Di lorong itu, tiba– tiba terdengar dentingan garpu, sendok, dan pisau yang beradu dengan piring. Gelas – gelas bening itu masih menyisahkan seperempat anggur merah, sementara pemiliknya sibuk ngobrol dengan teman semejanya. Aroma kuliner Eropa terendus dengan cepat. Diam diam, saya lirik penunjuk jalan. Tak salah, kami memang tanpa sengaja memasuki Rue Verdi, salah satu ruas jalanan yang mencerminkan salah satu sorga kuliner Lyon.
Lantaran nyaris semua meja penuh, kami terus menyusuri ruas jalan kuliner itu, sambil sesekali memelototi daftar menu. „Lihat ini, kamu tahu artinya,“ kata Angela. Escargot, ya, saya tahu. Ini kan siput tumis yang terbang dari piring Julia Robert dalam film Pretty Woman, kataku. “Betul, tapi yang ini, kamu tahu, otak tumis bumbu Lyon,” katanya. Dua jenis makanan, yang agak sulit ditemukan di restoran normal di Swiss, dimana kami tinggal. Lyon dikenal sebagai pusat kuliner terbaik di Perancis, mengalahkan Paris sekalipun. The Unforgetable Dinner, begitulah moto Lyon untuk urusan perut. Tak hanya untuk makan malam yang indah. Makan pagi sekalipun, harap siap siap terkejut. Selain croissant , roti lembut berbentuk tapal kuda, dan konco-konconya, Lyon juga memiliki menu khas untuk sarapan. Apalagi kalau bukan tiram segar yang dikucuri jeruk nipis. Silahkan muntah kalau tak biasa. Tapi inilah unforgettable breakfast ala Lyon. Bagi yang tak biasa makanan Perancis, janganlah keburu menyerah dan langsung masuk Mc Donalds. Silahkan terus menyusuri jalan jalan kuliner itu. Pengaruh dunia, antara lain bekas koloni Le Grande Nation ini, masih tersisa, bahkan menancap disini. Maroko, wakil Afrika Utara, membawa Kus-Kus dan Tajine, semacam nasi jagung lembut ditaburi sayur kukus dan daging ayam. Turki menawarkan kebab dan sate daging sapi segede lengan anak balita. Dari Afrika bagian Sahara, khususnya Senegal, menyodorkan Tieboudienne, campuran nasi, sayur dan ikan. Juga Yassa, ayam atau ikan panggang dikucuri jeruk nipis. Sedangkan dari Asia Tenggara, pengaruh Kamboja dan Vietnam cukup dominan, dimana kari, ayam, udang dan lumpia bisa didapatkan. Dan ruas jalan jalan di Lyon akan memuaskan nafsu kuliner Anda sampai tersedak. Kali ini kami terpaksa tak menghiraukan kuliner Lyon, apalagi yang berbau Eropa. Sudah dua hari perut Melayu ini tak tersentuh nasi. Di Yverdon Les Bain, salah satu kota persinggahan kami, saya hanya diganjal sandwich. Di Bourg en-Bresse, cuma kebab. Saya langsung menyeret Angela ke Maharadja Restaurant, sebuah resto India. „Harusnya kita di London kalau mau makan kuliner India,“ kata Angela. Tapi ia menyerah, karena tahu, di resto India, ada nasi basmati yang harum baunya. Ditata dalam Thali, loyang tembaga, makanan India itu akhirnya menjadi Unforgettable Dinner di Lyon. Toh, kami tak mengkhianati sepenuhnya kuliner Perancis. Anggur merah Bordeux tetap menjadi penutup makan malam ini. Bukan tanpa sengaja kami meminta Bordeux. Di kawasan Bordeux-lah, pokok-pokok anggur itu bisa menghasilkan the red wine terbaik di dunia. Tak peduli dari jenis merlot, carbenet saugvignon, atau carbenet franch. Padahal, sampai sekarang saya tak begitu bisa membedakan mana anggur terbaik dan tidak. Kecuali, perbedaan antara manis, kecut atau sepet. Selain itu, apakah Bordeux, Brugundy, Alsace, semua sami mawon dilidah melayu ini. Yang saya tahu, Anggur produksi Perancis dinamai bukan lantaran jenis anggurnya, tapi nama daerahnya. Tapi, itu tadi, kami sedang di Perancis, apa salahnya mencoba Bordeux, yang katanya paling top markotop itu. [Non-text portions of this message have been removed]