Assalamu'alaikum wr.wb.

Bersama ini saya attach satu tulisan kajian fiqh tentang kepemimpinan
wanita.

Dalil Al-Qur'an tentang kepemimpinan wanita memang tidak setegas
larangan mengangkat pemimpin dari golongan kafir, yahudi, nasrani, dan
orang-orang yang menjadikan agama sebagai permainan (ditinjau dari
larangan yang terakhir ini, Megawati mungkin layak dianggap sebagai
orang yang menjadikan agama sebagai permainan karena dia bersembahyang
di pura padahal dia mengaku Islam). Menghubungkan masalah kepemimpinan
wanita ini dengan fenomena pencalonan Megawati menjadi presiden memang
tidak cukup dengan pendekatan fiqih semata. Bagi pendukung Megawati,
apapun alasan yang kita berikan, baik dengan dalih agama maupun
kapabilitas Megawati, menurut saya akan sangat sulit mengurangi dukungan
tersebut. Karena, sepanjang pengamatan saya, para pendukung Megawati
kebanyakan tidak menggunakan alasan yang rasional.

Karena itu, kajian tentang kepemimpinan wanita, menurut saya bukan
ditujukan kepada para pendukung Megawati, tetapi kepada komunitas
masyarakat yang mau sungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan Islam.
Bagi golongan yang kedua ini, tentunya ketaatan kepada Allah dan
kehati-hatian dalam mengambil dan menerapkan hukum akan lebih penting
daripada kemenangan dalam perdebatan.

Demikian tanggapan saya, mudah-mudahan bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Badrus

PRESIDEN WANITA

Kontroversi tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden makin 
memuncak. Ini terutama setelah hasil perhitungan suara pemilu 7 Juni lalu 
menunjukkan PDI Perjuangan unggul telak dibanding 47 partai-partai peserta 
pemilu lainnya, termasuk dengan saingan terdekatnya, Partai Golkar. Partai yang 
biasanya menjadi pemenang pemilu, kali ini harus rela bertengger di nomer dua 
dengan perolehan suara yang terpaut cukup jauh (lebih dari 100 %) dibanding PDI-
P. Kendati suara yang masuk baru sekitar 70%, dalam perhitungan sisa suara, 
perolehan PDI Perjuangan justru makin mantap.

Kemenangan PDI Perjuangan ini tak pelak lagi telah memompa optimisme di kalangan 
pendukung fanatik Megawati untuk meraih kursi kepresidenan. Bagi mereka, 
logikanya cuma satu: pemimpin partai pemenang pemilu mestilah menjadi presiden. 
Ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan para pengamat atau beberapa tokoh 
yang katanya non partisan, tapi dari pernyataan-pernyataannya tampak sekali 
kesan membela Mega, maka makin kentallah semangat untuk meng-golkan Mega ke 
tampuk kursi kepresidenan. Padahal, dengan perolehan suara PDI Perjuangan yang 
katakanlah maksimal 40%, di MPR dengan jumlah kursi 700 partai metal itu jelas 
tidak akan menjadi mayoritas tunggal. Jadi, bagaimana mungkin Mega otomatis 
harus menjadi presiden? Belum lagi ditambah dengan sejumlah keberatan baik itu 
menyangkut kapabilitas (kemampuan) Mega sebagai calon presiden maupun halangan 
hukum Islam. Jadi, sebenarnya peluang Mega untuk menjadi presiden masih cukup 
terjal.

Tapi segala keberatan yang diajukan baik itu dari sisi kapabilitas Megawati yang 
sangat diragukan maupun pandangan hukum Islam tentang larangan mengangkat wanita 
sebagai presiden, malah dituding sebagai rekayasa untuk menghalangi Mega. 
Keadaan inilah yang kini tengah mewarnai jagad perpolitikan Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan semata untuk menegaskan sekali lagi pendirian hukum 
Islam tentang presiden wanita. Lepas dari siapa calonnya. Megawati atau bukan.


Presiden Wanita: Haram

Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang 
wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jaami’ li ahkami al-
Qur’an mengatakan, "Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah 
bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara)". 
Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi 
kepala negara.

Pertama, terdapat hadits shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. 
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) 
mereka kepada seorang wanita" (HR. Bukhari). Lafadz wallau amrahum dalam hadits 
ini berarti mengangkat seseorang sebagai waliyul amri (pemegang tampuk 
pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadits ini memang merupakan 
komentar Rasulullah SAW. tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan 
putri Kisra, Raja Persia.

Sekalipun teks hadits tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan 
dalam hadits ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat 
yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman 
tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan qarinah (indikasi) 
adanya tuntutan yang bersifat jazm (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat 
wanita sebagai presiden secara pasti hukumnya haram.

Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadits ini. Mereka 
menunjuk salah seorang perawi hadits ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak 
layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu 
dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khattab. Tapi pengkajian terhadap 
sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang 
perawi (orang yang meriwayatkan) hadits seperti Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-
Rijal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir menunjukkan bahwa Abu 
Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh 
karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan 
hadits tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.

Di samping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita 
sebagai kepala negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh 
karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam 
Islam, atau presiden bukanlah al-imamu al-azham sebagaimana dalam sistem 
pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks 
hadits di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang 
diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan 
sistem pemerintahan Islam. Bila dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa 
bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem 
pemerintahan Islam?

Kedua, didalam al-Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala 
negara. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, 
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang 
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah)" 
(An Nisa’ 59)

Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafazh ulil 
amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada 
pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila 
pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata uulatul 
amri.

Ketiga, didalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki 
adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum 
wanita" (An-Nisa' 34). Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan 
kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa 
hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri' min baabi al-aula 
(keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus 
menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau 
negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang 
lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai 
pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan 
kompleks, tentu lebih wajib dise- rahkan kepada laki-laki.

Keempat, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim 
(Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup 
untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas 
harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenya-taan bukanlah hukum, 
apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti 
hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak 
shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? 
Terhadap kenyataan yang menyimpang, maka kewajiban kita justru untuk meluruskan 
bukan malah membuat penyimpangan yang lain.

Khatimah

Demikianlah hukum Islam mengenai larangan mengangkat seorang wanita sebagai 
kepala negara. Penjelasan telah diberikan, berpulang kepada kita mau menerima 
atau tidak. Tapi, diluar itu ada beberapa hal yang mesti diperhatikan:

Pertama, bahwa risalah ini dibuat semata untuk menjelaskan kepada ummat Islam 
engan penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai hukum Islam tentang larangan 
mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Sekali lagi, lepas dari calon 
presiden Indonesia mendatang adalah Megawati atau yang lain. Andaipun calon itu 
misalnya adalah Aisyah Amini atau wanita muslimah lainnya, tetap saja kita harus 
menolak pencalonan itu berdasarkan ketentuan hukum Islam.

Kedua, kontroversi antara yang pro dan kontra presiden wanita kelihatannya bakal 
tidak akan menghasilkan titik temu bila sejak dari awal pijakan berpikirnya saja 
sudah berbeda. Pihak yang pro presiden wanita menggunakan alasan kesetaraan 
gender (gender equality) (jenis kelamin), bahwa baik lelaki atau perempuan harus 
diberikan hak politik yang sama termasuk kesempatan untuk menjadi presiden. 
Dalam hal ini mereka sama sekali tidak mempertimbangkan tuntunan agama, 
sekalipun diantara mereka mungkin banyak yang beragama Islam. Sementara, yang 
kontra mendasarkan pendapatnya pada ketentuan hukum Islam, disamping mungkin ada 
juga faktor lain.

Ketiga, sebagai seorang muslim seharusnya kita senantiasa mendasarkan pendapat-
pendapat kita kepada tuntunan Islam. Termasuk partai-partai yang mengaku berasas 
Islam seperti PPP, PBB dan Partai Keadilan. PKB yang berintikan para ulama dan 
merupakan partai resmi yang dibidani PBNU (NU sendiri artinya adalah kebangkitan 
ulama) juga semestinya hanya melandaskan keputusan-keputusan politiknya pada 
ajaran Islam. Ulama macam mana bila ia tidak lagi berpegang pada syariat Islam? 
Bahkan PAN-pun, yang menyebut diri partai terbuka yang lintas agama, juga harus 
terikat kepada aturan Islam. Bukankah salah satu prinsip partai pimpinan tokoh 
reformasi Amien Rais adalah moral agama? Agama mana yang dimaksud bila bukan 
Islam, oleh karena konstituen (pendukung) utama partai ini adalah warga 
Muhammadiyah? Oleh karena itu, tidak layak sama sekali bila partai-partai itu, -
-sebenarnya termasuk juga Golkar yang sekarang ini dikemudikan oleh banyak 
alumni HMI-- dan juga semua kaum muslimin, mendukung pencalonan seorang wanita 
sebagai presiden. Bila kita tak acuh terhadap ketentuan hukum Islam mengenai hal 
ini, lantas dimanakah kemusliman kita hendak diletakkan !

Keempat, oleh karena itu melalui risalah ini diserukan kepada pimpinan partai-
partai Islam atau yang berbasis umat Islam; para ulama, para kyiai atau ustadz 
dan semua kaum muslimin, termasuk umat Islam yang menjadi pendukung bahkan 
menjadi pengurus PDI Perjuangan, untuk menolak pencalonan seorang wanita sebagai 
presiden. Harus dipahami, bahwa seruan ini sama sekali tidak didasari kebencian 
kepada pribadi Megawati, tapi justru didorong oleh rasa kasih dan sayang kepada 
putri Bung Karno ini. Sebagai sesama muslim, kita tentu tidak menginginkan 
Megawati sebagai seorang muslimah terjerumus pada dosa dan kesalahan hanya 
lantaran dorongan orang-orang disekitarnya yang tidak tahu atau tidak mau tahu 
terhadap prinsip agama Islam.

Kelima, kita ini sebenarnya sudah terlalu banyak melanggar aturan-aturan Allah. 
Lihatlah, berbagai tatanan kehidupan baik yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, 
maupun pemerintahan, nyata-nyata tidak sesuai dengan syariat islam. Di bidang 
hukum, begitu banyak hukum-hukum sekuler yang diterapkan dan boleh jadi masih 
akan banyak lagi yang dilegalkan melalui keputusan parlemen. Masihkah kita akan 
menambah semua itu dengan maksiyat besar yang baru: mengangkat presiden wanita? 
Tidakkah cukup krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik yang mendera negeri 
ini lebih dari dua tahun lamanya menyadarkan kita untuk kembali kepada jalan 
yang benar? Krisis seperti apa lagi yang bakal terjadi bila kita tetap terus 
membangkang, tak acuh terhadap hukum-hukum Allah dan segala ancaman-Nya?

Bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang beriman !



Kirim email ke