From: George Aditjondro
Subject: [mfi] Re: artikel GJA ttg Maluku
Date: 23 Januari 2000 14:45

GAJAH  DENGAN GAJAH  BERLAGA, ORANG  MALUKU  MATI  DI  TENGAH-TENGAH
-------------------------------------------------------------------------
Oleh George J. Aditjondro

TRADISI TNI untuk merekayasa kerusuhan sosial, dan secara sefihak berusaha
menggemboskan dinamika masyarakat sipil yang sudah ada dengan menciptakan atau
mendukung organisasi-organisasi baru yang berkiblat pada kepentingan tentara,
semakin relevan saat ini.

Belakangan ini, setelah ABRI terpaksa meninggalkan bumi Timor Loro Sa'e yang
sudah mereka jarah selama hampir seperempat abad, dan setelah kesuksesan untuk
menghapus doktrin dwifungsi ABRI begitu mempengaruhi legitimasi sosial rezim
Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri, cara-cara lama untuk mengobarkan
'konflik horizontal' semakin digalakkan.

Sudah lebih dari setahun, penduduk kepulauan Maluku, yang baru saja dipecah
dua
menjadi propinsi Maluku yang berpusat di Ambon dan propinsi Maluku Utara yang
berpusat di Ternate, terlibat dalam 'perang saudara' antara kaum Muslimin dan
Nasrani. Korban jiwa sudah mencapai 2.000 jiwa, cukup tinggi untuk kepulauan
yang hanya berpenduduk dua juta jiwa.

Sesudah berita bisik-bisik selama setahun, apa yang sudah lama tersebar di
internet akhirnya mencuat juga ke media umum. Rangkaian kerusuhan antar
kelompok
agama di Maluku -- yang kini sudah merembet ke Sulawesi, Kalimantan, Nusa
Tenggara Barat, dan Jawa -- dipicu dan terus diberi amunisi oleh sejumlah
provokator yang dibiayai oleh keluarga dan sejumlah
kroni Suharto. Begitulah hasil pantauan sosiolog asal Halmahera, Thamrin Amal
Tomagola, yang juga dosen FISIP UI, serta dua organisasi hak-hak asasi
manusia,
KONTRAS dan Komnas HAM. Sinyalemen itu semakin santer, setelah Komnas HAM
menemukan dokumen-dokumen palsu di jalan-jalan di kota Ambon yang berisi
hasutan
perang antar agama, setelah beberapa kejadian berdarah di sana (Sydney Morning
Herald , 15 Januari 2000).

Tiga orang provokator di Maluku yang banyak disebut-sebut adalah Butje
Sarpara,
Dicky Wattimena dan Yorris Raweyai. Sarpara adalah seorang bekas guru di
Maluku
Utara, yang pernah juga menjabat sebagai kepala Dinas Agraria di Jayapura
(kini:
Port Numbay) di Papua Barat. Kolonel Wattimena adalah seorang bekas anggota
PASWALPRES  yang pernah menjabat sebagai Walikota Ambon. Yorris Raweyai,
adalah
wakil ketua Pemuda Pancasila, dan akrab dengan Bambang Trihatmodjo, putera
kedua
bekas Presiden Suharto (Jakarta Post , 18 Januari 2000; Sydney Morning
Herald ,
19 Januari 2000).

Para provokator itu tentunya tidak bekerja sendirian. Lebih-lebih Yorris
Raweyai, yang resminya bertempat tinggal di Jakarta, tapi bersama ketuanya,
Yapto Suryosumarno juga diberitakan terlibat adu domba antar kelompok etnis di
berbagai propinsi lain, misalnya di Kalimantan Barat, di mana kelompok etnis
Melayu dan Dayak -- yang tahun lalu sama-sama angkat senjata melawan migran
Madura -- kini sudah mulai terlibat konflik berdarah (Siar , 16 April 1999).

Di Ambon sendiri, para provokator itu tinggal "menggosok" kelompok-kelompok
pemuda brandalan (gang ) yang Nasrani maupun yang Muslim untuk memicu
pertempuran. Kelompok-kelompok itu sendiri, pada gilirannya juga punya
"boss" di
Jakarta, yang pada gilirannya berusaha "merayu" anak-anak Suharto untuk
mendukung mereka.

Kelompok brandal Nasrani bernama Cowok Keristen, disingkat Coker, bermarkas di
gereja Protestan Maranatha. Di Jakarta, koneksi mereka adalah dua orang pemuda
Maluku Kristen, Milton Matuanakota dan Ongky Pieters. Kelompok pemuda Maluku
Kristen itu menguasai pusat perbelanjaan, lapangan parkir, dan sarang judi di
Jakarta Barat Laut.  Setelah peristiwa Ketapang di Jakarta, bulan November
1998,
ratusan anakbuah Milton dan Ongky hijrah ke Ambon.

Lawan kelompok Milton dan Ongky di Jakarta adalah Ongen Sangaji, aktivis
Pemuda
Pancasila yang juga koordinator satu kelompok mahasiswa Muslim Maluku. Anggota
kelompok ini banyak direkrut dalam PAM Swakarsa yang dikerahkan oleh Pangab
Jenderal Wiranto dan Pjs. Presiden Habibie untuk membentengi gedung parlemen
dari para mahasiswa yang menentang Sidang Istimewa MPR, bulan November 1998.
ementara Ongen dikabarkan punya hubungan dekat dengan Bambang Trihatmodjo,
Milton dikabarkan lebih dekat dengan Siti Hardiyanti Rukmana (van Klinken,
n.d.;
HRW 1999: 8).

Konflik berdarah di Maluku itu tentu saja tidak hanya melibatkan berbagai
tokoh
ipil serta bekas walikota Ambon itu. Tentara -- dan polisi -- aktif juga
dicurigai Tamagola terlibat dalam kegiatan kasak-kusuk berdarah ini.
Makanya dia
berpendapat, bahwa ujung-ujungnya, jaringan provokator itu juga punya hubungan
dengan bekas Menhankam dan Pangab Jenderal Wiranto (Sydney Morning Herald , 19
Januari 2000).

Tiga oknum anggota TNI/Polri berhasil diamankan petugas yang sedang melakukan
azia pembatasan jam ke luar malam di Ambon, Sabtu malam, 15 Januari lalu.
Ketiga oknum tersebut adalah; satu orang anggota Kopassus dan dua anggota
Polri.
"Diamankannya tiga orang aparat itu karena kedapatan masih berkeliaran di
jalanan saat diberlakukan pembatasan jam ke luar malam pukul 22.00 WIT hingga
pukul 06.00 WIT," kata Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Tamaela kepada
wartawan di Ambon (Jawa Pos , 17 Januari 2000).

Celakanya, bukan hanya satu dua orang 'oknum ABRI' itu saja yang terlibat.
enurut seorang sumber saya di Ambon, awal Desember 1999, setelah kunjungan
Presiden dan wakilnya ke Ambon, Panglima TNI mengirim 500 orang tentara ke
sana.
etiba di tempat tujuan, mereka beristirahat di beberapa barak. Namun
sesungguhnya hanya sekitar 200 orang yang sampai ke barak --  300 yang
berangkat
sekapal lenyap, lengkap dengan senjata mereka.

Ke mana mereka? Ternyata mereka telah membaur di tengah-tengah masyarakat
dengan
berpakaian sipil. Tidak lama kemudian, meletuslah 'pembunuhan massal' akhir
Desember 1999. Indikasi bahwa pembunuhan massal itu ikut dipicu oleh tentara
yang menghilang dari pelabuhan itu adalah ditemukannya orang-orang sipil yang
membawa senjata, persis dengan senjata yang dimiliki oleh ke 200 orang yang
masih tetap bertugas menjaga keamanan. Kejadian ini sudah dilaporkan ke
Panglima
ABRI, tapi hingga kini masih sangat dirahasiakan.

Dari mana para provokator itu memperoleh 'dana operasional'? Selain dari
keluarga Suharto, mereka juga mendapat dana dari dua orang kroni Suharto yang
punya bisnis di Maluku Utara, yakni Eka Cipta Widjaja dan Prajogo Pangestu
(Jakarta Post , 18 Januari 2000).

Memang, keluarga Eka Tjipta Widjaja adalah pemilik kelompok Sinar Mas, yang
salah satu anggotanya, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART)
Corporation dipimpin oleh Jenderal Yoga Sugama, kerabat dan partner bisnis
keluarga Suharto. Salah satu anak SMART, PT Global Agronusa Indonesia. Sejak
Desember 1991 membuka perkebunan pisang seluas 2.000 hektar di Halmahera,
berpatungan dengan raksasa buah-buahan AS, Del Monte (IEFR, 1997: 82-83; Swa ,
7-27 November 1996: 86-87).

Sedangkan Prajogo Pangestu adalah pemilik kelompok Barito Pacific, di mana dua
orang anak Suharto (Tutut dan Bambang), seorang menantu Suharto (Indra
Rukmana)
dan dua adik (alm) Nyonya Tien Suharto (Ibnu Hartomo dan Bernard Ibnu Hardoyo)
kut punya saham atau kedudukan. Kelompok ini adalah pemilik HPH yang terbanyak
di Indonesia (52 areal) dengan luas total lebih dari 5 juta hektar.

Prajogo Pangestu juga tercatat sebagai salah satu kontributor klik Suharto
yang
terbesar. Dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung ternyata bahwa di tahun 1990,
Indoverbank NV di Negeri Belanda menerima AS$ 225 juta, a/n tiga yayasan yang
diketuai Suharto --Supersemar, Dharmais, Dakab -- dari Prajogo Pangestu, yang
ditransfer dari rekening Prajogo di Citibank Cabang Singapura dan BDN, Jakarta
(Waspada, 22 May 1999, dikutip dari Antara). Boss Barito Pacific Group itu
juga
memberikan sumbangan sebesar Rp 80 milyar untuk kampanye Golkar bulan Juni
1999,
atau hampir lebih dari seperempat dari seluruh biaya kampanye sebesar Rp 350
milyar. Selain itu, ia juga ikut "menyumbang" Persatuan Gulat Seluruh
Indonesia
(PGSI) melalui rekening pribadi Jaksa Agung waktu itu, Andi Ghalib (Brown,
1999:
16).

Pundi-pundi Prajogo Pangestu di Maluku sungguh banyak, sebab Barito Pacific
menguasai PT Green Delta (HPH seluas 124.000 Ha -- jatuh tempo, Desember
2000);
PT HBI Buntu Marannu (HPH seluas 48.000 Ha -- jatuh tempo, Juli
2007); PT Mangole Timber Producers (HPH seluas 191.800 Ha & pabrik kayu
lapis di
P. Mangole -- sebagian jatuh tempo Oktober 2010, sisanya April 2013); PT Seram
Cahaya Timber (HPH seluas 58.000 Ha  di P. Seram -- jatuh tempo, Januari
2012);
PT Taliabu Timber (HPH seluas 100.000 Ha & pabrik kayu lapis di P. Mangole --
jatuh tempo, Juli 2009); PT Trio Maluku Pacific Raya (HPH seluas 105.000 Ha --
jatuh tempo, Februari 2001); PT Tunggal Agathis Indah Wood Industry (HPH
seluas
125.000 Ha & pabrik kayu lapis di P. Jailolo -- jatuh tempo, Agustus 2012); PT
Tunas Forestra (HPH seluas 42.300 Ha -- jatuh tempo, April 2012); PT Wana Adhi
Guna (HPH seluas 64.000 Ha -- jatuh tempo, Maret 2009); pabrik lem PT Wiranusa
Trisatya di P. Taliabu dan pabrik kayu lapis PT Yurina Wood Industry di
Ternate
(Brown, 1999: 14-16, 40, 62; PDBI, 1994: 83-84, 114).

Klik Cendana dan kelompok jenderal ekstrem kanan juga punya seorang cukong
lain
yang punya bisnis besar di Maluku, yakni Tommy Winata, boss kelompok Artha
Graha, yang juga dikabarkan sangat dekat dengan Yorris Raweyai (Tempo, 31
Mei -
6 Juni 1999: 39-50). Ia adalah seorang pemegang saham perusahaan perikanan PT
Ting Sheen Bandasejahtera bernilai investasi AS$ 200 juta, yang direncanakan
dapat menangkap 2,5 juta ton ikan setahun. Armada kapal ikan yang berpangkalan
di Desa Ngadi, Tual, ini berkongsi dengan Bambang Trihatmodjo dan sebuah
perusahaan Taiwan (Swa, 22 Agustus-11
September 1996: 128-129).

Tidak tertutup kemungkinan bahwa ia juga ikut membiayai kegiatan provokator di
Maluku Tenggara, mengingat bahwa kerusuhan antar-agama di seluruh Maluku
diawali
tanggal 15 s/d 17 Januari 1999 di Dobo (Kec. PP. Aru), dan pada
tanggal 31 Maret 1999 kembali ke Tenggara, yakni di kota Tual (Kei Kecil) dan
pada tanggal 6 April 1999 telah melebar ke Kei Besar.

Jelasnya, konflik di Maluku itu sesungguhnya lebih merupakan ekor pertikaian
politik di Jakarta. Sejumlah jenderal yang merasa kekuasaannya kini disunat
dengan pengangkatan Pangab dari Angkatan Laut, berusaha menunjukkan betapa
sang
Pangab tidak dapat mengendalikan situasi di Maluku. Kelompok tersebut, yang
paling berkepentingan untuk mempertahankan
dwifungsi ABRI, berusaha menunjukkan bahwa ABRI -- khususnya AD -- masih tetap
diperlukan sebagai juru damai di tengah-tengah masyarakat sipil yang suka
bertikai. Hal itu memang terbukti di Maluku, di mana belasan ribu pasukan kini
diturunkan untuk "melerai" kedua belah fihak yang sudah sama-sama terbakar
oleh
dendam kesamat dan semangat jihad.

Lalu, kelompok-kelompok Islam yang merasa kurang mendapat bagian dalam
pemerintahan Wahid & Megawati juga berusaha memelihara situasi perang di
Maluku,
agar dapat memobilisasi massanya demi 'menekan' -- atau kalau bisa,
menjatuhkan -- presiden yang setengah buta dan wakil presiden yang tidak mampu
berbicara.

Akhirnya, di balik itu semua, yang paling diuntungkan oleh gejolak di
Maluku itu
adalah Suharto beserta keluarga dan para kroni mereka, yang semakin dijauhkan
dari usaha-usaha menyeret mereka ke pengadilan, guna mempertanggungjawabkan
kejahatan politik dan ekonomi mereka. Jelas mereka diuntungkan oleh
gejolak-gejolak keamanan yang punya tendensi
melanggengkan dwifungsi ABRI. Apalagi setelah ABRI, lewat puluhan yayasan dan
purnawirawannya sudah jauh merasuk ke dalam gurita bisnis keluarga Suharto
(lihat Samego, 1998; Aditjondro, 1998: 32-36).

Newcastle, 23 Januari 2000

Bibliografi:
---------------
Aditjondro, G.J. (1998). Dari Soeharto ke Habibie -- Guru kencing berdiri,
murid
encing berlari: kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru.
Jakarta: Pijar Indonesia & Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan.
Brown, David W. (1999). Addicted to Rent: Corporate and Spatial
Distribution of
Forest Resources in Indonesia -- Implications for Forest Sustainability and
Government Policy. Jakarta: Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme,
Provincial Forest Management Programme.
HRW [Human Rights Watch] (1999). Indonesia: The violence in Ambon. New York:
Human Rights Watch.
van Klinken, Gerry (n.d.) What caused the Ambon violence? Perhaps not
religious
hatred, but a corrupt civil service sparked the bloodletting. Artikel di
Internet.
PDBI [Pusat Data Business Indonesia] (1994). Forestry Indonesia. Jakarta:
Pusat
Data Business Indonesia.
Samego, Indria et al  (1998). Bila ABRI berbisnis. Bandung: Mizan.

Kirim email ke