Yang Menang Sebelum Bertempur
 
Oleh: A. Kohar Ibrahim

SUDAH menjadi  kebiasaannya menerima tamu seperti menerima anggota keluarga sendiri. Dengan keramah-tamahan yang sewajarnya. Tapi untuk wawancara itu dia mengenakan seragam hijau. Padahal dia sudah tidak berdinas lagi.
"Silakan duduk, dik. Sebelah sini atau sana," ujarnya ramah. Terdengar desingan pluit. "Maaf, sebentar. Airnya sudah mendidih. Isteri saya masih di kamar mandi. Babu lagi belanja." Dan dia senyum ringan, beranjak melangkah ke ruang lain. Ke dapur. Jalannya pincang.
 
Kamar kerjanya tidak begitu mewah, tapi teratur rapih. Dinding temboknya berhiaskan beberapa gambar. Di atas sebuah dipan yang kududuki terpampang pemandangan alam karya pelukis Dulloh. Di belakang mejatulis tergantung poster dari kain batik Garuda Bhinneka Tunggal Ika, diapit potret besar Presiden RI pertama dan kedua. Dan di sebelah Presiden kedua itu potret dia sendiri: berpakaian seragam dengan bersenjata lengkap di samping kendaraan berlapis waja. Di bawahnya tertulis "1 Oktober 1965. Lapangan Merdeka. Djakarta".
 
Nama aslinya Goenawan. Tapi lelaki berperawakan sedang, berkulit sawo-matang, berwajah mirip pelawak Bagio itu senang sekali dipanggil Pak Ceplas. Sekalipun belum punya anak. Sekalipun sudah beristeri selama dua dasa warsa. Berusia 45 tahun.
 
"Jadi adik bermaksud menulis karangan memperingati Peristiwa 1 Oktober? Dengan kisah-kisah beberapa pelakunya?" tanyanya setelah kembali dari dapur, duduk di kursi empuk dekat meja-tulisnya. Dan seperti biasanya, kepada siapapun dia menegaskan alasannya kenapa dia suka dipanggil Bapak. "Bukan gila penghargaan. Dipanggil Bapak Ceplas, atau Pak Ceplas-Ceplos itu artinya tukang ngomong apa adanya. Tanpa diplomasi-diplomasian. Kapan dan di mana saja." Dan sambil melirik buku catatan sang wartawan dia meneruskan: "Ini ciri penting, dik. Ini fakta. Tulis tuh..."
Ditanya, dia lancar memberi contoh atau yang baginya merupakan fakta. Seperti penentangannya atas aksi pemboikotan film-film Amerika di zaman Orde Lama, kerna dia penggemar film Cowboy. Tertuama yang dibintangi John Wayne. Dia menentang aksi-aksi sepihak kaum tani, kerna sendainya tuntutan BTI atas pelaksanaan Undang-undang Landreform secara konsekwen dijalankan, mertuanya akan kehilangan berbidang-bidang sawah-ladang. Dia tak suka PKI, kerna bapaknya tewas ketika bertugas menumpas pasukan komunis dalam Peristiwa Madiun 1948. Maka dari itulah tumbuh ketidakpuasannya terhadap kebijkasanaan Presiden sukarno.
Selagi aktip sebagai prajurit dia juga tidak merasa puas. "Sebagai lelaki, kita mesti membuktikan kejantanan kita," ujarnya, seperti ditujukan pada dirinya sendiri. Kepuasannya agak terpenuhi oleh kegiatannya sebagai usahawan. Dia punya perusahaan  impor-ekspor perabot rumahtangga, terutama impor barang-barang plastik dari negeri Sakura. "Untung atau rugi, betul-betul saya rasakan. Berusaha dan bersaing, itu seperti bertempur," katanya meyakinkan.
"Sebagai tentara tidak puas?" wartawan itu penasaran. Seketika pandangnya asyik ke potret besar yang tergantung di tembok. Pak Ceplas segera mengerti.
"Ah, itu!" ujarnya sembari senyum ringan. "Foto bersejarah. Hasil jepretan wartawan Amerika. Mister Ronny. Kartunamanya juga masih saya simpan baik-baik."
Sang wartawan kian tertarik. Dari bagian dokumentasi telah diketahuinya potret itu. Suatu snapshot yang begitu berhasil. Demikian kesannya. Dengan komentar: "tentara memporak-porandakan pemberontak", "penggempur benteng komunis" dan sebaginya lagi. Tiap koran dalam dan luar negeri menyiarkan potret itu dengan macam-macam komentar yang pada pokoknya membeberkan keheroikan. Tetapi ketika ditanya bagaimana perasaan dan pikirannya, di saat-saat yang genting itu, Pak Ceplas malah ketawa.
"Wah, foto itu memang punya riwayatnya sendiri."
"Kami mau tahu lebih jauh," ujar wartawan. "Faktanya, Pak?"
"Faktanya?"
"Ya, faktanya."
"Faktanya saya disuruh berpose," katanya ringan dan polos. Dan dia ketawa lagi. "Wah, sungguh tak terlupakan saat itu. Saya disuruh berpose sedemikian rupa - seperti serdadu in action. Wah, dia memang lihai. Si Idungmancung itu!"  Lalu dia mengangkat alis dan bahunya. Senyum tersipu. Diakuinya, potret itu amat membantunya dalam usaha. Yang menyebabkan dia dikenal sebagai prajurit berjasa, di bawah pimpinan Kolonel Dedi. Kolonel yang kemudian cepat mencuat pangkatnya dari perwira menengah menjadi Brigadir Jenderal. Orang yang berprawakan tegap berkumis lebat itu adalah pemuja Jenderal Romel dan Franco. Tapi, seperti halnya ketika bertugas di Kalimantan dalam rangka melawan proyek Malaysia, di Jakarta pada awal Oktober itupun mereka hanya bersiap-siap belaka. Itulah yang membikinnya kecewa. "Di tempat-tempat strategis  memang ada barikade-barikade," katanya menjelaskan. "Kendaraan berlapis waja, truk-truk penuh prajurit siap tempur berseliweran di jalan-jalan raya. Kami berusaha menciptakan suasana perang. Tapi tak bertempur."
"Tidak bertempur?" wartawan itu sungguh penasaran. Seketika teringat, di akhir tahun 1965 itu dia masih duduk di bangku kuliah di Bandung. Baru tahun berikutnya dia bermukim di Jakarta. Giat dalam aksi-aksi pemuda pelajar mengutuk Orde Lama. Dia bukan cuma turut berteriak-teriak di jalan-jalan raya, tapi juga menuliskannya di koran-koran. Terutama sekali di koran yang membawakan suara pemuda. Itulah sebabnya dia kemudian menjadi wartawan Harian Kita. Ketika dia mengulang tanya, betulkah  pada hari yang bersejarah itu mereka tidak melakukan pertempuran, Pak Ceplas malah balik bertanya:
"Bertempur dengan siapa sih? Hari itu yang ada cuma pengumuman tentang Dewan Revolusi lewat RRI. Presiden Sukarno dan Ketua PKI Aidit beserta bapak-bapak pemimpin negara lainnya berada di Halim. Bersama Letkol Untung. Menlu Subandrio dan Wakil Ketua PKI Nyoto beserta beberapa Menteri lainnya berada di Medan. Menteri Chairul Saleh beserta pembesar lainnya sedang mengunjungi RRT. Ibarat rumah kosong tanpa orangtua, kita main perang-perangan di sekitar Istana Negara."
 
Dia menebarkan pandang ke potretnya, lalu ke potret Presiden RI yang pertama dan yang kedua. Dan dia ingat, banyaknya pasukan tentara yang datang dari daerah-daerah itu bukan untuk bertempur, melainkan untuk merayakan Hari Angkatan Perang tanggal 5 Oktober. Setelah tercenung sejenak, ditatapnya wajah sang wartawan muda di dekatnya itu. Seperti ada berkas-berkas awan mendung meliputi wajahnya, nada ucapannya agak berubah: "Ah, main perang-perangan, hasilnya bukan main-main..."
"Banyak korban jatuh, ya Pak?"
"Iya. Banyak korban jatuh. Setelah 1 Oktober itu. Setelah tersiar khabar enam Jenderal gugur. Bukan di medan tempur, tapi di temukan di sumur. Di Lubang Buaya," ujarnya datar. "Fakta-faktanya, dik," terusnya, "baik yang kalah maupun yang menang itu tanpa melalui pertempuran. Saya cedera lantaran jatuh terpeleset sendiri. Dari atas truk!"
 
Hening mencengkam seketika. Seperti disumbat perban berlapis-lapis, wartawan itu kehilangan suaranya. Tak mengajukan pertanyaan lagi. Karena tujuan utamanya untuk menulis kisah pahlawan tempur di awal Oktober yang bersejarah itu. Selain akan mempopulerkan lebih lanjut sang pahlawan, efeknya tentu bagi kepopuleran dirinya pula. Apa boleh buat. Betapapun juga rencana tulisannya tak boleh buyar. Diperhatikannya lagi potret bersejarah yang terpampang di tembok. Pak Ceplas segera paham. Bangkit dari duduknya. Membuka laci meja-tulis. Berkata dengan penuh kesungguhan:
"Foto yang itu tak boleh diganggu. Saya masih punya yang kecilan. Ini ambil."
"Wah, bagus sekali, Pak," ujar wartawan agak terhibur. Rautmukanya berseri-seri. Paling tidak, potret itu akan memperkuat tulisannya. Tetapi kegembiraannya dihambarkan oleh pesan Pak Ceplas, ketika menyudahi wawancara itu.
"Kalau dimuat, komentarnya jangan sensasionil, ya?"
"Oke," jawab wartawan pendek. Bangkit dan menyiapkan tustelnya. "Foto terbaru, Pak?"
"Silakan," sambut Pak Ceplas girang. "Sebelah sini atau sana?"
"Ya, tetap di bawah lambang itu."
Dan diapun berpose di bawah poster Garuda Bhinneka Tunggal Ika.
 
DUA hari kemudian, hasil-hasil wawancara disiarkan di bawah judul "1 Oktober 1965: Tentara menghancurleburkan G.30.S/PKI". Siang hari itu juga sang wartawan menerima telpon dari Pak Ceplas yang menyatakan kekecewaannya. Karena baik artikel maupun komentar atas potretnya tidak seperti yang dia harapkan. Lalu dia minta bicara langsung dengan pemimpin redaksi Harian Kita itu, menyemprotnya dengan kata-kata:
"Wartawan yang baik mesti memperhatikan fakta-fakta. Yang hitam bilang hitam yang putih putih. Faktanya gamblang: kita menang sebelum bertempur!"
 
Seketika suaranya terputus. (1980) ***
 
(Cerpen Yang Menang Sebelum Bertempur pernah terpajang di galeri cerpen Cybersastra 29 September 2002).


Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65click: http://www.progind.net/  
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/


Yahoo! Music Unlimited - Access over 1 million songs. Try it free.

JAKER(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)
***************************************
sekretariat:
JL.Tebet Timur Dalam IID No.10 Jakarta Selatan 12820 Indonesia
telp/fax: +62218292842
email:<[EMAIL PROTECTED]>

People's Cultural Network
"Semua orang adalah seniman,setiap tempat adalah panggung!"




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke