REVISI KUHP: JAUH DARI SEMANGAT REKONSILIASI

Oleh

Bambang K. PrihandonoÓ

 

 

            Nichts ist so erschuetternd wie Schweigen. Tak ada yang menggetirkan seperti kebungkaman, ungkap Leo Baeck, presiden Reichsvertretung-Jerman Yahudi. Ia, yang menjabat presiden di era kepahitan sejarah bangsa Yahudi 1933-1943, mesti mendokumentasikan dan mengungkapkan kepedihan sejarah holocaust (Zygmunt Bauman, Dialektik der Ordnung, 2002). Mungkin, ia tak pernah membayangkan bahwa sejarah peradaban umat manusia di berbagai belahan bumi, atas nama ideologi dan kepentingan ekonomi-politik, selalu menunjukkan konflik berdarah. Politik barbar. Jutaan manusia mesti lenyap dari muka bumi karena menjadi „yang lain“ atau the other. Ia tak juga membayangkan bahwa di tahun 60-an, di negeri yang demikian jauh dari ladang pembantaian Auschwitz tercipta ladang-ladang baru pembantaian. Di sungai, di jalanan, di depan rumah, bahkan di  kantor-kantor resmi penguasa keamanan telah berubah menjadi ruang jagal. Itulah, Jawa dan Bali pada masa pancaroba politik 1965-1966.

            Kepentingan politik, ekonomi dan ideologi adalah pemicu konflik, yang berujung pada pembantaian jutaan manusia (tertuduh) komunis.             Sebuah ketetapan, Tap MPRS XXV 1966, pun menjadi landasan „moral“ pembungkaman nurani kemanusiaan. Bertahun-tahun kemudian, sejarah pahit itu terpendam, dengan segala kegetirannya. Pasca kejatuhan rejim Orde Baru, tuntutan akan keadilan bagi korban mulai bermunculan secara terbuka. Tema rekonsiliasi menjadi agenda yang diupayakan berbagai kalangan. Anehnya, ditengah kecenderungan arus gerakan rekonsiliasi, justru ada „perlawanan“ dari pemerintah dengan adanya rencana Revisi KUHP. Salah satu tema pokok „revisi“ adalah tetap mencantumkan ideologi Komunisme dan Leninisme sebagai paham terlarang. Maka, pertanyaannya, nalar apakah yang bersembunyi dibalik gagasan tersebut? Dan apa pula implikasinya?

 

Pelarangan Ideologi.  

            Secara sederhana, ada dua hal yang selalu menjadi perdebatan tentang pelarangan ideologi Komunisme/Leninisme. Pertama, ideologi bisa atau tidak dipidanakan; kedua, landasan „trauma sejarah“ di masa lalu. Kita perlu menelisik lebih jauh, untuk menemukan sesuatu yang berada di seberang (beyond) pelarangan ideologi. Maka, penelusuran akan definisi „ideologi“ pun penting untuk dikerjakan, demi memperoleh keluasan perspektif.

 

            Mengacu pada Philosophisches Wörterbuch (1997), ideologi adalah imagi dan kesadaran dari individu atau kelompok yang berkembang sesuai dengan konteks historis masyarakat. Ideologi juga memerankan sebuah fungsi sosial di masyarakat, yaitu sebagai pemicu motivasi. Maka, Komunisme, Kapitalisme dan bahkan Agama bisa dikategorisasikan sebagai ideologi. Seiring dengan perkembangan historis masyarakat, maka ideologi pun mengalami kerumitan dan keragaman tafsir. Semula, ideologi dianggap netral, namun sejak Marx memblejeti wataknya, terbukti bahwa ideologi juga menyimpan kepalsuan. Marx membongkar ideologi sebagai moda kekuasaan, yang sering digunakan oleh kelas penguasa politik dan kapital untuk menyembunyikan kepentingan-kepentingan kelasnya. Ideologi tak lebih sebagai “kesadaran palsu“, di mana selalu menyembunyikan kebenaran demi kepentingan politik-ekonomi. Ideologi lalu menjadi pembenar dari ambisi kekuasaan. Dalam konteks ini,  agama yang sering dianggap berada dalam “langit suci“, bisa pula terjebak menjadi ideologi yang menipu penganutnya sendiri. Penyebabnya adalah elite agama dan politik, yang selalu mengeksploitasi agama demi keuntungan kelasnya sendiri. Sejarah Eropa abad pertengahan dengan peran gereja dan negara yang bercampur menunjukkan kasus tersebut.

            Tafsir ideologi tersebut, tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme, yang mengajarkan bahwa persaingan bebas perlu untuk kemajuan umat manusia. Implikasinya, sistem kepemilikan, alat-alat produksi, dan hak-hak kebebasan pribadi perlu dijamin. Ideologi, dengan demikian, berwajah multi-tafsir dan abstrak (lihat Kurt Lenk, Ideologiekritik und Wissenssoziologie, 1972).  

            Jika ideologi bermain dalam wilayah kesadaran dan multi-tafsir, maka menjadi ganjil dan demikian sulitnya hal itu dipidanakan. Meski demikian, bagi kalangan “pro-revisi”, ideologi (Komunisme dan Leninisme) bisa dipidanakan dan dikriminalkan. Landasan argumennya pun bukan terletak pada konsepsi ideologi, namun mencari pada basis  “trauma-sejarah”, bahwa masa lalu Partai Komunis menciptakan teror dan konflik sosial. Benarkah?

            Trauma sejarah akan kekerasan adalah hal yang tak terelakkan, jika sebuah bangsa mengalami peristiwa getir, kejam, dan pelecehan hak-hak azasi manusia di masa lalu.  Hanya, bila yang diingat hanya “kekejaman” satu pihak dan melupakan kekejaman pihak lain, hal itu adalah manipulasi sejarah. Itulah yang dikerjakan terus-menerus oleh rezim Orde Baru: mereproduksi terus menerus wacana “anti-komunis”. Rezim simulacra. Hasilnya, rezim ORBA menarasikan bahwa „si komunis“ adalah „yang lain“, sosok pengancam atau penghancur tatanan sosial politik. Dunia kehidupan „si komunis“ mesti pula dibedakan dan dibungkam (Budiawan, When Memory Challenges History, 2000).

            Lebih jauh, di sana tak hanya terjadi pemalsuan sejarah, namun bersarang pula „penalaran sejarah“. Penalaran itu adalah “logika politik” yang dibangun dengan mengabaikan dimensi korban dan tindakan politik barbar. Pembungkaman atas lawan politik dianggap sebagai “kewajaran”. Pembunuhan atas jutaan manusia adalah wajar, politik yang mengenyahkan lawan adalah kenormalan. Salah satu jalan „penetralan“ atau „penormalan“ sebuah peristiwa kekejaman adalah dengan institusionalisasi hukum, sebagai bagian tak terpisahkan dari birokrasi. Ketetapan MPRS XXV Th. 1966 pun menjadi bukti, bahwa atas nama hukum, penyingkiran dan pelupaan „yang lain“ menjadi legitim.

Pada titik ini, hukum tidak menjalankan fungsinya sebagai pendorong dan penjaga gawang proses demokrasi, namun hukum lebih menampilkan sebagai pelayan dan pelegitim dari kelompok kepentingan. Rencana Revisi KUHP yang tetap mempertahankan pelarangan ideologi Komunisme dan Leninisme, pun dapat dibaca tak sekedar sebagai ideologi dapat diadili atau tidak, namun disana bersarang nalar „berpolitik“. Nalar yang mengklasifikasikan antara „kami“ dan „yang lain“. Nalar yang mengesahkan bahwa „yang lain“ wajar untuk dibungkam dan dilenyapkan.

 

Semangat Rekonsiliasi yang Menjauh.

            Rekonsiliasi adalah agenda sebuah bangsa yang punya pengalaman sejarah pahit, untuk membangun peradaban baru. Negeri-negeri pasca-otoritarian, yang selalu haus akan korban, menuntut bahwa peradaban yang lebih baik hanya akan tercapai lewat jalan rekonsiliasi. Jalan ke titik rekonsiliasi biasa melalui proses hukum dan proses kultural. Proses hukum bertujuan untuk memperoleh keadilan bagi korban dan sanksi bagi  pelaku kekerasan. Niscaya, proses hukum ini tak bisa berjalan tanpa adanya proses kultural. Proses penyembuhan luka-luka batin. Pada titik inilah perlunya pengakuan, proses „mendengar“ jeritan luka-luka batin. Hal ini penting, sebab para korban telah kehilangan jati-dirinya sebagai manusia akibat pembungkaman dan pengkambing-hitaman. Marta Minow (Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violence 1998 dalam Budiawan 2003) secara gamblang menyebut, bahwa membiarkan korban bercerita dan memaknai cerita sebagai testimoni adalah sebuah penghargaan dan bantuan untuk korban menemukan jati dirinya kembali. 

            Jika rekonsiliasi mensyaratkan dua hal tersebut, maka pelanggengan larangan ideologi Komunisme dan Leninisme pada rencana Revisi KUHP jelas semakin „membisukan“ para korban.  Maka, persoalannya bukan pada ancaman bangkitnya sebuah ideologi, namun lebih ancaman akan pembrangusan proses rekonsiliasi. Kita bisa membayangkan, bahwa para korban tak akan mampu bersuara, sebab beban masa lalunya tetap menjadi „tertuduh“, „kambing hitam“ dan biang kerok „kekejaman“. Ketakutan yang tetap menjerat „dunia batin“ para korban kekerasan.   

              Hilangnya empati pada korban, tentu berimplikasi pada hilangnya proses membangun demokrasi. Hal ini disebabkan karena kungkungan nalar, bahwa „yang lain“ adalah musuh telah menjadi kabut penghalang ke arah pencerahan-pencerahan budi.  Jauh-jauh hari Theodor Adorno (1971), seorang filsuf dan sosiolog Yahudi yang selamat dari kekejian NAZI, telah merefleksikan bahwa generasi baru (Jerman) mesti tidak lagi mengulangi tindakan barbar. Belajar pada sejarah pahit kamp pembantaian Auschwitz dan “refleksi diri” adalah cara pencapaian pencerahan untuk membangun pendidikan “kedewasaan” (Erziehung zur Muendigkeit). Sebuah pendidikan yang menghargai harkat kemanusiaan.

Meminjam refleksi Adorno untuk meneropong kasus-kasus kekerasan di Indonesia,  kita menemukan bahwa empati pada korban masih jauh dari harapan. Alih-alih menghormat para korban, kita masih menyaksikan sebuah peristiwa pembongkaran makam korban kekerasan 1965 pun diserang dengan makian, kekerasan dan penolakan. Dan kini, kita pun dikejutkan kembali oleh gagasan untuk melanggengkan pelarangan ideologi. Maka, gagasan pelarangan itu tak lebih sebagai kontradiksi proses demokratisasi, bahkan semakin menjauhkan diri dari proses rekonsiliasi. 

            Akhirnya, sejarah pahit, memang, mesti menjadi pelajaran berharga untuk membangun peradaban. Jika kita berdiri pada posisi “korban”, tentu korban para kiai atau non-komunis tidak dibenarkan, demikian pula korban terhadap orang-orang (tertuduh) komunis ditolak untuk dilanggengkan. Kita tidak bisa lagi berdalih bahwa proses politik bunuh-membunuh terjadi karena dalam situasi “dibunuh atau membunuh”. Kita memerlukan pendidikan politik yang mencerahkan, yang menerobos kebekuan dendam. Semuanya demi generasi baru Indonesia sendiri.

 

 



Ó Penulis, staf pengajar tetap Program Studi Sosiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Semua orang adalah seniman setiap tempat adalah panggung !
Belajar dan berkarya senilah bersama Rakyat miskin untuk membangun budaya pembebasan !
Silakan kawan kawan kirimkan karya seni berupa tulisan sastra  seperti puisi,cerpen, gambar gambar berupa lukisan, kartun ,komik ,atau undangan kegiatan kebudayaan yang membangun budaya pembebasan
******Bergabung dan ramaikan diskusi Reboan di jaker (di dunia nyata) atau diskusi di jaker@yahoogroups.com (di dunia maya)! Untuk bergabung di diskusi maya silakan kawan kawan kirim email kosong ke :
[EMAIL PROTECTED] (langganan)

website  http://www.geocities.com/jaker_pusat
( underconstructions)




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke