Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam

Oleh: KH. MA Sahal Mahfudh


Keharusan adanya pemimpin pada setiap komunitas sekecil apapun tidak
diingkari baik oleh norma sosial mau pun norma agama Islam. Manusia sebagai
makhluk sosial, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu berkumpul, bergaul
dan berinteraksi dengan sesamanya. Dalam hal ini mereka memerlukan seorang
pemimpin yang dipercaya dan mampu memimpin.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah
mengatakan, ''Apabila tiga orang keluar bepergian, maka hendaklah mereka
menunjuk salah satunya menjadi pemimpin”. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya
meriwayatkan hadits, "Tidak halal bagi tiga orang berada di padang
(sakhra') dari bumi, kecuali harus menjadikan salah satunya seorang
pemimpin.”


Kata "pemimpin" dan "kepemimpinan" berbeda, yang satu kata benda dan yang
lain kata abstrak. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan dalam konsep yang
normal. Pemimpin adalah sosok yang berwatak dan berkarakter kepemimpinan,
bahkan mampu melaksanakan tugas kepemimpinan. Meskipun demikian tidak
mustahil terjadi penyimpangan, dengan diangkatnya seorang pemimpin formal
mau pun non formal yang tidak bisa menampilkan sikap dan perilaku
kepemimpinan.


***

Bila politik dipahami sebagai kekuasaan formal, maka kepemimpinan politik
merupakan kekuatan formal untuk menjalankan kekuasaan atas anggota kelompok
kecil mau pun besar untuk mencapai tujuan tertentu. Kekuatan itu biasanya
didukung oleh mekanisme yang mapan dalam sistem kekuasaan yang dihimpun
dari berbagai komponen.


***

Ajaran Islam mengenal istilah siyasah syar'iyah dan kepemimpinan formal
disebut khilafah, imaratul mu'minin dan imamah kubro. Kalangan Syafi'iyah
mengatakan, politik harus sesuai dengan tujuan umum syari'ah Islamiyah,
yaitu memelihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Kalangan Hanafiyah
mengatakan, siyasah adalah suatu upaya memaslahatkan makhluk dengan memberi
petunjuk mereka ke jalan yang menyelamatkan di dunia dan akhirat.


Sementara itu Imam Abil Wafa' Ibnu Aqil mengatakan, siasah merupakan
perbuatan -sikap dan perilaku- yang melibatkan masyarakat, yang lebih
mendekatkan mereka kepada kemaslahatan sekaligus menjauhkan dari mafsadah,
meskipun hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang Rasul mau pun belum
pernah diwahyukan. Sedangkan Yusuf al-Qardlawy menegaskan, siyasah ialah
suatu tindakan penguasa mengenai maslahah yang dipertimbangkan olehnya.


Ungkapan-ungkapan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa apapun pengertian
tentang siyasah, ia adalah suatu paradigma yang intinya bertujuan mencapai
maslahah di dunia dan akhirat bagi masyarakat. Kemaslahatan mana mesti
diarahkan pada pencapaian tujuan umum syari’ah, dengan pengertiannya yang
luas dan dinamis, sehingga mampu mengakomodasi segala bentuk transformasi
sosial yang terjadi.

Siyasah dengan demikian tidaklah hanya terbatas pada politik yang bersifat
struktural dan formal. Tetapi lebih dari itu, ia mempunyai kekuatan dan
kemampuan mendinamisir warga masyarakat untuk bersikap dan berperilaku
politis dengan pertimbangan maslahah yang luas. Siyasah demikian akan mampu
membentuk infrastruktur yang kuat, sekaligus memperkuat suprastruktur yang
seimbang dengan kaidah fiqhiyah, bahwa kebijakan Imam atas rakyatnya harus
bergantung pada pertimbangan maslahah. Yusuf al-Qardlawi menegaskan,
politik yang adil (al-siyasah al-'adilah) bukan harus sesuai dengan
syari’at, tetapi harus tidak bertentangan dengan syari'at.


Seperti telah disebutkan, kepemimpinan formal ada yang disebut khilafah,
imaratul mukminin dan imamah kubro. Lalu ada pemimpin yang disebut
khalifah, amirul mukminin dan al-imam al-akbar. Orang pertama yang disebut
khalifah adalah sahabat Ahu Bakar karena beliau menggantikan Rasulullah
dalam memimpin agama dan politik duniawi. Atas dasar itu, beliau tidak rela
disebut khalifah Allah. Kemudian sebagian ulama dan ahli fiqih berpendapat,
tidak boleh meletakkan sebutan khalifah Allah kepada penguasa atau
siapapun. Namun ada sebagian ulama yang memperbolehkan atas dasar ayat
A1-Qur'an sebagaimana tersebut dalam kitab Nihayat al-Muhtaj.


Pada periode khalifah Umar bin Khattab, meskipun fungsi khalifah tidak
berubah, namun beliau populer disebut Amirul Mukminin. Sedangkan sebutan
imam menurut Ibnu Khaldun, adalah karena menyerupai imam shalat dalam hal
diikuti oleh para makmum.


Apapun sebutan yang diberikan kepada pemimpin, pada umumnya ia dimaknai
sebagai pemimpin tertinggi bagi suatu daulah. Para ulama dalam hal ini
mensyaratkan beberapa hal antara lain al-'adalah. Ia harus adil untuk
dirinya sendiri dalam arti tidak menjalankan kefasikan serta adil untuk
yang dipimpin, dalam arti tidak dza1im. Yang pertama, sebagaimana telah
dirinci oleh para ahli fiqih dengan berbagai pandangan, bila ia berbuat
kefasikan, bukan berarti ia harus bersih sama sekali dari perbuatan dosa.
Tidak ada manusia yang ma’shum kecuali Nabi.


Ini berbeda dengan pendapat kaum Syi'ah Imamiyah al-Ja’fariyah yang
berpendapat, Imam adalah ma'shum lahir mau pun batinnya sejak kecil sampai
mati, seperti Nabi. Pengertian adil diri di sini adalah bila ia menjalankan
kewajiban-kewajiban dirinya sendiri (furudl al-'ain) secara benar sekaligus
tidak melakukan dosa besar, serta tidak terus menerus menjalankan dosa
kecil.


***

Pengertian 'adalah untuk yang dipimpin atau untuk orang lain secara
esensial tidaklah dipertentangkan oleh para ulama. Semuanya sepakat bahwa
Imam mutlak harus mempunyai watak, sikap, perilaku dan kebijakan yang
berkeadilan terhadap rakyatnya. Mereka tidak saja menggunakan dalil-dalil
naqliyah mau pun ‘aqliyah saja, tetapi juga menggunakan dalil-dalil
'adiyah/thobi'iyah.


Keadilan seperti itu oleh bangsa mana pun merupakan norma sosial yang
mutlak dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Apala bagi seorang Imam. Ketidakadilan seorang Imam akan berdampak negatif
secara lebih luas daripada yang dilakukan oleh seseorang yang tidak
mempunyai jabatan imamah.


Di dunia ini tidak ada yang menyukai kelaliman, menerima ketidakadilan dan
menyetujui kesewenang an . Kecuali bag i mere ka yang tidak normal akal
pikirannya, meskipun mereka tak suka dituduh sebagai orang lalim, tidak
adil dan sewenang-wenang. Ini berarti, bahwa ketika seseorang menerima
jabatan kepemimpinan pada dasarnya telah menyadari adanya tuntutan 'adalah
yang tidak dapat ditawar-tawar. Hanya saja yang sering terjadi, manusia
tidak menyadari kelemahan, kekurangan dan cacat dirinya sendiri yang dapat
mempengaruhi tumbuhnya ketidakadilan.


Berbeda dengan Abu bakar Shiddiq ketika ditetapkan sebagai khalifah.
Pertama ia mengakui kekurangannya secara jujur tanpa mempertimbangkan harga
diri dan kewibawaannya. Hal ini dapat dipahami dari pidato beliau ketika
itu. "Saya telah diberi kekuasaan (tauliyah) atas kalian," kata Abu Bakar,
"Padahal saya bukan yang terbaik di antara kalian. Apabila saya benar,
dukunglah kepemimpinan saya. Tapi bila salah atau menyimpang, luruskanlah
saya. Taatilah sepanjang saya mentaati Allah dalam memimpin kalian. Tapi
bila saya berbuat ma'shiyat, maka kalian wajib tidak mentaatinya."


Sahabat Umar bin Khattab pernah mengatakan, "Siapa di antara kalian melihat
adanya penyimpangan pada diri saya, hendaklah ia meluruskannya." Salah
seorang yang mendengar ucapan beliau langsung menanggapi seraya mengatakan,
"Kalau saya melihat ada penyimpangan pada dirimu, maka saya akan
meluruskannya dengan pedangku." Kontan ketika mendengar tanggapan ini,
Khalifah Umar berujar, "Alhamdulillah bila di antara umat Muhammad ada yang
mau meluruskan penympangan Umar dengan pedangnya."


Keadilan mempunyai abstraksi yang sangat luas. Karenanya sering terjadi
perbedaan ukuran antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpinan
berpandangan, bahwa kebijakannya sudah memenuhi kaidah keadilan. Sementara
yang dipimpin menganggap kebijakannya belum adil. Dalam hal ini mekanisme
musyawarah, dialog demokratis dan terbuka antara keduanya merupakan salah
satu cara untuk mencari penyelesaian, dengan berpedoman pada standarisasi
keadilan yang telah disepakati dan ditetapkan UU.


***

Kemapanan keadaan masyarakat sering dipengaruhi oleh hubungan antara
keadilan -ketaatan- dan musyawarah. Keadilan dan ketamerupakan dua hal yang
sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, karena ketaatan pihak yang
dipimpin sering terbentuk oleh keadilan pemimpinnya. Karena ketidakadilan
pemimpin, ketaatan umat menjadi surut atau hilang sama sekali, kecuali
karena keterpaksaan yang berujung pada adanya ketaatan semu.


Hubungan simbiosis antara keadilan dan ketaatan bukanlah sifat alamiah yang
bisa terjadi dengan sendirinya, akan tetapi tergantung pada
komitmen-komitmen tertentu yang disepakati kedua belah pihak yang memimpin
dan yang dipimpin. Komitmen-komitmen itu akan muncul tergantung pada
mekanisme musyawarah dan dialog. Itulah sebabnya Sayyid Quthub mengatakan,
“Keadilan, ketaatan dan musyawarah, sangat mendasar bagi kepemimpinan
politik dalam Islam.”


Paradigma keadilan dengan demikian selalu berbeda-beda berdasarkan sasaran
berbeda. Keadilan ekonmi tentu berbeda dengan keadilan politik, berbeda
pula dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Begitu pula batas-batas keadilan
akan berbeda-beda atas dasar perbedaan hak dan kewajiban.


Sedangkan hak dan kewajiban setiap individu mau pun jama'ah akan bergantung
pada perkembangan status sosialnya. Dalam komunitas keluarga misalnya,
mula-mula suami isteri mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Ketika lahir
seorang anak, status keduanya berubah dan berkembang menjadi ayah dan ibu,
hak dan kewajibannya bertambah pula. Begitu pula keadaannya ketika ia
mengangkat seseorang dalam keluarga sebagai pembantu. Statusnya menjadi
majikan yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu pula. Dan seterusnya,
ketika misalnya suami tersebut dipilih menjadi ketua RT, Kepala Desa dan
sebagainya.


Kesadaran dan kemampuan manajemen mengaplikasikan hak dan kewajiban secara
seimbang atas dasar kejujuran, keamanatan dan solidaritas yang kuat,
merupakan dorongan yang kuat untuk menumbuhkan sikap, perilaku dan
kebijakan yang berkeadilan bagi pemimpin.


Imam al-Razi dalam tafsirnya menyitir sebuah hadits yang menegaskan posisi
al-'adlu berada di antara alshidqu dan al-rahmah. Dr Muhammad Abdul Qadir
Abu Faris dalam kitab al-Nidhom al-Siyasi fi al-Islam menegaskan, keadilan
pada hakikatnya adalah al-shidqu dan al-rahmah.


Keadilan berarti menegakkan kebenaran dan kejuuran, serta belas kasih dan
solidaritas. Dan bahwa kemaslahatan umat bergantung pada al-shidqu,
al-'adlu dan al-rahmah. Risalah Rasulullah adalah rahmatan li al-‘alamin.
Semoga kita selalu mendapat rahmat Allah. []


***

Kepustakaan:

1. Tafsir Imam Razi
2. Al-Fajru al-Shodiq - Afandi Shidqi
3. Al-Islam Baina al-‘Ulama wa al-Hukama’ - Abdul Aziz Al-Badry.
4. Al-Ahkam al-Sulthoniyah - Al-Mawardy
5. Al-Ahkam al-Sulthoniyah - Abu Ya'la Al-Hanbali
6. Al-Nidhom al-Siyasi fi al-Islam - Dr. M. Abd. Qadir Abu Faris
7. Al-Isti'anah Bighoiri al-Muslimin fi al-fiqih al-Islamy - Dr. AbdulLah
bin Ibrahim Al-Thuraifi
8. Al-'Adalah a1-Ijtima’iyah fi al-Islam - Sayid Quthub
9. Syari’at al-Islam - Dr. Yusuf Qardlawy
10. ‘Idhatu al-Nasyi'in - Musthafa al-Ghulayaini
11. Al-Hasyiyah - Al-Bujairamy
12. Al-Watsaiqu al-Siyasiyah - M. Humaidullah
13. Al-Asybah wa al-Nadha'ir - Imam Suyuthi
14. Al-Siyasah al-Syar’iyah - Ibnu Taimiyah
15. Nihayah al-Muhtaj - Imam al-Ramly
16. Al-Muqaddimah – Ibnu Khaldun

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta:
LKiS), dengan judul "Penguasa yang Adil. Judul "Kepemimpinan Politik Yang
Berkeadilan Dalam Islam" merujuk pada makalah asli sebagaimana pernah
disampaikan pada halaqah Fiqih Nashbu al-Imam (Kepemimpinan yang
Berkeadilan) yang diselenggarakan oleh P3M, RMI dan Pesantren Ali Maksum
Krapyak Yogyakarta, 3-5 November 1992. Judul asli Kepemimpinan Politik Yang
Berkeadilan Dalam Islam.



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke