Fotomodel Plyaboy juga merasa "terhormat" kendati mereka seperti hewan di 
majalah playboy...

Wassalam,
Anto


----- Original Message ----
From: humaeroh <[EMAIL PROTECTED]>
To: keluarga-islam@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, February 14, 2007 4:18:26 PM
Subject: Re: [keluarga-islam] Terhormat Meski Tanpa Jilbab

???????????? ????????? ???


 
----- Original Message ----- 
From: Ananto 
To: keluarga-islam@ yahoogroups. com 
Sent: Wednesday, February 14, 2007 4:09 PM
Subject: Re: [keluarga-islam] Terhormat Meski Tanpa Jilbab


tapi kalau disuruh milih, saya milih yg berjilbab lho... jangan kuatir... :))
 
salam,
ananto

 
On 2/14/07, SPSI K1 <[EMAIL PROTECTED] co.id> wrote: 
Oke Bos ananto...Bukan bos gila loh...
Matur nuwun,Terima kasih,atas masukannya.sok mangga dilanjut obrolannya.
----- Original Message ----- 
From: Ananto 
To: keluarga-islam@ yahoogroups. com 
Sent: Wednesday, February 14, 2007 11:18 AM
Subject: Re: [keluarga-islam] Terhormat Meski Tanpa Jilbab

 
saya menghargai anda jika memakai jilbab atas dasar keimanan sampeyan... jika 
sampeyan meyakini bahwa memakai jilbab itu wajib, silahkan dipakai dan 
digunakan serta "diamalkan"
 
tapi,
jangan menyalahkan yg tidak memakai jilbab, karena berkeyakinan bahwa memakai 
jilbab itu "tidak wajib"
 
salahkan yg suka berbusana "mengundang" ... dan sekali lagi concern saya, tidak 
memakai jilbab itu harus yg "mengundang"
 
salam jilbab,
ananto

 
On 2/13/07, SPSI K1 <[EMAIL PROTECTED] co.id> wrote: 
Mas ananto dan Eroh si pipi kemerah merahan kalo kepanasan...
 
saya sedikit punya cerita dulu ketika pelajaran agama sekolah saya di terangkan 
oleh guru saya bahwa penghuni neraka itu kebanyakan adalah wanita dan karena 
kebanyakan wanita tidak menutup auratnya alias tidak berjilbab,bener ga yah ? 
Ketika saya memutuskan berjilbab seharusnya saya tidak perlu minta restu suami 
saya karena saya tahu jilbab itu wajib tetapi sebagai istri yang baik apapun 
yang ada di diri saya, suami saya harus tahu dan ketika suami saya bilang bila 
saya ingin pakai jilbab ya pakai saja asal jangan cuma ikut-ikutan mode atau 
lagi ngetrend 
segala sesuatu yang diperintahkan Allah untuk umatnya berarti itu kebaikan 
untuk umat itu sendiri.
Seperti layaknya cerita di koran-koran mengenai wanita muslimah yang ingin 
memakai jilbab di lingkungan publik khususnya ditempat kerja jilbab itu selalu 
jadi masalah dan ketika banyak wanita muslimah mengorbankan penghasilan dan 
kerjaan mereka karena mereka hanya ingin mempertahankan perinsip mereka untuk 
tetap memakai jilbab.dan itu introfeksi untuk diri saya sendiri.
Ketika saya memakai jilbab ada yang bilang jilbab yang saya pakai hanya 
menutupi kecantikan saya.
dan ada yang bilang saya pakai jilbab mau ikut festival.
Dan ada yang bilang saya terlalu muda untuk memakai jilbab karena fenomena yang 
ada ditempat saya jilbab itu hanya untuk kaum ibu saja.
tapi itulah godaan buat saya segala sesuatu butuh proses dan saya sangat 
menikmati masukan dari mereka semua.
Nikmat mana lagi yang Allah berikan kepada saya yang saya pungkiri.
Di beri punya suami yang baik
Di beri anak yang sehat
Di Kesehatan
Di beri Pekerjaan
dll......... .. 
kalo di sebutin ga kehitung banyak nikmat dan rahmat Allah yang diberikan 
kepada saya dan saya hanya bisa menangis dan menangis betapa saya yang bodoh 
dan hina ini masih di beri kesempatan untuk melihat orang-orang yang saya 
sayangi sampai detik ini. 
 
Salam
 
 
----- Original Message ----- 
From: Ananto 
To: keluarga-islam@ yahoogroups. com 
Sent: Tuesday, February 13, 2007 1:45 PM
Subject: Re: [keluarga-islam] Terhormat Meski Tanpa Jilbab

 
hehehe...
nyantai aja bos... beda menafsirkan aja koq.. :))
 
sampeyan menanyakan bagaimana pandangan gusti allah? jawabannya jelas: wallahu 
a'lam... :)
 
salam,
ananto

 
On 2/13/07, Raflis amin <aminraflis2000@ yahoo.com > wrote: 
Ah memang manusia ini paling pintar untuk berdalih. Mungkin yang dimaksud 
terhormat disini adalah dari pandangan manusia. Tapi bagaimana dengan pandangan 
ALLAH SWT ???????????? ????????? ????????? ????????? ???????? 


Ananto <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
Terhormat Meski Tanpa Jilbab 
Najwa Shihab punya prinsip sendiri tentang jilbab. Bagi dia, hati "berjibab" 
lebih baik daripada sekadar jilbab kepala. 
 
Profil, Maret 2005
TAK SULIT menjumpai Najwa Shihab. Hampir saban hari dia muncul di stasiun 
MetroTV. Selama kariernya di televisi itu, yang paling mengharukan saat Nana, 
sapaan karibnya, melaporkan kondisi Aceh pasca-Tsunami akhir Desember lalu. 
Awal mula dia memberi laporan, meski tampak tegar tapi akhirnya tak kuasa 
menahan linangan air mata. Nana menangis. 

Saat bertolak ke Aceh, 27 Desember, Nana berniat menggelar talkshow Today's 
Dialog di sana. Nana, yang juga co-produser program itu, sebenarnya telah 
mempersiapkan talkshow lengkap dengan krunya. Tapi, karena keterbatasan sarana, 
hari pertama Nana melaporkan hasil liputannya cuma via telepon. Laporan 
langsung lewat satelit baru bisa dilakukannya hari kedua. 

Turun dari pesawat rombongan wakil presiden di Blang Bintang, Banda Aceh, Nana 
belum merasakan atmosfer kematian. Dia mencium bau anyir darah baru setelah 
sampai di Lambaro, Aceh Besar. Di daerah inilah dia melaporkan kondisi yang dia 
lihat. Mayat-mayat berserakan. Orang yang masih hidup pun terlihat bingung. 
Mereka mencari keluarga dan sanak saudara. Nana mengatakan, belum pernah 
melihat orang sedemikian putus asa. Saat itulah Nana melakukan reportase 
diiringi tangisan. 

Di sana Nana hanya lima hari. Tanggal 31, bersama rombongan wakil presiden dia 
kembali ke Jakarta. Pekan pertama setelah peristiwa, dia belum mendengar isu 
kristenisasi. "Isu kristenisasi setelah saya di sini, waktu saya di sana tidak 
terdengar. Memang ada Worldhelp yang konon mengajak anak-anak keluar Aceh," 
ungkap putri kedua Quraish Shihab itu. 

Di sana, kata Nana, banyak sekali isu yang berkembang, karena tak ada komando, 
tak ada pusat informasi yang jelas. Komunikasi lumpuh. Jadi orang gampang 
sekali diprovokasi oleh berbagai isu. Menurut dia, kalau memang kristenisasi 
ada itu sangat tercela. Dalam kondisi darurat orang masih sempat mengurusi 
agama. "Tapi saya percaya, orang Aceh tidak semudah itu berubah keyakinan, 
hanya karena diberi bantuan," ujarnya. 


LIPUTAN lima hari itu tak sia-sia. Berkat liputannya itu, pada 2 Februari 2005 
lalu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberi penghargaan PWI Jaya 
Award. Menurut sekretaris PWI Jaya Akhmad Kusaeni, liputan Nana dan presenter 
teve-teve lain betul-betul telah membuat Indonesia menangis. 

Bukan hanya PWI Jakarta yang menganugerahi Nana, pada Hari Pers Nasional (HPN) 
yang dilangsungkan di Pekanbaru, Riau 9 Februari lalu, Nana meraih penghargaan 
HPN Award. PWI pusat menilai, Najwa Shihab adalah wartawan pertama yang memberi 
informasi tragedi tsunami secara intensif. 

Pujian untuk Nana pun meluncur dari pakar komunikasi dari Universitas 
Indonesia, Effendy Gazali. Dia menyitir judul film drama komedi terkenal 
Amerika, Kramer Vs Kramer yang dianalogikannya menjadi "Shihab Vs Shihab". 

Shihab pertama adalah Najwa Shihab, kedua Alwi Shihab, yang masih punya 
hubungan saudara dengan Nana. "Najwa mengkritik penanganan bencana yang 
dilakukan pemerintah yang diwakili oleh Menko Kesra Alwi Shihab," kata Effendy 
Ghazali. Dalam reportasenya, Najwa menyampaikan bahwa bantuan terlambat dan tak 
terkoordinasi, sementara mayat-mayat bergelimpangan tidak tertangani. 

"Shihab Vs Shihab", kata Effendy, untuk menggambarkan bagaimana Najwa Shihab 
sebagai wartawan tetap garang dalam menyuarakan kepentingan publik dan korban 
tsunami di Aceh.


WANITA kelahiran 16 september 1977 ini hidup dalam keluarga religius. Nana 
kecil, saat di Makasar, sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul, kalau 
melakukan kesalahan, sang guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah Dasar di 
Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas, Jeruk Purut, 
Jakarta Selatan, pada 1990-1993. Aktivitas sampai SMU, dipimpin ibunya, Nana 
dengan lima orang saudaranya sejak magrib harus ada di rumah. "Jadi berjamaah 
magrib, ngaji Al-Quran, lalu ratib Haddad bersama. Itu ritual keluarga sampai 
saya SMU." Setelah kuliah, karena banyak kegiatan, Nana baru boleh keluar 
setelah magrib. 

Keluarganya memang sangat memprihatikan faktor pendidikan. "Pendekatan 
pendidikan di keluarga tidak pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya rasa 
itu sangat mempengaruhi, bagaimana pola didik orang tua ke anak akan 
mempengaruhi perilaku," ujarnya. 

Pendidikan, bagi keluarga Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa ditawar-tawar. 
Dulu waktu kelas dua SMU, Nana dapat kesempatan AFS (America Field Service), 
program pertukaran pelajar ke Amerika. Sempat keluarga menolak karena harus 
melepas selama setahun anak cewek yang baru usia 16 tahun tinggal di keluarga 
asuh. "Sempat terjadi perdebatan keluarga. Waktu itu yang paling mendukung ayah 
saya. Apa pun untuk pendidikan akan diperbolehkan, dalam usia itu pun beliau 
sudah memberikan kepercayaan, walaupun di sana dia sudah dibekali agama, mereka 
percaya shalatnya tidak akan ditinggal. Dan alhamdulillah saya bisa menjaga 
kepercayaan itu," cerita Nana. 

Quraish Shihab, pakar tafsir itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang santai. 
"Seneng joke-joke Abu Nawas, ketawa-ketawa, " kisahnya. Jadi beliau, kata Nana, 
membebaskan pilihan kepada anak-anaknya untuk sekolah ke mana saja. 

Tidak hanya persoalan pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang bapak 
untuk menentukan pasangan hidupnya. "Bahkan saat saya memutuskan untuk nikah 
muda, 20 tahun, ayah memberi kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah 
selesai." Menjelang pernikahan, kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena 
pengalaman kakak yang nikah saat usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi sebelum 
itu mereka sekeluarga umroh dulu. "Di sana ayah bertanya, 'udah mantep?' saya 
jawab, 'udah'. Ya sudah diizinkan," tutur Nana. 


KENDATI dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. 
Menurut Nana, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga 
tidak apa-apa. "Saya sih seperti itu dan saya percaya itu." 

Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. 
Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat 
terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal itu. Menurut Nana, 
yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan 
jilbab. "Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab," ucapnya. 

Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. 
"Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, 
membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada 
yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang: ya insyaallah 
mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok." 

Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai 
jilbab, mungkin suatu saat. "Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban 
atau beban untuk berjilbab," katanya, "Karena sejauh saya bisa menjalankan 
kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak." 

Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. 
Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang 
benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, 
tanpa ragu Nana akan memakainya. "Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti 
kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. 
Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu," ujarnya. 
 
[Banani Bahrul-Hassan, Imam Shofwan]




Cheap Talk? Check out Yahoo! Messenger's low PC-to-Phone call rates. 










 
____________________________________________________________________________________
Need Mail bonding?
Go to the Yahoo! Mail Q&A for great tips from Yahoo! Answers users.
http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396546091

Kirim email ke