Note: forwarded message attached.


Yahoo! Personals
Single? There's someone we'd like you to meet.
Lots of someones, actually. Try Yahoo! Personals

JAKER(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)
***************************************
sekretariat:
JL.Tebet Timur Dalam IID No.10 Jakarta Selatan 12820 Indonesia
telp/fax: +62218292842
email:<[EMAIL PROTECTED]>

People's Cultural Network
"Semua orang adalah seniman,setiap tempat adalah panggung!"




YAHOO! GROUPS LINKS




--- Begin Message ---
MANUSIA ‘TO BE’ & ‘TO BECOMING’ (II)
 
OLEH:
AUDIFAX
 
'Cause yesterday's got nothin' for me
Old pictures that I'll always see
Some things could be better
In my book of memories
 
Prayers in my pocket
And no hand in destiny
I'll keep on movin' along
With no time to plant my feet
 
Guns N’ Roses
(dikutip dari lagu “Yesterday” dalam album “Use Your Illusion II”)
 
Tulisan ini adalah sekuel dari esei “Manusia ‘To be’ & ‘To Becoming’” terdahulu. Saya kembali terinspirasi untuk membahas mengenai ‘TO BE’ dan ‘TO BECOMING’ setelah melihat tulisan Mang Ucup berjudul “Agama Islam=agama teroris” yang kemudian berkembang menjadi diskusi menarik tentang Islam dan Tao. Bahkan sudah sekitar tiga minggu lebih diskusi dan perdebatan masih berlangsung, yang tak jarang saling mengutip teks-teks dari masa lalu, seperti tulisan Melia Gustiviani berjudul ‘Siapakah Tuhan Kita ?:)’ yang diforward oleh rekan Mohammad Sofyan. Ada sesuatu yang menjadi refleksi bagi saya di sini, yaitu manusia sering berusaha mengambil teks-teks, terutama dari masa lalu/sejarah, untuk kemudian dikenakan begitu saja sebagai identitas diri.
Sebelum bicara lebih jauh, ada baiknya kita lihat dulu esensi dari teks. Menurut J. Goody, teks memiliki dua fungsi: pertama, fungsi penyimpan sehingga memungkinkan komunikasi tanpa tergantung ruang dan waktu; kedua, memindahkan kata-kata serta kalimat yang dapat diamati lepas dari konteks asalnya, sehingga ia tampil dalam konteks yang sangat berbeda dan benar-benar abstrak.
Jacqoes Derrida menjelaskan bahwa kesejatian makna dari teks mesti tunduk pada kebutuhan kebaruan dan penghapusan yang lama, tak terkecuali ketika diterapkan pada identitas. Inilah yang dijelaskan Derrida sebagai trace, yaitu penelusuran yang menghapus jejak, namun bukan berarti memutuskan pada makna asali. Penghapusan ini justru harus selalu ada karena jejak tak pernah membangun keaslian.
Oleh karena itu, mengikuti jejak-jejak sejarah semata, membuat orang mati dalam tekstualitas karena hanya menerapkan atau mengenakan pada diri, sesuatu yang tak lebih dari hafalan yang dilakukannya pada teks. Termasuk di dalamnya ketika orang hanya mengenakan teks sebagai identitas dan mempraktekkan apa yang sekedar dihafal dari teks-teks agama yang sebenarnya merupakan teks sejarah. Mereka inilah manusia-manusia yang terjebak dalam arus ‘To Becoming’, yang hanya berusaha agar dirinya “seperti…” tanpa memahami dan menghayati. Dalam kontekstualisasi kehidupan, ‘menjadi seperti….” ini bisa kita temui dalam banyak hal, termasuk agama yang akan menjadi bahasan dalam penulisan ini. Banyak orang hanya ingin “menjadi seperti Islam”, “menjadi seperti Katolik”, “menjadi seperti Kristen”, “menjadi seperti Buddha”, “menjadi seperti Hindu”, “menjadi seperti Tao” dan seterusnya.
Manusia-manusia ‘To Becoming’ ini sekedar larut dalam arus untuk menjadi sesuatu “seperti” yang telah dimapankan oleh historisitas sebagai suatu kepantasan. Jika agamanya “X” maka harus menikah dengan agama “X” pula. Jadi jika jatuh cinta dengan yang berbeda agama, solusinya Cuma dua, putus atau salah satu berganti agama. Itu Cuma satu konteks saja, masih banyak konteks lain jika kita mau lebih merenungkan. Orang-orang tak menangkap makna teks tapi justru tersesat oleh jejak-jejak teks yang tak jarang bertabrakan antara alur jejak yang satu dengan yang lain. Tabrakan alur jejak seperti ini pulalah yang menjadi pemicu perdebatan apakah Islam agama teroris atau bukan. Ketersesatan dalam jejak itu, membuat perdebatan hanya mengarah pada teks-teks yang saling diperdebatkan tanpa mengkontekstualisasikan makna agama pada kehidupan.
‘To Becoming’ akan membuat manusia menyusuri gurun beribu jejak dari ranah bernama sejarah, yang akan membuatnya terbenam dan terus terbenam dalam silang sengkarut jejak. Menjadi seperti Islam, menjadi seperti tao, menjadi seperti Katolik, menjadi seperti Kristen, adalah jejak-jejak yang seringkali justru bertabrakan satu sama lain.
Jacques Lacan, dalam bukunya yang terkenal Ecrits, pernah menjelaskan bahwa penanda hanya bisa dipahami dalam kesatuan berbagai keunikannya sehingga meng-Ada pada kesejatiannya adalah simbol dari ketidakmampuan untuk hadir. Ini berarti baik Islam, Tao, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha; bukanlah sesuatu yang bisa dipahami sebagai teks yang berlaku sama bagi semua pemeluknya. Apalagi antara pemeluk agama yang berbeda. Mengargumentasikan yang satu lebih baik dari yang lain, sama saja dengan menunjukkan ketakpahamannya akan esensi sebenarnya dari agama. Permasalahannya saat ini, penyebaran agama umumnya terjebak dalam kefanaan tekstualitas, sehingga tak mengherankan timbul kekerasan-kekerasan yang berakar dari tafsir agama.
Esensi penyebaran sesuatu yang bersifat teks (termasuk agama) dijelaskan secara lugas oleh Derrida dengan istilah disseminasi (yang biasa kita pakai juga di dunia akademis itu) yang dilakukan dengan mendekonstruksi versi tekstualitas. Perlu diingat pertama adalah bahwa Disseminasi atau penyebaran bukanlah memproduksi (inseminasi). Jadi di sini, benih (semen/mani) tersebar, tertumpah sia-sia. Emisi yang tak dapat kembali pada asal-mulanya, namun mengalami penyebaran makna yang membuatnya selalu berbeda dan tertangguhkan.
Gilles Deleuze menjelaskan bahwa jika tak ada masa lalu yang pada saat bersamaan hadir sebagai masa kini, maka kekinian tak akan pernah berlalu. Masa lalu dengan demikian, tidak mendahului atau di belakang masa kini, melainkan hadir berdampingan dengan masa kini. Ini karena masa kini adalah citra aktual dan masa lalu adalah citra virtual.
Masa lalu bukan urut-urutan kekinian yang lebih dulu ia hanyalah lukisan tua yang selalu tergantung dalam ruang dan waktu perjalanan hidup namun tak berarti apa-apa, karena ia kosong, jejak maknanya telah terhapus, karena kekinian tak pernah mampu hadir menggenggam makna secara penuh. Penelusuran akan membuat masa lalu menjadi Liyan, trace, dan difference yang berimplikasi pada proses meng-Ada yang terus menerus (To Be)
 ‘To Be’ akan membuat manusia terus menerus meng-Ada dalam kebaruannya dan tak membiarkan diri tersesat dalam teks-teks sejarah, termasuk sejarah agama. Ia menyadari bahwa sejarah tak lebih adalah pabrik jejak-jejak yang berpotensi menyesatkan manusia yang tak paham menelusurinya. Berbeda dengan ‘To Becoming’ yang menyesatkan manusia dalam gurun beribu jejak, ‘To Be’ membuat manusia menyusuri ranah tak berjejak karena jejak masa lalu hadir dalam telapak yang sama dengan langkah kekinian. Membuatnya terbebas dari ketersesatan karena ia memampukan manusia menjadi dirinya sendiri dengan segala kepenuhannya yang imanen sekaligus transenden. Tumbuh terus menerus dalam kebaruannya. ‘To Be’ bukan menjadi seperti ini atau seperti itu dengan mengacu teks masa lalu, namun hadir dalam kepenuhannya serta kesadaran akan keputusannya. Islam, Tao, atau apapun, bukan hadir dalam pemahaman ‘seperti’ teks masa lalu yang menenggelamkan manusia dalam kekosongan; namun semestinya dipahami dalam kontekstualisasi kekinian diri.
Gayatri Spivak mengatakan bahwa Kita harus belajar menggunakan dan menghapus bahasa yang menjelaskan diri kita pada saat yang bersamaan. Inilah satu-satunya cara untuk mencari kesejatian diri dalam perjalanan hidup yang penuh kefanaan. Kita sendirilah yang dapat menentukan apa yang bernilai bagi kita dan seberapa bernilai kita dalam perjalanan hidup kita. Manusia harus berani menghadapi kenyataan bahwa ia sendirian dalam perjalanan hidupnya dan penentuan hidupnya terletak pada keputusannya, bukan teks agama, bukan pula Tuhan yang dipahami sebatas sejarah.
Agar kita tak hidup dalam masa lalu yang mati, namun hidup dalam kebaruan dan kebaruan terus menerus. Hari kemarin, hanyalah penghantar bagi eksistensi saat ini. Maka hadirkan ia dalam kekinian dan jangan biarkan masa lalu menjebakmu dalam kematiannya. Saya tutup esei ini dengan kutipan lain lagu ‘Yesterday’ dari Guns N’ Roses.
 
Yesterday, There was so many things
I was never shown
Suddenly this time I found
I'm on the streets and I'm all alone
 
Yesterday's got nothin' for me
Old pictures that I'll always see
I ain't got time to reminisce old novelties
 
 
INSPIRATIONAL READING:
Nurudin Asyhadie; (2004); Hampiran Hamparan Gramatologi Derrida; Yogyakarta: LKIS
Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS
Jacques Derrida; (1976); Of Grammatology; saduran Gayatri Chakravorty Spivak; London & Baltimore: John Hopkins University Press
Jacques Lacan; (1977); Écrits; saduran Alan Sheridan; New York: W.W. Norton & Company
Guns N’ Roses; (1991); Album Use Your Illusion II
 
 
 
 
© Audifax – 2 Desember 2005
 
NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif, Vincent Liong, R-Mania, Pasar Buku, Alumni St. Louis dan Forum Studi Kebudayaan. Mungkin akan ada rekan-rekan dari milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya untuk bergabung di milis psikologi transformatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)
 
 


Yahoo! DSL Something to write home about. Just $16.99/mo. or less
--- End Message ---

Kirim email ke