Title: Blank
Bukan lagi jamannya
murid yang kasak kusuk
cari bocoran!!
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
 

Skandal UN di Sekolah Kita


Meski tidak berkompeten untuk mengajar bahasa Indonesia, Dadi Muhtadin, guru mata pelajaran elektro di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Cilegon, Banten, ternyata efektif menanamkan sebuah peribahasa di benak muridnya, Taufik Abdurachman. Peribahasa 'mulutmu, harimaumu, bisa mengerkah kepalamu' itu, diajarkan Dadi layaknya cara belajar siswa aktif (CBSA) di masa lalu: Taufik dibuatnya babak belur.

Persoalan yang mulanya sederhana itu segera membesar. Tidak sekadar karena babak belurnya Taufik, tetapi kelakuan Dadi itu justru membuka aib yang lebih besar. Dari sana, diduga kuat bahwa pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA di Serang dan Cilegon, telah mengalami kebocoran.

Ceritanya sederhana. Saat pelaksanaan ujian, pekan lalu, Taufik yang berkali-kali menerima pesan singkat (SMS) berisi jawaban soal ujian nasional (UN) di selulernya, tergoda untuk meminta lebih banyak. Karena jawaban soal no 41 sampai 50 belum juga terkirim, siswa yang merasa mendapat durian runtuh itu mengirim SMS susulan. Hanya saja, sebagai remaja tanggung yang biasa usil, di akhir pesan ia cantumkan kalimat lain sebagai ancaman. ''Tak kepret sireu (saya tempeleng kamu)," tulis Taufik.

Eh, tak lama selulernya bergetar tanda ada pesan masuk. Namun bukan jawaban yang datang, melainkan umpatan kasar, ''Wedus Sireu (kambing, kamu), dasar tolol.'' Taufik yang belum sadar dari siapa SMS tadi datang, tenang saja meneruskan ujian.

Usai tes itulah, baru ia sadar siapa pengirim SMS tersebut. Pasalnya, Dadi, yang tampaknya tak sabar menunggu ujian kelar, segera menyeretnya ke ruang guru. Di tempat itulah, Taufik dihajar hingga babak belur. Di sanalah Taufik tahu, semua pesan itu memang dikirim Dadi kepada para murid yang memiliki telepon genggam, dengan maksud disebarluaskan. ''Sebelum disuruh pulang, saya diminta menandatangani surat perjanjian untuk tidak lapor polisi,'' kata Taufik.

Peran guru dalam kebocoran soal dan jawaban ujian nasional, bukanlah hal baru. Bahkan, Senin (22/5) pun terkuak, bahwa guru SMP 2 Kota Bekasi justru berbuat lancung dengan memberikan jawaban soal UN kepada murid-muridnya. Tujuannya sederhana, mendongkrak murid, mengharumkan nama sekolah.

''Soal matematikanya agak susah, jadi ada empat soal yang jawabannya diberi tahu ibu guru,'' ujar Ronald, sebut saja begitu, siswa kelas 3 sekolah tersebut. Ronald menjelaskan, dari 30 soal matematika yang dikerjakannya, ada sekitar 10 soal yang membuatnya pusing tujuh keliling. Maka, ia merasa sangat terbantu ketika guru itu memberinya empat jawaban tadi.

Caranya? ''Guru akan mengintip jawaban teman kami yang dianggap pintar, lalu memberikannya kepada kami dengan diam-diam,'' kata Manik, siswa SMP 2 yang lain.

Cara lain yang lebih 'berbudaya' juga dilakukan para pahlawan tanpa tanda jasa ini untuk mengatrol nilai murid-murid mereka. Nina, seorang guru sebuah SMP terfavorit di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, belakangan tampak tidak terlalu antusias berangkat ke tempatnya mengajar. ''Rasanya bertentangan dengan nurani,'' kata dia. Lho?

Nina mengaku, bersama delapan guru kelas tiga lain untuk tiga mata pelajaran: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, ditunjuk kepala sekolah untuk menjadi anggota tim sukses UN. Layaknya tim sukses kandidat presiden, tim sukses UN inipun harus memenangkan sekolah, menaikkan pamor dengan menjaga tak ada murid yang tidak lulus.

''Kepala sekolah meminta tahun ini tidak ada yang tidak lulus. Seratus persen harus lulus,'' kata Nina. Bukan dengan menggenjot siswa untuk belajar, melainkan mencuri lembar jawaban siswa untuk dikoreksi agar nilainya terkatrol tinggi. ''Biasanya, kami tandai, siswa mana di pelajaran apa yang harus dibantu,'' kata dia.

Menurut Nina, pelaksanaan UN sebenarnya berlangsung ketat. Tidak boleh ada guru setempat yang muncul, kecuali panitia UN. Pengawas di kelas pun datang dari sekolah lain.

Kesempatan itu terbuka ketika amplop yang sudah dilem dan ditandatangani pengawas, diberikan kepada panitia setempat. Secepat pengawas pulang, sesegera itu pula amplop dengan lem yang masih basah itu dibuka. ''Kami hanya punya 10-15 menit untuk memperbaiki jawaban yang salah,'' kata Nina. Nina dan teman-teman memang harus bergerak cepat. Amplop lembar jawaban itu ditunggu di ruangan lain oleh Panitia Gugus yang beranggotakan lintas sekolah. Tetapi sekali lagi, karena UN adalah kepentingan bersama, bukan tidak mungkin kerja sama juga diretas antarsekolah?

Ternyata, tim sejenis itu bukan pula barang baru? Menurut Ketua Forum Asosiasi Guru Independen Indonesia (FAGI), Agus Setia Mulyadi, sejak tahun lalu tim seperti itu sudah marak dibentuk setiap sekolah di Bandung. Cara kerja waktu itu, sebelum UN berlangsung, para siswa ditegaskan untuk mengosongkan lembar jawaban soal-soal sulit.

''Selebihnya, tim sukses yang akan mengisikan jawaban itu,'' kata Agus pada Pikiran Rakyat. Barangkali, bukan hanya sekolah di Bandung yang melakukan hal tersebut. Di Semarang, akhir Desember tahun lalu, bahkan Kepala Bidang Mapenda Kanwil Depag Jateng, Abdul Choliq, meminta para kepala madrasah se-Jawa Tengah membentuk tim sukses. ''Jika perlu, bentuk tim sukses yang melibatkan seluruh komponen yang ada,'' kata Choliq, saat itu.

Menghalalkan segara cara seperti itu, seharusnya dianggap sebagai sebuah skandal. Tapi, bukan tak mungkin kelak menjadi doktrin baru di sekolah-sekolah kita.

( dsy/zam/c41 )

Kirim email ke