Arul Cool <arul_labib....> wrote:
  http://harrymau.blogspot.com/
Rabu, 2008 April 16
Mujtahid Kesiangan!
  
 
  
Akhir-akhir ini marak bermunculan sarjana "islamic studies" yang 
mengklaim dirinya sebagai mujtahid mujaddid (pembaharu) dengan misi 
merekonstruksi bangunan ritual amaliah yang kadung baku dan telah 
menjadi sebuah naluri ibadah bagi mayoritas umat Islam. Dengan bekal 
kemampuan membaca teks arabik dan seperangkat kitab rijâl al hadîts, 
mereka menelisik hadis-hadis yang dipakai landasan beramal oleh orang 
lain yang berbeda amaliah dengan kelompoknya. Saking sibuknya, 
sampai-sampai mereka lupa bahwa di antara hadis-hadis yang biasa dipakai 
oleh kelompoknya sendiri, juga tidak lepas dari cacat dan kekurangan.

Setelah selesai melakukan penelusuran rawi, kemudian membuat rumusan 
kesimpulan sendiri, lantas dengan gagahnya mereka berseru: Hadis-hadis 
ini daif, karena di antara rawinya ada yang mudallis atau mukhtalith 
atau munkar dan sebagainya, jadi amaliah yang berlandaskan hadis 
tersebut adalah bertentangan dengan sunah!
Bahkan tidak jarang secara tegas mereka menilainya sebagai amaliah 
bidah. Padahal di sisi lain, mereka memiliki pemahaman skriptural bahwa 
setiap bidah adalah sesat, dan setiap sesat adalah masuk neraka. Jadi 
secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan 
amaliah tersebut adalah sesat dan calon penduduk neraka, naûdzubillâh! Dalam 
bahasa vulgar, seolah-olah mereka berkata, bahwa surga hanya akan diisi oleh 
orang-orang yang sepaham dengan mereka saja.

Kajian terhadap hadis merupakan sesuatu hal yang terbuka bagi siapa 
saja. Namun ketika para pelakunya ternyata tidak memiliki keahlian 
khusus, melainkan hanya berbekal kemampuan membaca teks arab, plus 
setumpuk kitab-kitab rijâl al hadîts saja, tanpa disertai pemahaman 
komprehensif terhadap ilmu ushûl al hadîts, maka kesimpulan yang akan 
dihasilkannya cenderung akan bernilai kontroversial.
Banyak kita jumpai, hadis-hadis yang telah dinilai sahih atau hasan oleh 
para pemuka ahli hadis, namun oleh mereka justeru didaifkan dengan 
berbagai alasan. Sebagai konsekuensinya, maka muncullah hukum-hukum 
baru, yang lagi-lagi kontroversial serta anomalis.

Ini disebabkan karena pola istinbath hukum yang terlalu simplistis, 
dengan kata lain, ketika suatu hadis telah dinilai daif (menurut hasil 
kajian mereka), maka secara otomatis disingkirkan dari lapangan hukum. 
Padahal masalahnya tidak sesederhana itu, selain karena memang wilayah 
hukum fikih itu jauh lebih luas dan lebih rumit dari sekedar meneliti 
dan menilai kualitas suatu hadis, juga dikarenakan penilaian terhadap 
hadis tersebut, dari awal, sudah dilakukan dengan tidak memenuhi standar 
ilmiah dari sebuah penelitian.
Ketidak-ilmiahan kualitas penelitian mereka, dengan mudah dapat 
diketahui dari kesimpulan hasil penelitiannya yang bertolak belakang 
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan para ahli hadis 
beratus-ratus tahun sebelumnya. Yaitu ahli hadis sekelas Imam Ibn Hajar 
al `Asqalâniy (773-852 H), Imam al Nawâwiy (631-676 H), Imam al Suyûthiy 
(849-911 H), dll, sebagai ulama peletak dan pengembang disiplin ilmu 
hadis, yang telah mengejawantahkan metodologi penelitian hadis, baik 
dalam bentuk teori maupun praktek. Bahkan juga bertolak belakang dengan 
hasil penelitian ulama pujaannya sendiri, seperti Ibn Taymiyah, Ibn 
Jawziy, al Mubârakfûriy, serta al Albâniy.
Seyogianya kita renungi dengan hati yang bersih ungkapan penuh 
ketawadukan dari seorang yang benar-benar ahli hadis, berikut ini:

??? ???????? ???????????? ???????? ???????????? ???????? ???????????? ??

Artinya: "Wahai para ahli fikih, kalian semua adalah dokternya, dan kami 
semua (ahli hadis) adalah apotekernya" .

Menurut riwayat `Ubaydillâh bin `Amr al Raqqiy (W. 180 H), suatu saat ia 
mengikuti al A`masy (W. 148 H) yang bertanya kepada Imâm Abû Hanîfah (W. 
150 H) mengenai beberapa masalah, dan dijawabnya dengan mudah. Saking 
heran, al A`masy bertanya kepada Abû Hanîfah: "Dari mana sumber 
jawabanmu ini?" Beliau jawab: "Dari hadis yang telah Engkau riwayatkan 
kepadaku melalui Ibrahîm dan hadis yang diriwayatkan melalui al 
Sya`biy". Karena hal tersebut, kemudian al A`mâsy berkata: "Wahai para 
fukaha, kalian semua adalah dokternya, dan kami semua (ahli 
hadis/muhadditsû n) adalah apotekernya" .

Pengumpamaan muhadditsûn dengan apoteker, serta fukaha dengan dokter, 
sungguh meninggalkan pembekasan makna yang mendalam. Apoteker yang 
tugasnya hanya sebagai pengumpul dan pemilah berbagai jenis bahan obat, 
jelas tidak bisa dan tidak boleh melampaui batas tugasnya hingga berani 
menentukan dosis dan memberikannya kepada pasen untuk membantu 
menyembuhkan suatu penyakit, itu adalah tugasnya dokter. Sama halnya 
muhadditsûn, perannya hanyalah sebatas pengumpul, penghapal dan pemilah 
berbagai hadis, tidak lebih. Adapun pekerjaan mengatur dan memilih hadis 
untuk dijadikan sebagai hujah suatu amaliah ibadah, itu merupakan bagian 
dari tugasnya fukaha.

Apoteker tidak akan tahu bahwa pasien bersangkutan penyakitnya apa? Ada 
di stadium berapa? Apa obatnya? Berapa dosis obat yang diberikannya? 
Hanya dokterlah yang memahaminya. Demikian pula muhadditsûn, ia tidak 
akan banyak tahu tentang korelasi suatu hadis dengan wilayah konteksnya, 
seberapa kuat pesan makna yang dipikulnya? Bagaimana relasi hadis 
tersebut dengan mashâdir al ahkâm lainnya? Ahli fikihlah yang 
menguasainya. Ini dikarenakan, wilayah kerja ilmiah muhadditsûn hanya 
terbatas pada satu hal, yaitu hadis, tepatnya sebagai kolektor dan 
korektor. Sedangkan fukaha, ia memiliki wilayah yang lebih kompleks dan 
jauh lebih rumit, yaitu memahami interaksi manusia dengan sejumlah 
mashâdir al ahkâm yang telah tersedia (al Quran, hadis, ijmak dan qiyas).

Dalam riwayat lain dikabarkan, Abû Yûsuf (W. 182 H) , murid sekaligus 
sahabat Abû Hanîfah, ditanya tentang suatu masalah oleh al A`masy, dan 
ia dapat menjawabnya. Kemudian al A`masy berkata: "Dari mana sumber 
jawabanmu ini?" Abû Yûsuf menjawab: "Dari hadis yang engkau riwayatkan 
kepadaku", kemudian ia membacakan hadisnya. Maka al A`masy pun berkata: 
"Wahai Ya`qûb, Sesungguhnya aku telah hafal hadis tersebut sebelum ayah 
dan ibumu bertemu, dan aku tidak memahami maknanya kecuali saat ini".

Setidaknya ada dua hal penting sebagai pelajaran dari kasus tersebut, 
yaitu: Pertama; betapa para ulama zaman dahulu, memiliki sifat tawaduk 
dan khumul (low profile) yang luar biasa, jauh dari sikap arogansi 
intelektual yang selalu berujung dengan timbulnya sifat superioritas. 
Terbukti, meskipun al A`masy itu seorang tuannya ahli hadis, yang sudah 
barang tentu memiliki integritas tinggi di bidang ilmu hadis, baik 
riwayat maupun dirayat, namun ia tidak sekonyong-konyong menarik 
kesimpulan hukum atas suatu masalah dari hadis-hadis yang sudah 
dikuasainya, melainkan ia justeru memilih meminta fatwa kepada orang 
yang memang benar-benar terkenal sebagai ahli hukum/fikih (fukaha), 
tidak peduli walau usianya jauh di bawah dirinya. Inilah profesionalisme 
yang tetap dianut dari dahulu sampai sekarang. kedua; bahwa 
profesionalitas itu cenderung dikotomis, seorang ahli hadis tidak 
menjadi jaminan akan menjelma sebagai ahli fikih yang memiliki kemampuan 
meng-istinbath hukum dari dalil-dalil yang telah dikuasainya, ini 
disebabkan sifat i`jaziyah nas-nas syarak yang memerlukan keahlian 
khusus untuk memahaminya, terlebih ketika dikaitkan dengan konteks masalah.

Kaitan dengan hal tersebut terdapat hadis sahih dari Zayd bin Tsâbit ?:

??????? ??????? ?????? ?????? ?????????? ??????? ??????? ?????? ????? 
???? ???? ???????? ??????

Artinya: "Kerap kali ditemukan orang yang mengemban ilmu fikih, namun ia 
tidak memahaminya, dan kerapkali orang yang mengemban ilmu kemudian 
menyampaikannya kepada orang lain yang ternyata lebih paham darinya".

Menurut para pensyarah, makna dari hadis tersebut adalah seorang ahli 
hadis, walaupun ia telah menghapal banyak hadis (sebagai salah satu 
sumber fikih), tapi itu bukan jaminan bahwa ia memahami hadis-hadis 
tersebut, karena memang profesinya hanya sebatas penghapal dan bukanlah 
ahli hukum yang selalu menggali aspek hukum dari suatu hadis. Ada 
kalanya juga ahli hadis tersebut paham terhadap aspek hukum dari 
hadis-hadis yang telah dihapalnya, namun tetap yang lebih memahaminya 
adalah ahlinya, yaitu fukaha.

Itu nisbah kepada orang yang benar-benar ahli hadis, apatah kata bagi 
orang-orang yang hanya mengandalkan kitab-kitab rijâl al Hadîts sebagai 
filternya? Memang kenapa? Karena di dalam kitab-kitab tersebut, selain 
kata-kata yang digunakan oleh para nâqid untuk menyifati (men-ta`dîl 
atau men-tajrîh ) para rawi, kadang memiliki makna tersendiri (tidak 
umum) tergantung siapa nâqid-nya. Sehingga memerlukan penelaahan lebih 
jauh demi menemukan maksud sebenarnya dari para nâqid. Juga tidak jarang 
ditemukan penyifatan dari beberapa orang nâqid kepada seorang rawi yang 
satu sama lain tampak bertentangan, atau bahkan sifat yang diberikan 
oleh seorang nâqid untuk seorang rawi kadang lebih dari satu sifat dan 
tampak berbeda dalam penyifatannya.

Pendek kata, dalam proses eksplorasi terhadap kredibilitas seorang rawi, 
peneliti tidak cukup dengan hanya asal mengutip dari hasil penyifatan 
yang diberikan oleh para nâqid melalui kitab-kitab rijâl, sebelum 
terlebih dahulu mendalami lebih jauh ilmunya yang telah terkodifikasi 
dalam banyak kitab ilmu hadis (ushûl al hadîts/musthalah al hadîts). 
Karena akan menimbulkan suatu kesimpulan (natijah) yang destruktif dan 
akan membentuk sebuah anomali pemikiran.

Sebagai contoh, yang menegaskan bahwa janganlah asal mengutip dalam 
melakukan penelitian terhadap kredibilitas seorang rawi, adalah ketika 
meneliti rawi yang bernama Dlamdlam bin Zur`ah. Seorang peneliti yang 
ceroboh akan secara langsung menilai beliau sebagai rawi daif (dla`îf), 
dengan alasan bahwa Abû Hâtim telah men-jarh-nya dengan pernyataan daif. 
Ia seolah-olah apriori terhadap banyaknya nâqid lain yang justeru 
men-ta`dîl Dlamdlam dengan sifat tsiqah. Alih-alih hendak bersikap 
hati-hati, namun sebaliknya justeru terjerumus dalam kelalaian.
Contoh lain, sifat lâ ba'sa bihi (?? ??? ??) umumnya disematkan kepada 
rawi yang menempati martabat keempat, sebagai sinonim dari sifat shudûq 
(????) yang berarti satu tingkat di bawah tsiqah (???), namun bagi Ibn 
Ma`în penyifatan dengan menggunakan kalimat lâ ba'sa bihi bukanlah 
demikian, melainkan justeru menunjukkan maksud tsiqah, terutama bila 
ditunjang dengan kalimat penyifatan lain yang menunjukan ke-tsiqah-an 
rawi tersebut.
Atau ketika ditemukan seorang rawi yang disebut sebagai pelaku tadlîs 
(mudallis), kadang orang bertindak simplistis dengan menerapkan pola 
silogisme: rawi mudallis berarti hadisnya mudallas, hadis mudallas 
adalah hadis daif, maka natijah/antesedenny a adalah hadis yang di antara 
rawinya mudallis berarti hadisnya daif. Sepintas alur logika tersebut 
tampak benar, namun apabila dicermati, ternyata sebenarnya tidak 
mantiqiy. Ini disebabkan kalimat dalam premis mayornya (muqaddimah 
kubrâ) belum final. Mengapa? Karena suatu hadis yang di antara rawinya 
terindikasi mudallis, tidak automatically dihukumi berstatus daif, 
berhubung seperti diungkapkan oleh Dr. Hamzah al Malîbâiy, bahwa tidak 
ada seorang pun dari ulama ahli hadis yang menganggap bahwa tadlis itu 
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan cacatnya aspek keadilan 
seorang rawi, karena pada hakikatnya tadlis itu bukanlah suatu perbuatan 
bohong. Terlebih ketika yang melakukannya adalah seorang rawi yang 
terkenal tsiqah.
Dan secara faktual, rawi mudallis itu terdiri dari beberapa martabat, di 
antaranya hanya menempati martabat tadlîs pada dua tingkat pertama, yang 
mana telah disepakati bahwa hadis-hadisnya dapat diterima dengan 
pertimbangan ia seorang Imâm, atau sangat jarang melakukan tadlis, atau 
hanya "tersangka" saja, atau hanya melakukan dari guru yang tsiqah saja. 
Dengan kata lain hadis yang diriwayatkan oleh rawi tersebut tidak dapat 
dikategorikan sebagai hadis daif.

Pantaslah Imâm al Khathîb, seorang ahli hadis berkata:

?????? ?????? ?????? ????? ????? ????? ??? ????? ?? ?????? ???? ???? 
????? ?? ???????? ????? ??? ?? ??? ???? ???? ????? ??? ?????? ??? ????? 
???????

Artinya: "Dan ragam pendapat dalam hal kritik terhadap rawi, merupakan 
sesuatu yang sangat samar dan sulit. Kadang sebagian dari mereka 
mendengar celaan/aib ringan terhadap rawi, kemudian ia berhenti 
menggunakan hujah dengan hadisnya, padalah sebenarnya apa (celaan) yang 
ia dengar itu tidak sampai mengakibatkan harus tertolak hadisnya dan 
tidak menjatuhkan keadilannya (yang paling utama)".

Perkataan Imâm al Khathîb tersebut, menambah keyakinan kita akan betapa 
peliknya dunia kritik terhadap kredibilitas rawi (dikenal dengan istilah 
jarh wa ta`dîl). Secara metaforis, melakukan penelitian terhadap 
kredibilitas rawi dengan hanya mengandalkan kitab rijâl al hadîts, 
ibarat memasuki sebuah lorong gelap yang banyak dipenuhi dengan 
labirin-labirin menyesakkan dan menyesatkan. Pada saat seperti itu, agar 
tidak terlanjur tersesat, yang diperlukan adalah pelita sebagai penerang 
jalan serta peta arah sebagai panduan jalan. Dalam hal ini, pelita dan 
petanya tiada lain adalah pendapat (qawl) ulama ahli hadis dan ilmu 
mushthalah al hadîts, dengan kata lain, sebelum memulai kegiatan 
penelitian, terlebih dahulu sang peneliti harus mau memperhatikan 
pendapat para ulama ahli hadis terhadap hadis-hadis bersangkutan, dan 
harus membekali diri dengan ilmu mushthalah al hadîts, serta jangan 
sampai tidak membaca kitab-kitab yang secara khusus mengulas sifat-sifat 
dari para nâqid itu sendiri.
Salah satu implikasi dari tersesatnya peneliti, Imâm al Laknâwiy berkata:

????? ?? ?????? ?? ??? ??? ???? ??? ?????? ???? ??? ?? ?? ??? ?? ??? 
????? ?? ???? ??? ???? ??? ???? ?????????? ???? ????? ??? ????????
Artinya: Banyak orang berkata bahwa hadis ini tidak sah dan tidak 
otentik, dari hal itu, orang yang tidak memiliki ilmu memunculkan 
sangkaan bahwa hadis tersebut palsu atau daif. Yang kesemua itu 
hakikatnya berangkat dari ketidak-tahuan (kebodohan) peneliti terhadap 
istilah-istilah yang digunakan oleh para nâqid, serta akibat peneliti 
yang tidak berada dalam posisi memahami para nâqid".

Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri, banyak sudah orang yang 
lancang menilai dlaif, atau palsu terhadap suatu hadis, bahkan 
menghukumi bidah terhadap suatu ritual, sebagai efek domino dari 
penilaian daif atau palsu terhadap hadis tersebut. Dan itu semua, tiada 
lain akibat dari ketidak-mumpunian pengetahuan mereka terhadap ilmu 
ushûl al hadîts sebagai anasir utama dalam meneliti otentisitas dan 
validitas dari sebuah hadis. Maksud hati hendak bersikap kritis, namun 
justeru anarkistis yang dituai.
Allah ? berfirman dalam surah al Najm (53:23):

???? ???????????? ?????? ???????? ????? ??????? ??????????

Artinya: "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan 
apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka".

Fallahu A`lam bi al Shawab.
   
   
   
   
   

       
---------------------------------
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! 
Answers

Kirim email ke