Rediyan Setiawan <rediyans.......> wrote: Kepada:[EMAIL PROTECTED] Dari: "Rediyan Setiawan" <rediyans......> Tanggal: Tue, 15 Apr 2008 08:51:08 +0700 Topik: Majelis Cinta: Sebuah Memoar Ta'aruf ===================================== BILA HATI RINDU MENIKAH... ayooo menikah..!! hehehehe...
salam rediyans Majelis Cinta: Sebuah Memoar Ta'aruf Oleh Dani Ardiansyah Menikah adalah salah satu resolusi hidup yang tidak pernah saya targetkan waktunya. Meski sepenuhnya sadar, bahwa selain sunnah Rasul, menikah juga secara naluriah menjadi hasrat yang paling manusiawi yang terkadang bisa jadi sangat mendesak. Tapi saya benar-benar tidak pernah menargetkannya dengan serius. Berbeda dengan Fachri (AAC), yang serius membuat peta hidup dengan target menikah. Tentu saja banyak pertimbangan yang mempengaruhi sikap saya tentang pernikahan tersebut. Hingga pada suatu saat, keputusan untuk menikah tiba-tiba saja datang tanpa banyak pertimbangan. Dan sikap saya, tentu saja berbaur. Antara rasa percaya diri dan minder, antara berani dan takut, antara ksatria dan pecundang. Yah, semuanya menjadi satu. Dan saya merasa harus melakukan sesuatu dengan perasaan itu. Saya harus menyublimasi semuanya hingga ada hasil akhir dari perang rasa itu menjadi sebuah sikap: Lahaula walaquwwata illa billah. Tentunya dengan segala prasangka baik pada Allah swt. Bahwa saya akan menjadi 'kaya' setelah menikah. Semuanya harus prosedural, ada tatanan yang tidak bisa sembarangan dilewati. Dan saya, baru saja akan memulai tatanan tersebut. Bidadari yang akan mendampingi saya adalah seorang aktivis, dan saya bisa dikatakan seorang Pasivis (istilah sendiri), Dan tidak ada pilihan, selain saya juga harus mengikuti aturan mainnya. Mulailah proses tersebut. Ta'aruf. Saya harus mengajak seseorang untuk menemani dalam proses ta'aruf tersebut. Orang tua, tidak mungkin. Mentor kajian, sibuk persiapan Pilkada DKI. Temen ikhwan, jauh-jauh. Kalo temen cowok banyak (jangan mempermasalahkan istilah ikhwan dan cowok ya). Akhirnya, satu-satunya orang yang bisa saya mintai tolong untuk urusan ini adalah Mas Epri Tsaqib. Seorang teman, sahabat, ustadz, moderator milis, dan kadanga-kadang ojek (secara saya sering nebeng motor beliau). Berangkat dari Jakarta, terminal Lebak Bulus sekitar pkl 14.00 wib. Bis meluncur lambat. Cipularang seakan tak berujung. Sudah habis topik obrolan dengan Mas Epri, saya pura-pura tidur. Mas Epri meneruskan bacaan bukunya. Dan hati, adalah badai tiada henti saat itu. Terminal Leuwipanjang sudah bersekutu dengan gelap saat kami turun dari bis. Lelah. Peregangan adalah hiburan sederhana. Perjalanan menuju tempat ta'aruf masih cukup jauh. Pecel lele adalah menu paling enak malam itu, tandas. Satu jam berikutnya kami sudah menginjakan kaki di Banjaran, tepat didepan Masjid Agung Banjaran. Udara dingin Bandung di malam hari mulai terasa. Lelah, tapi tidak menyurutkan semangat saya untuk menyelesaikan misi ini. Setelah merapikan diri alakadarnya, cuci muka untuk sekedar menyegarkan wajah. Saya memakai kemeja biru lengan panjang, celana katun hitam dan sepatu coklat. Semi formal. Mas Epri mengenakan batik lengan pendek, celana cargo hitam dengan saku berlebih dan sepatu cats putih yang tampak contras. Kami sempat tertawa, setelan yang dipaksakan matching. Seseorang menjemput kami di halaman masjid. Setelah berkenalan alakadarnya, kami segera menuju rumah yang akan memadukan perbedaan, menyepahamkan perselisihan. Majlis ta'aruf. Salam dan perkenalan mas Epri menjadi pembuka pertemuan malam itu, dilanjutkan dengan sambutan dari wakil akhwat. Pendeskripsian diri masing-masing, tak semudah membacakan curiculum vitae ternyata, mungkin ini lebih kepada rasa dan estetika komunikasi. Bukan sekedar artificial. Brand image harus terbangun malam itu. Sempat terlempar Jokes dari Mas Epri, bahwa itu adalah ta'aruf termalam yang pernah ia hadiri. Hmm, bahkan bagi saya, bukan hanya ta'aruf termalam yang pernah saya hadiri, tapi ta'aruf pertama. Ta'aruf yang saya alami tidak seperti apa yg dialami oleh fahcri dalam film AAC, kami tidak saling berhadapan, bahkan saya ada di ruangan yang bersebelahan. Dibatasi oleh dinding partisi yang setengahnya adalah kaca. Saya tidak bisa melihat langsung akhwat bicara, begitu juga sebaliknya. Meski sebelumnya, dalam pertemuan online via internet, saya sempat beberapa kali melihat wajah sang akhwat. Jadi saya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Yang saya inginkan adalah segalanya dapat berjalan lancar dan dalam koridor. Kami membeberkan segala hal tentang diri, keluarga, aktivitas, pekerjaan, hobby riwayat penyakit dan lain-lain. Dan alhamdulillah, semuanya tidak ada masalah. Semua berjalan dengan baik. Saya beruntung mengajak mas Epri yang memang sudah terbiasa menghadiri majlis ta'aruf untuk membantu adik-adiknya yang mau menikah. Terlebih, beliau juga sudah pernah mengalamai sendiri hal itu. Salam penutup dan kifaratul majlis mengakhiri pertemuan itu. Sapa hangat dan wasiat dari pihak akhwat mengantarkan kami berpamitan. Tujuan kamiberikutnya adalah Dayeuh Kolot. Rumah Paman. Halaman Masjid Banjaran yang gelap serta alun-alun kota yang lengang, seolah mengantarkan kami meninggalkan kenangan. Sepertinya malam itu saya tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Terlalu banyak hal yang harus saya pikirkan. Malam itu bukan lah sebuah akhir dari proses menuju ke sana. Melainkan sebuah awal, awal dari banyak hal yang akan saya lalui esok hari. Special thanks to Epri Tsaqib Jakarta, 9 bulan setelah malam itu. Dani Ardiansyah between 0000-00-00 and 9999-99-99 --------------------------------- Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers