Ini sekedar bagian dari LAPUT TEMPO, mungkin bisa kita renungkan. Tak penting 
soal JK-Win kalah atau SBY menang (maaf, saya sih pilih JK ikutan kata kyai). 
Tapi, mari kita simak, mungkinkah masyarakat kita sudah berubah memandang dan 
mendengar dawuh ulama? Ataukah pesantren sudah menjauh dari masyarakat sekitar? 
Ataukah masyarakat sudah terlalu materialistis? Kalau ini benar, naudzubillah. 

Mari, coba kita renungkan.

-------------
Laporan Utama
-------------

Dawuh Kiai, Maaf Saja

JK-Win menang di sejumlah pondok pesantren. Masyarakat sekitar mencontreng SBY.


TERTATIH-TATIH, KH Idris Marzuki menyibak tirai lalu keluar dari bilik tempat 
pemu­ngutan suara, Rabu pekan lalu. Sambil mencelupkan ujung keling­kingnya ke 
tinta penanda telah mencontreng, sesepuh pondok di kaki Gunung Klotok itu 
memandang puluhan santri yang menunggunya.

"Silakan tentukan sendiri pilihan kalian, saya memilih Pak JK," kata Mbah 
Idris, sapaan KH Idris. Para santri diam menunduk dan tak memandang wajah Kiai. 
"Ideologi saya dan Pak JK sama," Mbah Idris menambahkan.

Setelah Mbah Idris pergi, para santri berbondong-bondong menuju ke 11 TPS yang 
bertebaran di kompleks pondok. Hasilnya: JK-Wiranto menang mutlak menguasai 
90,2 persen suara. Adapun SBY-Boediono hanya mendulang 3,28 persen dan 
Mega-Prabowo 0,2 persen.

Dua hari sebelum pencontrengan, para santri tiap malam meriung di bilik-bilik 
pondok. Mereka memandangi kertas karton seukuran folio berisi keputusan ulama 
dalam bahtsul masail—pertemuan terbatas pengasuh pondok pesantren dan tokoh 
Nahdlatul Ulama—Jawa Timur di Surabaya pada 22 Mei 2009. Intinya, mereka bulat 
mendukung Jusuf Kalla-Wiranto sebagai presiden dan wakil presiden.

Di bagian bawah selebaran itu terdapat tanda tangan 20 kiai pengasuh pondok 
pesantren dan tokoh NU Jawa Timur. Di antaranya KH Anwar Mansyur (Lirboyo, 
Kediri), KH Zainudin Jazuli (Ploso, Kediri), KH Miftahul Akhyar (Surabaya), KH 
Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), KH Muchid Muzadi (Jember), dan KH Achmad 
Suba­dar (Besuk, Pasuruan). "Kami turut apa kata kiai," kata Imam Hanifah, 
santri asal Purworejo.

Namun kemenangan JK-Win sama sekali tak merembes ke luar pondok. Di 10 TPS 
Kelurahan Lirboyo yang berjarak hanya sepelemparan batu, SBY meraup 1.987 
suara, Mega-Pro 895 suara, dan JK-Win hanya 239 suara. Padahal selama ini apa 
yang menjadi titah ulama Lirboyo, termasuk dalam perkara politik, senantiasa 
diamini masyarakat sekitar.

"Pondok dan kiai sekarang jauh dari kami," kata Imam Subawi, warga yang tinggal 
di sekitar Pondok Lirboyo. "Santri dilarang beli makanan di luar pondok, harus 
beli ke pengurus." Bukan hanya soal makanan. "Kami juga sulit bertemu kiai 
untuk sekadar bertanya," kata Imam. "Padahal tiap hari pejabat dengan mudahnya 
keluar-masuk rumah kiai."

Mustofa, ketua takmir Mushola Al-Ikhlas, Kelurahan Sukorame, yang berjarak 300 
meter dari Lirboyo, membandingkan ulama Lirboyo sekarang dengan figur KH Maksum 
Djauhari, pengasuh Lirboyo yang sudah almarhum. "Saat Gus Maksum masih hidup, 
masyarakat merasa terlindungi," kata dia. Tukang becak yang dirundung masalah 
bisa datang pukul berapa pun. "Gus Maksum juga tidak melarang santri membeli 
makanan ke warung warga sekitar pondok."

JK-Win juga hanya berpendar di Pon­pes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, 
Situbondo. Di TPS 17 di lingkungan pondok, pasangan nomor tiga itu merebut 300 
suara, dua kandidat lainnya nol besar. Dari 18 TPS yang tersebar di pondok, 13 
TPS mutlak milik JK-Win. SBY-Boediono hanya mendapat lima suara di lima TPS. 
Sedangkan Mega-Pro sama sekali tak ada yang memilih. Total suara JK-Win dari 
pondok asuhan KH Achmad Fawaid As'ad itu 5.295 suara.

Sejam sebelum pencontrengan, santri dikumpulkan di Masjid Ibrahimy. "Kiai minta 
kami memilih Pak JK," kata Andi, salah seorang santri. KH Fawaid tak menampik 
adanya penggalangan santri. "Santri itu seperti anak saya, belajar bersama 
saya," kata dia. "Mereka harus diarahkan, termasuk urusan capres-cawapres ini."

Tapi, di luar pondok lain lagi. Di TPS 01 yang berjarak sekitar 500 meter dari 
pesantren, SBY-Boediono meraup 119 suara, menang tipis dari JK-Win yang 
mendulang 107 suara. Mega-Prabowo lumayan, mendapat 3 suara. Di TPS 33 dan 34 
Dusun Gelidik, SBY-Boediono mendulang 263 suara, sedangkan JK-Win 128. Di empat 
desa sekitar pondok, Desa Banyuputih, Sumberanyar, Sumberwaru, dan Wonorejo, 
SBY-Boediono unggul dengan 10.002 suara, sedangkan JK-Win 3.613 suara hampir 
sama perolehan suara Mega-Pro, 3.647 suara. "Bukan karena kiai sudah tak 
didengar masyarakat, tapi mungkin karena faktor DPT dan ancaman," kata KH 
Fawaid. Di Pondok Pesantren Zainul Hasan, Pajarakan, Probolinggo, Kalla bahkan 
hanya menang di sejumlah TPS di lingkungan pondok berusia 170 tahun itu. Di 
lingkungan sekeliling, SBY yang berjaya.

Empat hari sebelum pencontrengan, istri JK, Mufidah Kalla, berkunjung ke 
Genggong. Di hadapan calon ibu negara, pengasuh Pondok Genggong KH Hasan 
Mutawakkil Alallah menyeru para santri dan masyarakat Probolinggo memilih 
JK-Win. Seruan yang mendebarkan hati karena sang kiai adalah Ketua Tanfidziyah 
Pengurus Wilayah Nah­dlatul Ulama Jawa Timur.

Tokoh masyarakat Pajarakan, Mohammad Sulthon, menilai kekalahan JK-Win di 
Genggong bermakna: dawuh (ucapan) kiai sudah tak dipatuhi masyarakat sekitar, 
bahkan santrinya sendiri. "Kini masyarakat lebih sreg mengikuti kata hatinya 
sendiri," kata Sulthon.

Namun KH Mutawakkil Alallah seperti tak terbebani dengan kekalahan kandidat 
pujaannya. Baginya, keka­lah­an JK-Win yang disokong kiai justru menjadi 
penanda arus balik tata pergaulan politik kiai. Ulama NU kembali solid setelah 
sempat terpecah-belah dalam berbagai peristiwa politik, baik tingkat daerah 
maupun pusat. "Meski suaranya kecil, semua ulama NU di Jawa Timur mendukung Pak 
JK sebagai satu-satunya kader NU dalam pemilihan presiden," kata dia. "Jadi, 
Pak JK kalah dengan mulia dan terhormat."

Dwidjo U. Maksum, Hari Tri Wasono (Kediri), Ika Ningtyas (Situbondo), Mahbub 
Djunaidy (Probolinggo)


Kirim email ke