http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0605/19/utama/2670746.htm

Orangtua Siswa Miskin Tangisi Mahalnya Biaya Sekolah
Ester L Napitupulu

Berdiri di antara tumpukan barang-barangnya yang digeletakkan begitu 
saja di pinggir jalan, mata Siti (43) tampak berkaca-kaca. Korban 
gusuran proyek double-double track Manggarai-Cikarang yang pernah 
memiliki rumah di belakang Stasiun Kereta Api Jatinegara, Jakarta Timur, 
itu berdiri gelisah.

Bukan soal tempat tinggal yang sudah rata dengan tanah semata yang 
menggelisahkannya, tetapi terlebih soal nasib tiga anaknya yang masih 
usia sekolah.

Belakangan ini Siti sering tidak kuasa menahan tangis. Apalagi saat 
anak-anaknya berkata malu terus ditagih uang bayaran sekolah. ”Setiap 
anak-anak mau ujian rasanya seperti dikejar-kejar utang. Guru gencar 
menagih uang bulanan yang nunggak,” kata Siti yang mencari penghasilan 
tambahan dengan berjualan gorengan di Stasiun KA Jatinegara.

Ade Putra (17), salah satu anaknya yang duduk di kelas III sebuah SMU 
swasta di Jakarta Timur, terus mendesak ibunya untuk melunasi uang 
sekolah yang sudah tiga bulan tidak dibayar, sebesar Rp 240.000. Ade 
khawatir ijazah kelulusannya nanti ditahan karena uang sekolah belum lunas.

Untuk anak bungsunya, Ajeng (7), yang sekolah di SD negeri, Siti 
bernapas lega karena tidak harus bayar biaya pendidikan. Namun, tetap 
saja Siti bingung melunasi uang buku paket yang pembayarannya bisa dicicil.

”Ajeng jarang jajan karena uangnya ditabung untuk bayar buku. Untungnya, 
dia tidak pernah malu,” kata Siti, yang suaminya bekerja sebagai tukang 
parkir.

Yang saat ini mengganggu pikiran Siti adalah masa depan anaknya, Hari 
Adrianto (15), yang putus sekolah. Baru tiga bulan bersekolah di sebuah 
SMP negeri, Hari menangis minta izin ibunya untuk berhenti. Pasalnya, ia 
harus membayar uang pembangunan sebagai siswa baru Rp 900.000 yang 
ditetapkan dalam rapat dengan komite sekolah.

”Saya ingin anak-anak tidak malu kalau sekolah. Namun, bekerja sekeras 
apa pun kok uang yang didapat tidak juga cukup untuk bayar sekolah 
mereka,” keluh Siti.

Perempuan asal Indramayu ini juga prihatin dengan nasib dua keponakannya 
yang putus sekolah karena terbentur biaya. Alfi (19) berhenti sekolah 
dua tahun lalu saat naik ke kelas III STM. Adiknya, Ardi (16), tidak 
bisa melanjutkan ke SMU.

Kesulitan membiayai sekolah anak juga dirasakan Freddy Tenlima (52), 
koordinator keamanan Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta 
(PPD) Depo Cakung. Hatinya dipenuhi amarah saat anak bungsunya, Leonardo 
(15), siswa kelas I SMP di Bekasi, dua bulan ini tidak mau sekolah. 
Anaknya yang lain, Martin (18), siswa kelas III SMK swasta juga menuntut 
uang bulanan yang tertunggak.

Leonardo malu karena ayahnya yang tidak menerima gaji sejak Desember 
2005-Mei 2006 tidak bisa membayar uang sekolahnya. ”Hati saya rasanya 
kacau. Sudah terusir dari rumah kontrakan, sekarang anak saya berhenti 
sekolah,” kata Freddy, yang seharusnya menerima gaji Rp 950.000 per bulan.

Akibat perusahaan BUMN itu yang terus merugi sehingga tidak sanggup lagi 
menggaji ribuan karyawannya, keluarga Freddy kesulitan hidup. Freddy 
sampai menulis dan mengantarkan sendiri surat soal kondisi perusahaannya 
dan nasib keluarganya ke Istana Presiden pada awal Mei lalu. Namun, 
sampai saat ini belum ada jawaban.

Demi mempertahankan semangat sekolah anaknya, Santoso Tri Prayitno (44), 
satpam Perum PPD, menemui bagian tata usaha. Santoso menjelaskan 
kondisinya yang tidak lagi bergaji sehingga tidak mampu membayar uang 
sekolah anaknya di SMP negeri di Rawamangun, Jakarta Timur, sebesar Rp 
65.000 per bulan.

”Saya baru bisa bayar dua bulan untuk tahun ini. Itu pun mengutang. Saya 
terus terang saja soal kondisi keluarga karena memang tidak mampu. 
Apalagi ibunya di kampung sakit,” kata Santoso yang beruntung dua 
anaknya yang lain dapat bantuan biaya sekolah dari gereja.

Ketidaksanggupan orangtua menanggung biaya sekolah menyebabkan Herman 
(12), siswa kelas VI SD negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, juga 
berhenti sekolah. Ia kemudian berjualan koran untuk meringankan beban 
orangtuanya.

Di Jakarta kita begitu mudah menemui anak-anak usia sekolah yang 
terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ada yang mengamen, mengemis, atau 
menjadi pedagang asongan supaya bisa mendapat uang ala kadarnya.

Selain untuk membantu dapur orangtuanya, ada juga yang untuk menambah 
uang sekolah. Di angkutan umum, misalnya, anak-anak kecil yang mengamen 
menyodorkan amplop yang bertuliskan untuk biaya sekolah.

Di DKI Jakarta di sekolah negeri terpampang spanduk bertuliskan sekolah 
gratis karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan biaya 
operasional provinsi (BOP).

Akan tetapi, yang sering dikeluhkan adalah biaya pembelian buku paket 
yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk satu semester. 
Maka, menyekolahkan anak pun tetap saja dirasakan sebagai beban yang 
sering kali menguras air mata orangtua....

-- 
Ronsen
Yet Another Gindis Player
http://tinyurl.com/pgohk


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get to your groups with one click. Know instantly when new email arrives
http://us.click.yahoo.com/.7bhrC/MGxNAA/yQLSAA/uBfwlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

_____________________________________________________________

Keluarga Besar Mahasiswa Siantar-Bandung (KBMSB)
kbmsb@yahoogroups.com
http://groups.yahoo.com/group/KBMSB
http://www.mail-archive.com/kbmsb@yahoogroups.com

Disclaimer : Isi tanggung jawab pembaca !
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/KBMSB/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke