3S menolak simple, komponen variable dan progresif yang tercantum
dalam kontrak tidak mencerminkan keadaan keseluruhan lapangan/blok hingga
pasti akan timbul disputes, padahal K3S sudah mengeluarkan jutaan dollar
untuk eksplorasi.  

 

Banyak komponen tidak ada dalam daftar KBHGS, seperti estimasi cadangan yang
sangat penting. Indek harga besi juga tidak ada, padahal komponen ini
penting dalam development lapangan. Komponen HSE tidak ada padahal kita akan
berhadapan dengan sensitive areas seperti hutan lindung ataupun endangered
species. Pajak tanah yang merupakan komponen penting tidak dibahas.  Dsb.   

 

Juga besarnya insentif/penalty tidak sesuai. Umpama untuk H2S diatas 500
ppm, diberikan insentif 1%. Padahal H2S antara 1-10% adalah umum?   

 

Demikian juga untuk kandungan CO2 sampai diatas 60% diberi insentif tetapi
cuma 4%. Ini tidak masuk akal. Gas diproduksi dan dipisahkan dari
hydrocarbon yang hanya 40%. Pemisahan dilakukan diatas ground, berarti perlu
fasilitas yang luar biasa besarnya. Kandungan CO2 yang sampai 60% harus
diinjeksikan kembali dan dijamin tidak akan keluar atau mengotori reservoir
maupun  gound water selama puluhan tahun. Biaya reinjection wells CO2 akan
sangat tinggi dan insentif 4% tidak cukup. 

 

Sebagai contoh, waktu EXXON diminta untuk pengembangan gas raksasa Natuna
yang mengandung 72% CO2, Exxon kalau tiak salah hanya sanggup memberi 10%
FTP dan zero saham kepada Pertamina.    

 

Demikian juga Jenis Reservoir dibagi atas Konvensional (0%) sedangkan
Non-konvensional dapat insentif 16%. Namun dalam non konvensional tidak
dimasukkan "fractured reservoir" seperti Jatibarang. Perlu juga dimasukkan
"Stratigraphic traps". Perlu juga dimasukkan untuk daerah yang ditutupi
volcanics, limestone, basalt, dsb. yang menyebabkan biaya seismic yang mahal
sekali. Hal-hal tsb diatas berisiko tinggi untuk melakukan pemboran hingga
perlu  diberikan juga insentif 16%, bahkan mungkin lebih besar. Dll.?  

 

Contoh lain adalah insentif yang diberikan berdasarkan kedalaman laut, makin
dalam makin besar insentif diberikan. Padahal didaerah Transition Zone atau
daerah mangrove swamp, untuk melakukan eksplorasi dan pemboran sangat mahal.
Juga laut bisa tidak terlalu dalam, tetapi ombak besar akan menyebabkan
biaya tinggi. Dll.

 

Karena HGBS adalah hal baru hingga kemungkinan besar banyak kekurangannya.
Kalau tidak salah "sunk cost" tidak dibahas. Apakah sunk cost dibayar
Pemerintah kepada K3S berdasarkan base split atau setelah koreksi dari
berbagai komponen? Atau dibayar dari income tahun-tahun permulaan?   

 

Kontrak HBGS Split sangat berlainan dengan PSC yang sekarang sudah berjalan
selama 50 tahun. PSC Indonesia yang berlaku sekarang relatif tipis, cuma 40
halaman dobel spasi untuk jangka 30 tahun dari eksplorasi, development
sampai produksi diterima dunia Internasional, tanpa keraguan. 

 

Hal ini sebetulnya sangat amazing, kontrak yang tipis sekali dengan banyak
loopholes, tetapi diterima semua IOC. Mereka percaya PSC Indonesia karena
sudah berjalan selama 50 tahun. Tapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah
perbankan Internasional mengakui PSC Indonesia dan mereka bisa menggunakan
PSC Indonesia sebagai garansi atau agunan untuk digadaikan dan menerima
pinjaman. Ini sangat penting karena tanpa kecualian, semua perusahaan harus
pinjam uang waktu development. 

 

KBHGS berlainan sekali dengan PSC Indonesia sekarang. Akibatnya KBHPC akan
diteliti benar oleh ahli hukum K3S dan Bank mereka. Kemungkinan besar bisa
ditolak, kalau cadangan tidak bisa digadaikan.  Apakah kita berani mengambil
risiko dalam keadaan sekarang ini? Kalau tidak, sebaiknya "don't rock the
boat" dan pakailah existing PSC yang sudah baku dan pasti diterima oleh
dunia Internasional. 

 

Juga perlu diutarakan bahwa sampai sekarang sudah 7 tahun UU Baru Migas
masih digodok DPR. Bagaimana natinya kalau KBHGS bertentangan dengan UU
Baru? Investor cenderung wait and see.   

 

Pertanyaan lain adalah, apakah kontrak sejenis ini dengan banyak vairiable
dan berubah dengan waktu (harga minyak, kadar H2S, CO2, TKDN, dsb.) telah
dipakai dinegara lain? 

 

 

USULAN.

 

Untuk meniadakan  keadaan negatip tsb.diatas, saya ingin mengusulkan untuk
menggunakan "Cost Recovery Limit". CRL adalah ciri suatu PSC dan dipakai
oleh Ibnu Sutowo periode 1966-1976. Antara 1976-1986, kata "limit" dilepas.
Mengetahui Indonesia mengalami kerugian, tahun 1996 dikeluarkan FTP yang
menjamin pemasukan negara antara 15-20%. TFP berlaku sampai sekarang. FTP
dishare dengan K3S berdasarkan split dan berfungsi ganda, sebagai Cost
Recovery Limit maupun sebagai royalty.  

 

Penerapan CRL bisa mengurangi secara significant kesulitan yang dihadapi
BHGS dan mengurangi pekerjaan tender system a la SKKMIGAS. CRL bisa
diterapkan langsung untuk blok-blok eksplorasi. CRL bisa diterapkan tanpa
merubah existing PSC secara significant.           

 

Contoh yang ditandatangani Pak Ibnu tahun 1966 dengan IIAPCO dengan CRL
sangat sederhana seperti terlihat dibawah.

              1. The State would have management control.

              2. The contract would be based on production sharing

              3. IIAPCO would bear production risk, and if oil was
discovered, cost recovery            limited to 40%.

              4. After cost recovery the profit oil will be split 65/35 in
favor of the State.

              5. Title to all project-related equipment bought by IIAPCO
would pass to the       State. 

 

Contoh diatas mengambil CRL 40% dan split 65/35. Kita bisa merubah salah
satu atau keduanya tergantung dari kebutuhan dan kepentingan Indonesia.
Namun, begitu tertulis dalam kontrak, berlaku seterusnya. Inilah yang
diingini K3S. 

 

K3S akan mendapatkan semua pengeluaran kembali dalam bentuk cost recovery,
tapi pengeluaran tiap tahun dibatasi 40% dari oil/gas production. Kalau
pengeluaran lebih dari 40%, umpamanya, kelebihannya bisa dicanking
ketahun-tahun berikutnya (Loss carry forward).  

 

Pengawasn mudah, tinggal tunggu di wellhead, 40% minyak yang keluar dipakai
sebagai expenses atau CRL. 

 

PSC menjadi simple. Tidak ada FTP. Tidak perlu adanya depresiasi. SKKMIGAS
bisa implementasi tugas utamanya tanpa pamrih, yaitu menerapkan HSE dan
TKDN. 

 

Dengan menerapkan CRL hanya dua parameter yang diawasi, besarnya share
(contoh diatas 65%) dan besarnya CRL (contoh diatas 40%). Terjamin bahwa
pemerintah Indonesia selalu dapat, mulai tahun pertama. Terjamin bahwa Oil
company dapat memakai uangnya secara jauh lebih bebas tanpa selalu minta
izin dari SKKMIGAS.  

 

Pemakaian CRL masih within the boundary dari PSC hingga bisa dipakai tanpa
melakukan banyak perubahan. 

 

Istilah-istilah yang dipakai oleh PSC sekarang adalah cost recovery, profit
oil, dan contractor. Sedangkan KBHGP yang bersistim Royalty/Tax, istilah
tsb. akan diganti menjadi deduction, taxable oil, dan Oil Co. Dengan
demikian Indonesia akan punya dua sistim, satu PSC dan satu Royalty/Tax
sistim dengan istilah berlainan. Ini akan berakibat confusion. 

 

Salam,

 

HL Ong 

 

. 

 

 

 

 

 


----------------------------------------------------

JCM (Joint Convention Malang) 2017
Sep 25-28 September 2017
Malang

----------------------------------------------------

Iuran tahunan Rp.250.000,- (profesional) dan Rp.100.000,- (mahasiswa)
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta (a/n IAGI)
No. Rek: 123 0085005314
Bank BCA KCP. Manara Mulia (A/n: Shinta Damayanti)
No. Rekening: 255-1088580

----------------------------------------------------
Subscribe: iagi-net-subscr...@iagi.or.id
Unsubscribe: iagi-net-unsubscr...@iagi.or.id
----------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information 
posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. 
In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not 
limited
to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting 
from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use 
of 
any information posted on IAGI mailing list.

Kirim email ke