Note: forwarded message attached.


Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.

JAKER(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)
***************************************
sekretariat:
JL.Tebet Timur Dalam IID No.10 Jakarta Selatan 12820 Indonesia
telp/fax: +62218292842
email:<[EMAIL PROTECTED]>

People's Cultural Network
"Semua orang adalah seniman,setiap tempat adalah panggung!"




SPONSORED LINKS
Corporate culture Organizational culture Culture change
Cell culture Organization culture Culture


YAHOO! GROUPS LINKS




--- Begin Message ---
HIPERREALITAS TANAH TERJANJI
 
Oleh:
AUDIFAX
 
 
Well I see him on the TV
Preachin' 'bout the promised land
He tells me to believe in Jesus
And steals the money from my hand
Some say he was a good man
But Lord I think he sinned
 
Dikutip dari “Something to Believe in”
Poison (Album Flesh and Blood)
 
Tanah Terjanji adalah sebuah “Teritori” yang diidam-diidamkan umat manusia dari berbagai ras, negara, agama, serta beragam latar lainnya. Layaknya hukum Demand-Supply, oleh karena begitu banyaknya manusia yang menginginkan, maka banyak pula yang menjanjikannya, atau setidaknya membantu menunjukkan jalannya. Tak heran di Gereja-gereja banyak Pendeta atau Romo yang seringkali juga memberi petunjuk, bahkan seperti ditulis Mang Ucup (2005) dalam bukunya Hamba duit vs Hamba Allah, ada pula yang mendapat perpuluhan dari menjanjikan “kavling” di Tanah Terjanji atau “Surga”. Tak heran pula ketika kita menyaksikan VCD kesaksian salah satu pelaku Bom Bunuh Diri, yang begitu yakin bahwa ketika mati jiwanya akan dibawa dalam tembolok burung menuju ke surga. Dalam kasus lain, Tanah Terjanji juga begitu dinginkan orang, tak jarang menimbulkan peperangan atau pertumpahan darah. Ya..kesimpulannya, begitu banyak orang menginginkan Tanah Terjanji dan mau melakukan apa saja untuk bisa pergi ke sana.
Lalu apakah Tanah Terjanji memang benar-benar ada? Sejauh ini, Tanah Terjanji tak lebih dari sebuah peta yang mendahului teritori. Jika umumnya teritori ada terlebih dulu, baru dibuat petanya, namun dalam kasus tanah terjanji, justru petanya dibuat dulu sebelum ada teritorinya. Jean Baudrillard, pernah menjelaskan bahwa hal seperti ini adalah simulacra. Apa itu simulacra? Simulacra adalah suatu simulasi yang tak memiliki rujukan pada apapun. Simulacra ini kerap mencerabut manusia dan menjebaknya dalam suatu ruang simulasi yang dianggapnya nyata. Pada ruang-ruang inilah kasus Gereja Duitnya Mang Ucup atau Kesaksian Pelaku Bom Bunuh Diri bisa dijelaskan. Jadi, Tanah Terjanji sebenarnya tak lebih dari simulacra, suatu Hiperealitas, realitas yang melampaui realitas itu sendiri. Kosong, namun lebih nyata dari yang nyata.
Manusia dalam kehidupan saat ini memang mendiami suatu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Maka, tak heran Azahari dan Noordin M Top bisa merekrut begitu banyak orang untuk berjihad dengan Bom Bunuh Diri. Jadi di sinilah masalahnya, sehingga konyol sekali ketika MUI lantas menyikapi dengan mengeluarkan fatwa bahwa Bom Bunuh Diri adalah haram. Persoalannya bukan pada stempel halal atau haram, tapi pada manusia yang saat ini memang mendiami sebuah ruang penuh silang sengkarut pemaknaan yang mencerabutnya dari realitas, sebuah simulacra, sebuah ruang yang melampaui realitas itu sendiri dan menyeret manusia masuk ke dalamnya.
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini, menurut Baudrillard tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang berlebih, meledak, semu. Tanah Terjanjipun, saat ini banyak dikemas dalam Hiperealitas semacam ini.
Hiperealitas Tanah Terjanji, selalu diletakkan dalam klaim-klaim Kebenaran yang juga sama semunya. Nietzsche, dengan nihilisme-nya sebenarnya telah membongkar klaim-klaim Kebenaran macam ini. Pembongkaran ini dimungkinkan begitu nihilisme berhasil menyingkapkan bahwa jaminan atas klaim kebenaran tidak lebih dari nilai subyektivitas individu atau kelompok sosial tertentu. Keyakinan yang terekspresikan keluar sebagai ‘kebenaran’ sebenarnya hanyalah ekspresi dari individu/kelompok sosial tersebut atas kehendaknya untuk berkuasa, melalui retorika persuasif untuk membenarkan penguasaan status quo tertentu. Dengan demikian, nihilisme bertujuan untuk menyerang segala bentuk sistem rasionalitas (sebagai sistem retoris persuasif) yang mendukung kebenaran-kebenaran metafisis (Tuhan, jiwa, esensi) sebagai inti yang tetap dari segala sesuatunya.
Kehadiran Nietzche dengan nihilismenya, tak pelak membuat Kebenaran metafisis meregang nyawa dalam dilema antara “menyelamatkan” Tuhan dengan menariknya ke wilayah dogma, atau membebaskan Tuhan dengan memerangkapnya ke wilayah lain yang tak kalah dogmatis, yaitu: Akal (Cogito). Tetapi, baik dogmatisme religius maupun rasionalisme metafisik, keduanya tak mampu lagi bertahan hidup ketika berhadapan dengan nihilisme.
Inilah sebabnya nihilisme menjadi momok bagi sebagian besar umat beragama. Martin Heidegger kemudian melakukan pembacaan ulang dengan meletakkannya pada perspektif pandang yang memungkinkan umat beragama mendekati Tuhan sebagai Yang-Tak-Mungkin. Heidegger membaca bahwa status ontologis agama dan ‘Tuhan’ telah disterilkan dalam Kebenaran metafisis agar tak bisa didestruksi sehingga tidak memungkinkan untuk mempertanyakan atau mempersoalkan kembali Tuhan-Tuhan dalam agama.
Namun seperti dikatakan Jacques Derrida dalam of Grammatology, pada situasi seperti inilah peluang bagi penanda-penanda untuk bermain dalam kematian sebuah festival dan hadir di depan kepolosan masyarakat yang terpesona oleh tontonan. Sebuah tarian yang membuka teater tanpa representasi. Atau lebih merupakan sebuah panggung tanpa pertunjukan yang mampu mempesona penonton. Jadi jangan dikira penayangan berbagai pemberitaan mengenai pengeboman atau penerbitan buku Imam Samudra, yang hanya sebatas konteks mengonsumsi “tontonan” (spectacle) justru membawa pula kemungkinan timbulnya inspirasi bagi orang-orang tertentu untuk melakukan heroisme yang sama. Saya pribadi, malah melihat bahwa pihak kepolisian dan semua yang terkait dengan penayangan VCD kesaksian itu di berbagai media, telah terjebak dalam “strategi marketing” Noordin M. Top untuk menjual Tanah Terjanji.
Lebih ironis lagi, ketika MUI justru mengeluarkan fatwa yang sama-sama imanennya dengan kebiasaannya men-stempel Halal-Haram pada perilaku Bom Bunuh Diri. Ini membuat Tanah Terjanji itupun tetap dipahami dalam hiperealitasnya. Sebuah “Kebenaran” yang tekstual, tak akan bisa diargumentasi dengan “Kebenaran” yang sama-sama tekstualnya. Ini karena semua yang tekstual, tak pernah menemukan esensinya karena keterbatasan bahasa verbal dalam mengungkapkannya. Kesejatian Kebenaran, justru harus dipahami dalam ketakterpahamiannya, yang oleh Derrida dilakukan dengan cara Dekonstruksi.
Melalui pengembangan pemikiran Heidegger, Derrida membawa Dekonstruksi sebagai suatu kemungkinan yang mengajak manusia “melampaui” agama dan masuk ke dalam “agama-tanpa-agama”. Apa maksudnya? Agama, selama ini tekstual, maka tak heran bisa ditafsir macam-macam dan bisa diarahkan ke mana saja. Jangan lupa, bahwa para pelaku bom Bunuh Diri itupun menggunakan interpretasi terhadap ayat sebagai landasan kebenarannya dan keyakinannya bakal sampai ke Tanah Terjanji. Padahal teks itu selalu terbatas dalam membawa makna dan memungkinkan untuk diarahkan ke mana saja. “Agama-tanpa-agama”, tidak menafikkan hadirnya institusi agama yang selama ini kita temui dalam sejarah, namun justru mengajak untuk tak terjebak dalam agama-agama sejarah itu. Agama-agama yang hanya tekstual. Dekonstruksi juga mempunyai dimensi teologis, meski kata “teologis” tak dipahami dalam kerangka metafisika kehadiran, yang merujuk pada adanya sebuah logos atau kebenaran tertentu yang transenden. Dimensi “teologis” dalam dekonstruksi lebih menunjuk pada ketidakmungkinan itu sendiri, yakni ketidakmungkinan untuk membicarakan “Tuhan”.
Dekonstruksi tidak menjanjikan apa-apa seperti metode pembacaan lain. Ia tidak membawa kita ke Taman Eden yang penuh dengan kenikmatan dan kenyamanan atau ke Tanah Kanaan seperti dititahkan Tuhan kepada Musa di Gunung Sinai. Tanah Terjanji dalam Dekonstruksi bukanlah sebuah negeri elok dengan keindahan pemandangan taman surgawi, melainkan hamparan gurun tak bertuan menuju ketakterbatasan yang tak pernah berakhir. Perjalanan menuju Tanah Terjanji adalah perjalanan menuju Liyan, sesuatu yang sama sekali lain, yang tak mungkin diramalkan serta tak terbayangkan. Suatu absurditas yang begitu luas. Tanah Terjanji adalah segugusan imaji yang terus berubah, mengalir, bergerak, menyebar, tanpa jelas referensinya. Perjalanan itu sendirilah satu-satunya acuan. Pencarian Tanah Terjanji adalah pencarian akan Sesuatu-Yang-Tak-Mungkin dan akan terus berawal tanpa akhir.
Dalam absurditasnya, Gurun Dekonstruksi pencarian Tanah Terjanji, bukanlah gurun nihilistik yang tidak mengakui Tuhan dan Kebenaran. Tuhan dan Kebenaran justru selalu ada, tetapi di-sana, di tanah seberang yang jauh, yang hanya bisa kita hampiri tapi tak pernah tuntas tercapai. Acuan apa itu kebenaran terletak dari pemaknaan dan bagaimana meng-alam-i Tuhan selama perjalanan yang penuh ketakpastian dan menuntut perjuangan untuk bertahan hidup. Men-alam-i, berarti menjadikan Tuhan sebuah alam yang bisa dirasakan kehadirannya. Meng-alam-i berarti menyatukan diri dalam Tuhan dalam alam yang sama dan bukan menempatkan Tuhan dalam kekosongan transendensinya nun jauh di atas sana.
Sebuah Dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri. Hidup yang menuntut kita untuk dengan rendah hati mengakui Tuhan, Kebenaran, dan Tanah Terjanji sebagai sebuah kemungkinan dalam ketakmungkinan. Manusia, hanya bisa menjalani dan berharap menemukan sesuatu yang berharga dalam perjalanan itu. Tak ada jalan pintas melalui Bom Bunuh Diri ataupun Perpuluhan. Manusia adalah mahluk yang hadir dalam kesementaraan pada petualangan tanpa akhir menuju kematian dan karenanya, hanya harapan akan kemungkinan dalam ketakmungkinan sepanjang perjalanan absurd itulah yang membuat dirinya eksis dan bermakna; bukan Hiperealitas Tanah Terjanji.
 
INSPIRATIONAL READING:
Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS
Jacques Derrida; (1992) Gift of Death; saduran David Willis; Chicago: The Univesity of Chicago Press
Jacques Derrida, (1976); Of Grammatology; saduran Gayatri Chakravorty Spivak; Baltimore: The John Hopkins University Press
Mang Ucup; (2005) Hamba Duit vs Hamba Allah; Yogyakarta: Kairos Book.
 
© Audifax – 21 November 2005
 
NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif, Vincent Liong, R-Mania, Pasar Buku, Alumni St. Louis dan Forum Studi Kebudayaan. Mungkin akan ada rekan-rekan dari milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya untuk bergabung di milis psikologi transformatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)
 


Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.
--- End Message ---

Kirim email ke