“Kristen” berarti pengikut Kristus. Dengan kata lain, setiap orang Kristen
seharusnya adalah mereka yang mengikut dan men-Tuhan-kan Kristus di setiap
waktu. Namun, apa jadinya jika Kekristenan tidak lagi mengikut Kristus? Apa
akibatnya? Bagaimana solusi terhadap masalah tersebut?
 
Temukan jawabannya dalam:
Buku
KEKRISTENAN TANPA KRISTUS
 
oleh:Rev. Prof. Michael S. Horton, Ph.D.
 
Kata Pengantar:
Rev. Dr. (HC) William H. Willimon,
S.T.D.
(Uskup di The United Methodist Church; Bachelor of Arts—B.A. dari Wofford
College; Master of Divinity—M.Div.
dari Yale Divinity School; Doctor of Sacred Theology—S.T.D. dari Emory
University; dan menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity—D.D. dari: 
Westminster College, Campbell
University, Lafeyette College, Colgate University, Centre College, LaGrange
College, Albright College, Birmingham-Southern College, Mennonite Theological
Seminary dan gelar kehormatan lainnya, seperti: Doctor of Humane 
Letters—D.Hum.Lit. dari Wofford College dan
Methodist College dan gelar Doctor of
Letters—D.Litt. dari Lehigh University)
 
Penerjemah: Grace Purnamasari
 
Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya,
2012
 
 
 
Di dalam bab-bab awal bukunya, Prof. Michael S. Horton, Ph.D. menjelaskan
tentang gejala Kekristenan tanpa Kristus yang sedang menawan Kekristenan
Amerika dengan menggeser Kristus dan Injil-Nya, lalu menggantinya dengan 
khotbah-khotbah
yang menekankan perubahan moral dan pengajaran hal-hal praktis (seperti
pernikahan, dll). Dr. Horton menyebutnya sebagai: “Deisme Terapeutik yang
Moralistik”. Gejala ini ditandai dengan ucapan yang muluk-muluk nan indah yang
menekankan kehebatan diri sendiri dan menyingkirkan Kristus dari takhta-Nya
sebagai Raja dan Tuhan. Akibatnya, jangan heran, Injil yang berarti Kabar Baik
(berbicara tentang apa yang sudah Allah kerjakan di dalam Kristus) diganti
menjadi Nasihat Baik (berbicara tentang apa yang harus orang Kristen kerjakan).
Nasihat Baik ini nantinya mengarahkan banyak orang Kristen Amerika kepada sosok
Yesus yang bukan lagi unik dan final menurut Alkitab, tetapi Yesus yang milik
pribadi masing-masing, sehingga siapa pun bisa mengikut Yesus tanpa menjadi
seorang Kristen. Jangan heran, melalui Nasihat Baik ini, banyak theolog dan
pendeta tidak lagi menyampaikan Kristus dengan berita dan cara yang tepat,
tetapi dengan berita dan cara yang berpusat pada manusia. Bagaimana kita
menghadapi situasi kelam ini? Di bab 7, Dr. Horton memanggil kita untuk melawan
gejala ini di dalam Kekristenan dengan kembali memberitakan Kristus yang
disalib dan bangkit sesuai dengan apa yang Injil beritakan, lalu
mengaplikasikannya dalam kehidupan Kristen sehari-hari dengan tetap berfokus
kepada Kristus yang Injil beritakan. Biarlah buku ini dapat menyadarkan kita
betapa pentingnya Kristus yang tersalib dan bangkit di dalam Kekristenan,
sehingga menghilangkan Kristus dari Kekristenan berarti mematikan Kekristenan
itu sendiri.
 
 
 
Rekomendasi:
“Horton
mengonfrontasi evangelikalisme modern dalam bahasa yang mengingatkan kita
kepada tantangan J. Gresham Machen kepada liberalisme di tahun 1920-an.
Keduanya menyoroti kekurangan dan kelemahan (injil baru) yang bukan hanya 
mendistorsi
iman Kristen, tapi bahkan telah menolaknya…. Argumennya meyakinkan; moralisme
terapeutik benar-benar tealh menetap dengan nyaman dalam kelompok Injili.”
Rev. Parker T.
Williamson, M.Div., Ph.M.
(editor emeritus dan Koresponden senior dari The Presbyterian Layman dan 
Pendeta di Presbyterian Church (USA); M.Div. dari
Union Theological Seminary, Richmond, VA dan Master of Philosophy—Ph.M. dalam 
bidang Etika Kristen dari Yale Divinity School)
 
“Kekristenan Tanpa Kristus mengukuhkan Michael Horton sebagai
protagonist terkemuka bagi ortodoksi Protestan klasik . Contoh-contohnya yang
luas dan dengan saksama ditelaah menunjukkan bagaimana gereja dan megachurch 
telah bermain mata dengan
kebudayaan bersama bidaah Gnostik, Pelagian, moralistik, dan penolong-diri,
serta dilucuti dari karya Yesus Kristus yang menyelamatkan. Horton memberi kita
keyakinan yang teguh dalam iman Alkitabiah kita. Apa lagi yang lebih penting
daripada hal ini?”
Uskup
Episkopal Christopher FitzSimons Allison, Ph.D.
(mantan uskup
Episkopal; Bachelor of Divinity—B.D.
dari Virginia Theological Seminary dan Doctor
of Philosophy—Ph.D. dari Oxford University, U.K.)
 
 
Profil Rev. Dr.
Michael S. Horton:
Rev. Prof. Michael S. Horton, B.A., M.A., Ph.D.adalah
Profesor Theologi Sistematik dan Apologetik J. Gresham Machen di Westminster
Seminary, California dan Pendeta di the
United Reformed Churches of North America.
Beliau juga adalah anggota dari the
Oxford University Union Society, the
Royal Institute of Philosophy, the American Academy of Religion, the American 
Theological Society, dan the Calvin Studies Society. Beliau
menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.)
di Biola University; Master of Arts (M.A.)
di Westminster  Seminary California; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di 
University of Coventry and Wycliffe
Hall, Oxford. Beliau menyelesaikan Research
Fellowship di Yale University Divinity School. Beliau menikah dengan Lisa
dan dikaruniai 4 orang anak. Mereka semua sekarang tinggal di Escondido,
California.
 
 
"Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang 
Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya 
untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata."
(Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)

Kirim email ke