Tanya Jawab :Menyikapi Berbagai Perbedaan 

---------
Tanya
---------

Assalamualaikum wR wB

Mengapa harus bersandar kepada keempat Imam (Madzhab) atau yang
lainnya (siapa lagi ? ), padahal dalam Alquran dan Hadist Nabi
pun sudah jelas bahwa yang harus diikuti adalah Alquran dan
Assunnah. Mohon penjelasannya.
Terima kasih

Wassalamualaikum wR wB

Rachman Sunarco

> ---------
> Jawab
> ---------
>
> Terus bagaimana sikap kita? Dalam menyikapi perbedaan-perbedaan
> pendapat tersebut, mudah saja, Anda harus memilih yang menurut
> Anda terbaik dan cocok. Boleh juga Anda berpindah-pindah
madzhab,
> tidak harus menuruti satu madzhab saja. Sesekali ikut
Syafi'iyah,
> sesekali Malikiyah, Hanafiyah, Hanbaliyah, atau bahkan selain
> keempat madzhab besar ini juga boleh. Yang penting, mana yang
> paling tepat menurut nurani Anda.


----------
Jawab
----------

Bermazhab berarti mengikuti pendapat seseorang. Jika kita
mengikuti Imam Syafi'iy, maka kita disebut Syafi'iyah atau
pengikut mazhab Syafi'iyah, mengikuti Imam Hanafy.. Hanafiyah,
begitu seterusnya. Bahkan banyak sekali Muslim yang tak tahu
siapa imam madzhab yang diikutinya. Dia hanya mengikuti nasehat
dan petuah kiai di kampung atau desanya. Sang kiai mengetahui
ajarannya dari membaca kitab kuning. Kitab kuning dikarang atau
disusun oleh seorang alim, kebanyakannya orang Arab. Si alim ini
tidak melandaskan pada hasil ijtihad murninya, namun masih
mengikuti pendapat imamnya. Kalau imamnya seorang Syafi'iy
disebutlah dia Syafi'iyah, kalau Maliki Malikiyah, Hanafi
Hanafiyah dst. Begitulah kebanyakan jaringan intelektual yang
terbentuk di Indonesia. Kebanyakan muslim di Indonesia berada
pada susunan yang ketiga bahkan keempat. Karena mayoritas
kitab-kitab yang dipedomani para ulama adalah karangan para ulama
yang berhaluan Syafi'iyah, terang saja mereka disebutlah
Syafi'iyah. Walaupun kebanyakan mereka tidak tahu mengapa
melakukan doa qunut di salat Subuh, mengapa salat tarawih 20
raka'at tidak 8 raka'at, mengapa harus membatalkan wudlu setelah
bersentuhan dengan perempuan (bukan mahram), dll. Kebanyakan
mereka "pasrah bongkokan" (taklid) kepada kiainya. Apa kata kiai
harus dita'ati. Orang-orang yang pada tingkatan ini biasa disebut
sebagai taklid buta. Karena tak mengetahui apa dasar/dalil dari
Quran dan Sunnah sebuah tindakan. Tak mau tahu apa dasarnya, yang
penting kiainya mengatakan A maka ia harus melakukan persis A.
Itulah taklid.

Sikap taklid pada dasarnya boleh-boleh saja, namun yang lebih
terpuji adalah taklid disertai dengan mengetahui dalil/dasar
tindakan yang ia ikuti. Lebih terpuji lagi bila ia mengetahui
mengapa ia harus taklid yang ini, kok bukan yang itu, melakukan
perbandingan dipilih mana yang lebih unggul (rajih). Dan lebih
terpuji lagi bila mampu menggali hukum (istinbath) langsung dari
sumbernya (Quran dan Sunnah) walaupun masih mengikuti
fomula-formula atau metoda (ushul fiqih) orang lain. Dan tentu
paling terpuji jika berijtihad murni berdasar rumus-rumus yang ia
ciptakan sendiri.

Tapi apakan semua orang bisa mencapai tingkatan yang tertinggi?
Tentu tidak bukan. Semua orang memang dituntut, kalau bisa,
berijtihad sendiri, tapi apakah hal itu mungkin terjadi nyata?
Bagaimana seorang karyawan harus menongkrongi kerjaannya, petani
harus rajin ke ladang, penyiar harus menyiapkan dan menyampaikan
laporan-laporan tepat waktu, polisi harus sigap berjaga, dll.
Semuanya merupakan tugas harian. Lalu kapan membaca dan mengkaji
sebuah pemikiran? Mungkinkah?

Tingkatan-tingkatan itu semua tentu hanya berlaku bagi kalangan
yang bertugas. Siapa? Ya para kiai dan ustad itu.
Tingkatan-tingkatan itu tidak berlaku lagi bagi selain kiai dan
ustad. Yang lain tetaplah jadi karyawan yg baik, polisi yang
sigap, penyiar yang disiplin, dst. Semuanya tetap pada tugas
masing-masing. Namun demikian, jangan terus beranggapan kiai dan
ustad lebih berhak masuk sorga daripada polisi, karyawan, guru
SD, dll.

Kalaupun semua orang itu beragama, dan para kiai itu bertugas
menuntun bagaimana beragama yang baik, itu tidak serta merta
menunjukkan bahwa kiai lebih "beragama" dari orang lain. Kalaupun
semua orang ingin masuk sorga, dan para ustad berkewajiban
menunjukkan jalannya, itu tidak serta merta berarti para ustad
mesti barisan pertama yang akan masuk sorga. Semuanya saling
membutuhkan. Kiai butuh makan, dengan demikian berarti butuh
petani. Petani butuh pupuk, otomatis butuh pabrik dan karyawan.
Semua orang memerlukan informasi, maka ditugaskanlah para
penyiar. Teruuus berputar saling membutuhkan.

Dari gambaran di atas, relakah seorang polisi, penyiar, karyawan,
dll dianggap tersesat atau setidaknya menempati posisi terakhir
saat masuk sorga kelak, karena tidak mampu berijtihad? Tentu
tidak bukan.

Jika demikian, apa yang paling berharga dan mampu mendekatkan
diri kepada Tuhan, sehingga kita tidak akan tersesat menuju
sorga? Jawabnya, tiada lain adalah keikhlasan. Karena kedekatan
seorang hamba dari Tuhannya tergantung pada kadar keikhlasannya.
Keikhlasan adalah kesadaran pada diri sendiri, pengetahuan akan
diri sendiri, penghargaan dan rasa kasihan dan sayang atas diri
sendiri. Jika kita seorang polisi, sadarlah sebagai polisi. Sadar
berarti mengetahui apa tugas kita dan melaksanakannya dengan baik
dan ikhlas. Dalam beragama, cukup kita mengikut apa kata orang
yang bertugas, yaitu para kiai dan ustad, dan melakukannya dengan
ikhlas. Itulah yang disebut mengetahui, mengasihani dan
menghargai diri sendiri. Begitu juga yang penyiar dan karyawan.

Terus di mana posisi kiai? Kiai, hendaknya diterjemahkan sebagai
profesi bukan sebagai atribut yang berarti kesalehan. Sebagaimana
layaknya sebuah profesi, ia bisa saja mengalami penyalahgunaan,
penyelewengan, dan hal-hal yang tak terpuji lainnya. Kiai adalah
orang yang paham ilmu-ilmu agama. Itu saja. Karena paham
seluk-beluk beragama, tentu tugas dia menunjukkan bagaimana
beragama yang baik. Dengan demikian, tidak mungkinkah seorang
kiai melakukan penyelewengan? Sangat mungkin. Di saat dia tidak
menghargai dirinya sendiri, tidak mengenali dan menyayangi
dirinya sendiri, maka dia berpotensi melakukan kesalahan dan
penyelewengan. Segala tindakannya disangkutkan dengan materi. Dia
tidak lagi merdeka karena kemerdekaannya telah diinjak-injak dan
dijajah oleh materi. Begitu juga kiai dan ustadz yang menjadikan
fikih, ushul fikih, dll sebagai tujuan akhir. Yaitu kiai dan
ustadz yang terikat pada teori-teori fikih dan ushul fikih yang
diaketahuinya. Kiai dan ustadz seperti ini akan mudah menyesatkan
orang lain yang tidak seide dengannya.


Arif Hidayat





Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh 
manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya 
adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. 
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu 
wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang 
tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas 
yang engkau mampu. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/keluarga-islam/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke