Jadi Soehartois, Siapa Takut?
Oleh Muhadjir Effendy *

Pada 21 Mei yang lalu, tatkala Pak Harto menyatakan berhenti dari jabatan
presiden, kejadiannya disiarkan langsung oleh semua pemancar televisi. Tak
lama setelah itu, televisi juga meliput suasana sorak sorai para mahasiswa,
terutama yang lagi menduduki gedung DPR/MPR, menyambut penuh antusias atas
lengser keprabon-nya Pak Harto. Seramnya, close up kamera TV juga dibidikkan
kepada patung Pak Harto komplit dengan peci hitam dan baju batik yang
diseret-seret di jalan menuju pintu gedung DPR. Ini sangat paradoks dengan
kejadian sebelumnya, di mana kehadiran Pak Harto ke gedung itu selalu dengan
iring-iringan mobil mewah, kawalan ketat, dan disambut penuh takzim.

Kejadian sebaliknya, yang sama sekali tidak diliput media massa, adalah
tangis beberapa ibu yang trenyuh menyaksikan kejadian itu. Mereka tak kuasa
membendung rasa iba, menyayangkan mengapa seorang presiden yang sudah begitu
banyak jasanya pada akhirnya harus turun tahta dengan cara di-ruda peksa.

Kalau para ibu punya reaksi yang berlawanan dengan mahasiswa atas
lengser-nya Pak Harto, itu pasti ada alasannya. Di samping mungkin lantaran
nurani keibuannya tergugah, mereka adalah orang yang sudah beranjak dewasa
tatkala terjadi peralihan kekuasaan dari masa pemerintahan Presiden Soekarno
ke tangan Presiden Soeharto (1965). Ketika kesengsaraan nasional, rasanya,
sudah sampai di ubun-ubun. Pengalaman itu jelas tidak dimiliki para
mahasiswa yang rata-rata lahir tahun tujuh puluhan, yang mereka itu adalah
generasi baby boomer yang tumbuh di saat proses pembangunan sudah membuahkan
kemakmuran dengan aneka kemudahan, namun sekaligus juga ketimpangan dan
kebobrokan.

Ada baiknya kita buat perbandingan sederhana antara keadaan pada 1965 saat
Presiden Soekarno di-’’Supersemarkan’’ dan keadaan waktu Presiden Soeharto
di-lengser-kan. Sebagaimana John Bresnan dalam buku Managing Indonesia
mencatat, tahun 1964 inflasi mencapai 500 persen lebih, bandingkan saat
puncak krisis moneter 1997, inflasi masih di bawah 50 persen.

Tingkat pendapatan rata-rata perorangan pada 1964 hanya USD 30 setahun,
sedangkan pada 1997 USD 998 (Asiaweek, 29 Mei 1998). Waktu itu rata-rata
setiap orang hanya makan 1.800 kalori per hari, sedangkan saat menjelang Mei
1998 makan 2.700 kalori per orang per hari.

Sewaktu Presiden Soekarno turun tahta, sebagian besar penduduk tidak makan
nasi beras. Sebagai gantinya, mereka makan thiwul, bulgur, bahkan ’’nasi’’
yang dibuat dari tangkai pohon keladi (dodor), atau pangkal pohon pisang
(ares). Keadaan diperparah oleh krisis politik yang diwarnai dengan
pembantaian PKI.

Dalam keadaan seperti itu, kehadiran Pak Harto di panggung kekuasaan
bagaikan sinterklas atau imam mahdi. Jika ditilik dari tingkat krisis saat
itu yang sudah sangat parah, dapat dikatakan bahwa Pak Harto mampu
menunjukkan kemampuan linuwih-nya untuk menormalkan keadaan. Sampai-sampai
di kalangan penduduk pedalaman Jawa, Pak Harto diyakini sebagai ratu adil
yang me-ngejawantah, yang kedatangannya memang sudah ditunggu-tunggu.

Sebagai koreksi, Pak Harto telah berusaha tampil beda dengan pendahulunya.
Antara lain, ia tak mau menyandang gelar Paduka Yang Mulia/Pemimpin Besar
Revolusi meski juga mau disebut Bapak Pembangunan. Pak Harto menghindari
penggunaan kata-kata sloganis dan menggebu-gebu dalam setiap pidato.
Demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila. Dia juga tidak mau
banyak kawin.

Meski begitu, akhirnya ada beberapa kesamaan juga, yaitu: 1 sangat lama
memegang kekuasaan; 2. kepemimpinannya menyimpan misteri karena dibungkus
aura mitologis; 3. bertindak sebagai ’’penafsir’ ideologi negara meski
dengan versi yang berlainan; 4. sama-sama turun tahta karena krisis ekonomi;
dan 5. turun dengan cara di-ruda peksa.

Yang belum bisa dibuktikan adalah, bisakah Pak Harto suatu saat nanti
bangkit menjadi mitos sebagaimana Bung Karno. Kalau bisa, berapa lama
dibutuhkan. Sebab, nama Bung Karno butuh waktu 30 tahun dari masa
lengser-nya untuk benar-benar bangkit kembali. Hasilnya, harus diakui bahwa
bagaimanapun, kemenangan PDI Perjuangan tak lepas dari kebangkitan karisma
Bung Karno yang menitis ke dalam diri putrinya, Megawati.

Kalau dilihat sangat banyaknya lapisan masyarakat yang secara emosional
masih berpihak kepada Pak Harto, baik yang menaruh empati maupun sekadar
simpati, serta tidak terlalu parahnya kesengsaraan umum pada saat Pak Harto
di-lengser-kan dibandingkan dengan waktu Bung Karno di-Supersemar-kan; kelak
di kemudian hari, tampaknya, bakal bangkit mitos Soehartoisme. Bahkan,
mungkin, tidak perlu menunggu 30 tahun, rakyat akan melupakan kesalahan Pak
Harto, keluarga, dan kroninya.

Keluarga Pak Harto dan pembantu setianya di masa datang sangat berpeluang
membangun sistem dinasti politik di Indonesia sebagaimana keluarga Kennedy
di Amerika Serikat, Gandhi di India, atau Marcos di Filipina.

Kalau pada zaman Orde Baru tindakan represif melahirkan ketakutan umum,
termasuk takut mengaku menjadi pengikut Soekarno, kini sebagai buah
reformasi, tindakan represif kian tak populer sehingga tak perlu ada rasa
takut, termasuk takut mengaku jadi pengikut Pak Harto bukan?

*. Drs Muhadjir Effendy MPA, staf pengajar UMM

Kirim email ke