muhammad kiran <as_shaft.............> wrote:
   
  Pautan dua cinta yang terikat kuat antara ibu dan anak sepertinya takan 
pernah putus. Tetapi kekokohannya bukan tidak mungkin usang dan kendur. Dan 
selalu anak yang mengendurkan tali kasih itu. Ibu, rasanya terlalu mulia untuk 
dituduh mengusangkan kekokohan pautan cinta suci yang berakar di hatinya. 

Ibu tidak pernah mengumbar janji untuk menyayangi anaknya. Derai air mata dan 
cucuran peluhnya jauh lebih nyaring mengatakan "sayang" ketimbang janji manis 
atau bahkan omelannya ketika si anak berulah. Baginya cinta dan sayang selalu 
ada untuk anak-anaknya, hingga ia tak perlu lagi janji, karena janji hanya 
untuk sesuatu yang belum tersedia. 

Tetapi terkadang janji adalah suara sehari-hari yang sampai ke telinga seorang 
ibu dari mulut anak-anaknya. Dan sering kali janji itu jauh lebih memekakan 
telinga daripada menjernihkan mata karena melihat bukti dari janji-janji itu. 

Ada sebuah fragmen yang cukup menarik, dikisahkan pada suatu ketika seorang 
anak yang merasa sudah cukup sukses berucap janji kepada orang tua yang tinggal 
satu-satunya; ibu yang sangat disayanginya. "Ibu, kalau sudah punya cukup uang 
saya ingin sekali mengongkosi ibu naik haji." Ibunya tersenyum. Dari ujung 
matanya kristal-kristal bening meleleh. Didekapnya buah hati yang memiliki niat 
baik itu. Tanpa suara. Hanya dadanya yang bergemuruh memikul haru yang begitu 
besar. Bayangan masa-masa kecil anaknya yang menyimpan banyak kenangan manis 
lalu pun hadir. Disusul bayangan kerinduan yang sangat untuk berziarah ke 
baitullah. Dalam hatinya ia berucap, "Semoga niat sucimu terkabul, sayang." Dan 
sebuah kecupan mendarat di dahi puterinya yang cantik itu.

Waktu pun berlari menyisakan hitungan hari, hingga pada suatu saat 
keberuntungan berpihak pada puteri cantik pemilik niat baik itu. Bersama suami 
dan anak-anaknya ia kembali ke tanah air dari tugas dinas suaminya. Tentu di 
kantong keluarga kecil itu telah terkumpul cukup uang. Hal ini dipahami oleh 
sang ibu. Seketika hatinya berbunga menyambut kepulangan anak, mantu, dan 
cucunya.

Namun meski demikian, pantang bagi si ibu untuk mengungkit janji yang pernah 
diucapkan puterinya tentang naik haji itu. Ia tak ingin selaksa amalnya 
terkotori oleh sedikit pun pamrih. Namun, puterinya yang cantik itu seperti 
lupa dengan janji yang diucapkannya. Seminggu, sebulan, dua bulan, dalam hati, 
seorang bunda menunggu-nunggu anaknya yang mungkin akan memberikan buku ONH 
(Ongkos Naik Haji) atas namanya dan suaminya. Waktu pun berlalu tanpa suara, 
seperti tak berani janji kapan peristiwa itu akan terjadi. Hingga tibalah suatu 
hari, hati seorang bunda pecah dalam diam ketika anaknya itu membeli sebidang 
tanah seharga tiga kali ongkos haji untuk dibuat kolam ikan dan tempat 
peristirahatan keluarga kecilnya bila pulang ke desa.

Tak tahu sebesar apa gemuruh yang bergelombang di dada ibu, hanya dia yang tau, 
karena ia tetap tersenyum di depan semua anaknya. Tak terkecuali di depan 
puterinya yang cantik itu. Ia tak pernah menagih janji anaknya, bahkan sekedar 
mengungkit pun tidak. Tapi, entah isyarat apa ketika ikan-ikan di kolam anaknya 
tak pernah menghasilkan keuntungan. Rumah peristirahatannya pun menjadi hanya 
sebatas rumah kosong yang tidak banyak memberi manfaat. Lalu, entah isyarat apa 
ketika anak-anak yang lain yang ikut menggunakan uang anak perempuan ibu itu 
untuk berbagai usaha, tak satu pun dari mereka yang sukses. Alih-alih, sebuah 
kesalah-pahaman keluarga terjadi meretakan keharmonisan keluarga ibu yang 
diingkari janji itu.

Entah isyarat apa. Apakah itu akibat sakit hati ibu karena anaknya sendiri 
telah mengingkari janji untuknya? Hanya "mungkin" jawabannya. Karena senyum ibu 
tidak pernah berubah untuk semua anaknya; do'a ibu tidak pernah berganti untuk 
semua buah hatinya, selalu untuk kebaikan; dan pangkuan serta pelukannya selalu 
terbuka untuk seluruh belahan jiwanya. Tapi apakah seorang ibu tidak bisa sakit 
hati? itu juga pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Karena ibu juga manusia 
biasa, tapi sangat luar biasa jasanya. Terlalu mahal semua jasanya untuk 
ditukar dengan janji-janji kosong. Mungkin kekebalan hati seorang ibu telah 
mampu menyembunyikan sepedih apapun sakit hatinya, namun Allah tetaplah Dzat 
yang Maha Adil yang telah mentakdirkan Rasul-Nya bersabda: "Keridhoan Allah ada 
dalam keridhoan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah ada dalam kemurkaan Allah."

Mungkin lautan kasih sayang ibu terlalu dalam untuk sekedar menenggelamkan 
sebesar apapun kesalahan anak-anaknya hingga tak muncul kepermukaan. Tetapi 
sebagai anaknya, kita harus memahami sifat manusiawi ibu kita, bahwa beliau 
juga punya hati yang sakit jika tergores. Dan yang pasti Allah adalah Dzat yang 
Maha Adil, dan tidak pernah lupa dengan janji-janji yang tertuang dalam 
ajaran-ajaran Rasul-Nya. Jadi, berhati-hatilah memelihara janji yang pernah 
diucapkan di hadapan bunda. 

Sahabat, sayangi ibumu, ibumu, ibumu!

Wa4JJI a'lam. 

   
   
   
   
   
   
   

                
---------------------------------
Sekarang dengan penyimpanan 1GB
 http://id.mail.yahoo.com/

Kirim email ke