http://www.kompas.com/kesehatan/news/0506/10/121231.htm


Darah Tali Pusar, Obat Masa Depan!

Jakarta
            Menyimpan darah tali pusar yang diambil sesaat setelah bayi
lahir, sama seperti asuransi biologis

Berita Terkait:
. Berobat (Sambil Belanja) di Singapura...
. Darah Tali Pusar, Asuransi Biologis Masa Depan

Kita mengenal ritual penguburan tali pusar dan ari-ari (plasenta) yang
mengiringi lahirnya bayi. Ketika tali pusar yang melekat pada bayi lepas
(puput), juga dilakukan upacara yang bermakna harapan keselamatan
baginya.


Keselamatan itu pula yang dijamin oleh darah tali pusar, yang disimpan
dengan teknologi kedokteran terkini.


Joshua Song dan keluarganya tak pernah menyangka bahwa ia bisa sembuh
dari ancaman penyakit yang sangat merisaukan karena selama ini dikira
tak tersembuhkan. Selama ini, sebulan sekali ia harus menjalani
transfusi darah akibat penyakit talasemia.


Selamat dari keganasan penyakit kini memang bukan mimpi. Darah tali
pusar ternyata potensial sebagal obat masa depan. Ia mampu menyelamatkan
jiwa manusia dari serangan berbagai penyakit kelainan genetik maupun
penyakit ganas, seperti kanker, leukemia, talasemia, dan sebagainya.


Joshua yang berasal dari Singapura itu adalah pasien talasemia pertama
di dunia, yang mendapat pencangkokan sel darah tali pusar dari donor
orang lain (tidak bertalian keluarga).


Kesuksesan terapi ini bukan hanya membuat Joshua bebas dari keharusan
menjalani transfusi darah, ia pun tak perlu lagi minum obat untuk
membersihkan zat besi yang menumpuk akibat transfusi.


Lebih 45 Penyakit


  1.. "Darah tali pusar sangat unik karena merupakan salah satu sumber
terkaya dari sel induk dalam tubuh. Menyimpan darah tali pusar yang
diambil sesaat setelah bayi lahir, sama seperti asuransi biologis,"
kata Dr. Freddy Teo, ahli penyakit darah di Singapura.
Investasi darah tersebut kelak dapat digunakan bila pemiliknya mengalami
penyakit berat. Bahkan, saudara dan keluarganya maupun orang lain yang
tidak bertalian darah bisa memanfaatkannya.


Untuk terapi berbagai gangguan genetik yang berdampak buruk pada darah
dan sistem imun tubuh, sebelumnya kita telah mengenal pencangkokan
(transplantasi) sel induk dari sumsum tulang belakang dan darah tepi.
Sel induk darah (haematopoetic stem cell) memiliki kemampuan melakukan
regenerasi dan membuat berbagai jenis sel darah dari sistem kekebalan
tubuh. Berkat kemajuan teknologi, sel darah dapat diubah menjadi sel
darah merah, sel darah putih, keping darah, sel hati, dan lainnya.


Sebetulnya ada dua macam sumber sel induk, yaitu sel induk dewasa
(meliputi sumsum tulang belakang, darah tepi, dan darah tali pusar)
serta embrio (embryonic stem cell). Sumber embrio ini tidak menjadi
perhatian karena masih kontroversial dan tidak etis (karena menyangkut
kehidupan makhluk baru)


Pencangkokan sel induk diperlukan jika sumsum tulang sebagai pabrik
pembuat sel darah terganggu. Gangguan bisa disebabkan penyakit atau
pengobatan dengan ke moterapi maupun radioterapi. Pencangkokan sel induk
itu dimaksudkan untuk mengisi sel-sel darah yang hilang atau rusak,
karena berbagai sebab.


Belakangan sejumlah penelitian berhasil mengungkap keunggulan sel darah
tali pusar. Eksperimen itu sudah dimulai sejak tahun 1963. Dan tahun
1988 untuk pertama kalinya dilakukan pencangkokan sel induk darah tali
pusar atau umbilical cord blood (UCB), pada penderita anemia fanconi,
dari donor yang bertalian keluarga, di Prancis.


Pencangkokan sel induk darah tali pusar dari diri sendiri dilakukan
untuk pertama kalinya tahun 2001. Sampal hari ini sudah lebih 3.000
kasus pencangkokan sel induk dari darah tali pusar yang dilakukan dan
berhasil.


The National Marrow Donor Programme mencatat, saat ini sudah lebih dari
45 penyakit yang bisa diobati dengan sel induk dari darah tali pusar.
"Kebanyakan penyakit darah, daya tahan tubuh, dan keganasan. Di masa
depan, sel induk ini diyakini dapat digunakan untuk mengobati penyakit
kencing manis (diabetes), stroke, penyakit jantung, penyakit ginjal,
Alzheimer, Parkinson, juga lupus.


Sumber Terkaya


  1.. Di samping merupakan sumber terkaya sel induk, darah tali pusar
memiliki banyak kelebihan dibanding sumber sel induk dewasa lain,
seperti sumsum tulang.
Pada sumsum tulang diperlukan kecocokan hingga 100 persen antara donor
dan penerima, untuk dapat dicangkokkan.


"Kalau darah tali pusar tidak harus 100 persen," tutur Dr. Frans
Ferdinansyah, konsultan penyimpanan darah tali pusar.


Kesesuaian yang tidak mutlak 100 persen itu memungkinkan tersedianya
donor yang cocok secara lebih cepat. Dengan demikian, memberikan harapan
hidup yang lebih pasti bagi penerima.


Cara pengambilan darah tali pusar juga aman dan tidak menimbulkan rasa
sakit, seperti halnya pengambilan sumsum tulang. Penggunaannya pada
penerima juga relatif tidak rumit, karena sama seperti proses transfusi
darah pada umumnya.


Sel induk darah tali pusar juga cukup menjanjikan dalam terapi generik
pada berbagai penyakit keturunan, terutama yang menyangkut sistem
kekebalan tubuh. Hal ini telah dibuktikan oleh Dr. Donald Khan dari
Children's Hospital, Universitas California di Los Angeles, AS, yang
melakukan terapi genetik pertama dari sel induk darah tali pusar pada
tiga anak yang menderita defisiensi adenosine deaminase (ADA), penyakit
yang menyerang kekebalan tubuh. Ketiga anak yang juga mendapat
pengobatan lain itu hidup sehat, sampai saat ini.


Dr. Patrick Tan, dokter ahli penyakit darah yang sudah lebih 20 tahun
bergelut di bidang pencangkokan sel induk, menyatakan bahwa terapi sel
induk merupakan alternatif bila tidak berhasil dengan cara konvensional
seperti kemoterapi dan radioterapi.


Talasemia mayor, leukemia limpatik kronis, dan myeloma ganda yang
dianggap tak dapat disembuhkan, nyatanya dengan pencangkokan sel induk
menunjukkan kemajuan hingga 90 persen.


Kecanggihan terapi cangkok sel induk itu juga telah menyelamatkan hidup
Tjen Tjoe Nyan (59). Sebelum tahun 2003, pria asal Sukabumi ini tak
pernah sakit serius. Ayah dua anak ini memang rajin joging, bersepeda
dan angkat beban.


Suatu kali, waktu mengangkat barbel kira-kira seberat 50 kg dalam posisi
membungkuk lalu berdiri, punggungnya terasa sakit. Segera beban berat
itu ia lepaskan. Tjen merasa tulangnya rontok. Ia pun tak mampu berdiri.
Untuk duduk dan berbaring pun punggungnya terasa sakit.


Sang istri segera membawanya ke dokter. Setelah dilakukan sinar X
diketahui tulang punggung bawahnya remuk. Setelah diteliti lebih lanjut,
dokter menyatakan itu karena tumor pada sumsum tulang belakangnya.


Sontak hati Tjen dan istri remuk redam. Dokter di Sukabumi tak mampu
berbuat apa-apa. Dibawalah Tjen ke Jakarta. Di sana pun, dokter tak bisa
berbuat banyak. Demi meraih kesembuhan, sang istri (tak mau disebut
namanya) membawanya ke Singapura.


Di sanalah Tjen ditawari terapi pencangkokan sel induk dan sumsum
tulang. Prosesnya agak panjang karena para ahli harus mencari donor
sumsum tulang yang cocok. Sebulan Tjen mesti bolak balik ke negeri jiran
itu.


Akhirnya operasi pencangkokan sel induk itu berjalan lancar dan
berhasil. Sekarang, Tjen sudah bisa berjalan seperti dulu. Meski tidak
boleh melakukan aktivitas berat, Tjen yang juga atlet sepeda ini boleh
berlatih lagi.


Terhambat Biaya


  1.. Di Indonesia, teknologi transplantasi sumsum tulang (bone marrow
transplant) bukan barang baru.
Menurut Prof. Dr. Karmel L Tambunan, Sp.PD-KHOM, onkologis dari
FKUI-RSCM, beberapa dokter di sini pernah melakukannya di tahun 1989.
"Kita berhasil menyelesaikan tiga kasus leukemia kronik dan akut," ujar
Prof. Karmel.


Sampai sekarang, kedua pasien itu masih hidup dan satu lagi meninggal
karena ada penyakit lain. Sayang teknologl ini kemudian mandek karena
biaya pengembangannya sangat mahal. "Waktu itu, untuk operasi saja butuh
uang sekitar 400 juta rupiah. Kalau sekarang tentu lebih banyak."
ucapnya.


Tiga kasus leukemia itu bisa diatasi karena ada donatur. Pemerintah
sempat memberikan dana untuk kursus di Prancis bagi tim yang hendak
menjalankan operasi ini. Namun, biaya operasi mesti diusahakan oleh para
dokter sendiri. Sementara pasien dibebaskan dari biaya operasi dan
pengobatan.


Langkah yang ditempuh memang hendak membuktikan kalau para dokter
Indonesia bisa melakukan teknologi yang tergolong baru pada waktu itu.
"Sekaligus untuk pengalaman kami." papar Prof. Karmel. Alat-alat yang
dulu pernah digunakan, sekarang disimpan untuk keperluan lain, salah
satunya untuk induksi leukemia.


Dari segi ilmu, dokter Indonesia sebenarnya menguasainya. "Kita punya
Prof. Arry Haryanto Reksodiputro dan koleganya, termasuk saya. Baik soal
bone marrrow transplant maupun transplantasi sel induk lain. Namun,
tanpa peralatan yang sangat modern, kita nggak bisa apa-apa," katanya.


Tentang penyimpanan sel induk, dengan rendah hati Prof. Karmel mengakui
bahwa alat itu belum dimiliki RSCM maupun rumah sakit lain di Indonesia.



"Lagi-lagi soal biaya. Alat yang bentuknya mirip kaleng kerupuk besar
itu 'kan mesti setiap hari dicek dan diawasi, dan itu butuh ahli. Tidak
banyak ahli yang kita punya dalam hal ini," ungkapnya.


Sel induk, menurut Prof. Karmel, mesti disimpan dengan suhu minus 180
derajat Celsius dengan bahan nitrogen cair. Ini tidaklah murah.


"Mungkin pemikiran untuk mengajak kerjasama dengan swasta baik juga
karena teknologi ini cukup baik untuk mengatasi berbagai persoalan berat
seperti myeloma, leukemia, talasemia, bahkan diabetes," ujarnya.


--------------------------------------------------------------
Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913
Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com


Kirim email ke