Hormati Klarifikasi Ahmadiyah

Mohamad Guntur Romli
Host Acara Kongkow Bareng Gus Dur di KBR68H

Ketika Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) memberikan klarifikasi 12
ajarannya Selasa 15 Januari lalu, seorang kawan saya mengirim pesan
pendek, "Sembilan puluh sembilan persen iman Ahmadiyah sama dengan
Islam kita wabilkhusus Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi tapi guru dan
Tadzkirah bukan kitab suciĀ—apakah mereka masih akan dikejar juga?"
Saya tak bisa menjawab hanya berharap. 

Kekerasan terhadap Ahmadiyah selama ini sudah di luar batas kewajaran,
dan wajib dihentikan. Pasalnya tak hanya kehancuran fisik yang telah
terjadi, namun lebih dari itu telah sampai pada tahap banalisasi
kekerasan. Kekerasan di maqam ini tak lagi dipandang dan dirasakan
sebagai kekerasan, namun sebagai kebiasaan yang tak bisa ditimbang
oleh akal yang sehat. 

Kekerasan yang terus terjadi terhadap jamaah Ahmadiyah yang tak
henti-hentinya dipertontonkan televisi, diberitakan surat kabar,
diangkat dalam diskusi malah membuat mata, telinga, akal, dan hati
kita lagi awas dan waras. Sehingga praktik kekersan yang sebelumnya
dianggap sebagai ketakwajaran bahkan kejahatan menjadi kewajaran
karena hantamannya yang bertubi-tubi menumpulkan nalar dan mematikan
rasa. Kekerasan model inilah yang lebih menakutkan, bukan lagi
kekerasan yang terjadi sebagai kasus, namun kekerasan yang telah
menjelma sebagai tradisi karena matinya akal dan nurani. Penghentikan
kekerasan berarti juga kembalinya kewarasan publik. 

Sayangnya masih ada beberapa kelompok yang tak berpihak pada kewarasan
publik ini. Mereka ingin menguapkan klarifikasi Ahmadiyah tersebut.
Dalam sepekan ini kita bisa melihat siapa saja kelompok-kelompok itu,
mereka yang terus menghasut agar timbul gejolak dan penghakiman
sepihak terhadap Ahmadiyah. 

Pertama, Republika melaui headlinenya selama 4 hari berturut-turut:
"Awasi Ahmadiyah" (Rabu 16/01), "MUI: Ahmadiyah Tetap Sesat" (17/01),
"Menteri Agama Didesak Tegas" dan "Ahmadiyah Lagu Lama, Aransemen
Baru" (Kamis, 18/01), "Ahmadiyah Tetap Terlarang" (Jumar, 19/01).
Media ini aneh yang konon dicitrakan sebagai harian nasional Islam,
namun tak berpihak pada tabayun (klarifikasi) dengan memfokuskan
pemberitaanya pada pihak-pihak dan individu yang selama ini menyerang
Ahmadiyah. 

Politik headline harian ini juga janggal karena seluruh media nasional
menyorot pada status hukum Soeharto dan harga kedelai yang semakin
naik, namun Republika lebih suka berjualan penyesatan akidah. Saya tak
habis pikir dimana letak kelebihan berita Ahmadiyah dibanding dengan
status hukum Soeharto atau harga bahan-bahan pokok yang terus naik?
Adakah agenda tersembunyi di balik politik headline itu? 

Kedua, Forum Umat Islam (FUI) melalui tokohnya Muhammad al-Khaththath.
Sepanjang pengetahuan saya, al-Khaththath ini ketua Hizb Tahrir
Indonesia: sebuah partai Islam transnasional yang akidah politiknya
bertentangan dengan ideologi negara kita. Sistem negara yang diingkan
oleh Hizb Tahrir bukan republik (jumhuriyah), atau federasi
(ittihadiyah) namun negara khilafah yang bertentangan dengan sistem
negara kita yang republik. Hizb Tahrir juga akan menghapus teritori
wilayah Idonesia dengan memasukkannya dalam wilayah khilafah Islam.
Hizb Tahrir juga memiliki keyakinan bahwa demokrasi adalah sistem
kafir (nidzamul kufr). Hizb Tahrir inilah yang semestinya perlu
diwaspadai karena akan menghancurkan ideologi yang telah dibangun oleh
founding fathers kita. Dibanding ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Wahsliyah termasuk juga Ahmadiyah yang
memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia, Hizb Tahrir tak
hanya "masbuq" dalam jemaah ormas Islam itu, namun sudah ketinggalan
jauh, sehingga ideologi dan tujuan kelompok ini bertentangan dengan
ideologi negeri kita: NKR, Pancasila dan UUD 45. 

Pun karakter Islam Hizb Tahrir juga bukan karakter Islam di Indonesia
yang lebih mengutamakan dakwah kultural dan menggarap langsung
masyarkat melalui pendidikan: pesantren dan sekolah, rumah sakit, dan
lain-lain. Sedangkan Hizb Tahrir adalah kelompok yang dibayangi trauma
kekalahan akibat runtuhnya Imperium Othmaniyah di Turki, dan kelompok
ini sebagai partai politik transnasional tidak memiliki
lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, atau yang berkaitan
langsung dengan hajat masyarakat banyak. 

Saya memiliki dugaan, Forum Umat Islam (FUI) ini adalah kamuflase dari
Hizb Tahrir yang akhir-akhir ini terpojok karena ideologi mereka
dihadapkan dengan ideologi negara kita, sehingga beberapa petinggi
mereka perlu melakukan strategi dengan memperbanyak topeng. Dugaan ini
bisa menjadi keyakinan karena kuatnya suara Muhammad al-Khaththath,
ideolog Hizb Tahrir Indonesia di kelompok ini. Selain FUI, Hizb Tahrir
juga memiliki "produk baru" lain yaitu Gerakan Mahasiswa Pembebasan
yang setiap demonstrasi mereka menggunakan ikat kepala putih dengan
tulisan dua kalimat syahadat bertinta hitam. Namun Hizb Tahrir ini tak
bisa membohongi masyarakat umum karena ada kemiripan slogan, agenda,
modus pergerakan hingga font (jenis huruf) yang mereka gunakan sebagai
pamflet.

Ketiga, kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia
(GBUII) yang dipimpin oleh Habib Abdurrahman Assegaf. Melalui
informasi yang kami kumpulkan di Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), Abdurrahman Assegaf ini memiliki
nama asli Abdul Haris Umarella, putra asli Ambon. Kami juga tidak tahu
dari mana ia mendapatkan gelar kehormatan habib dan mendapatkan gelar
marga bangsawan Arab: Assegaf. Abdul Haris Umarella ini pula yang
selama ini terus melakukan intimidasi terhadap masjid-masjid yang
digunakan oleh jamaah Ahmadiyah untuk salat jemaah. 

Masih segar dalam ingatan saya ketika Abdul Haris Umarella mendatangi
masjid al-Fadl bersama anak buahnya di Bogor bulan Desember kemaren,
ia membawa kitab tebal yang ia yakini sebagai Tadzkirah, dalam
tuduhannya juga Tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah. Dan ia pun
menginjak-injak kitab tersebut. Saya hanya bisa terperangah, bagaimana
ia bisa menginjak sebuah kitab yang di dalamnya ada tulisan lafadz
Allah, dan ayat-ayat al-Quran? 

Keempat, KH Ma'ruf Amin mantan ketua Komisi Fatwa MUI yang masih
ngotot dengan fatwanya soal kesesatan Ahmadiyah. Tanpa mengurangi rasa
hormat saya pada Kiai Ma'ruf, saya melihat beliau lebih sebagai
politisi daripada seorang ulama yang faqih. Jabatan-jabatan beliau
dalam politik praktis dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kemudian
terlibat konflik ikut mendirikan Partai Kebangkitan Nadlatul Ulama
(PKNU) hingga jabatannya sebagai salah seorang dewan pertimbangan
presiden. Dan kengganan Kiai Ma'ruf saat ini lebih pada egoisme
seorang politisi bukan kerendahan hati yang bisa ditemukan pada ahli
fiqih.

Hemat saya, fatwa MUI itu dikeluarkan karena sejumlah alasan, manakala
akidah Ahmadiyah tidak lagi sesuai dengan argumentasi fatwa itu, maka
sudah seharusnya fatwa tersebut dicabut karena bisa dijadikan dalih
oleh kelompok-kelompok yang bisa mengganggu kewarasan publik.
Ahmadiyah melalui 12 klarifikasinya bukanlah kelompok yang "sesat dan
menyesatkan", namun insya Allah kelompok yang "selamat dan
menyelamatkan". 





    
  



Kirim email ke