Mengubah Mental Kuli


[image: Mengubah Mental Kuli]



Judul                : Entrepreneur Radikal

Penulis             : Muhammad Ridlo Zakrasyi

Penerbit            : Renebook, Jakarta

Terbitan            : Pertama, Desember 2013

Tebal                : 329 halaman

ISBN                 : 978-602-19153-9-4

Peresensi          : M Kamil Akhyari, guru SMPI Nurul Ishlah dan SMK Nurul
Huda, Kecamatan Bluto, Sumenep



Secara ekonomi, Indonesia masih jauh untuk dikatakan negara maju.
Indikatornya, jumlah pengusaha sebagai fondasi perekonomian negara masih
hanya 0,3 persen. Sementara syarat awal menjadi negara maju, harus memiliki
pengusaha minimal 2 persen dari jumlah penduduk.


Meskipun tak ada yang membantah negara tetangga pernah belajar ke
Indonesia, namun dari sektor ekonomi, Indonesia hari ini kalah jauh.
Malaysia, misalnya, telah memiliki pengusaha sebesar 3 persen, Singapura 7
persen, Cina 10 persen, apalagi Amerika Serikat 12,5 persen (Ahmad Rifa'i
Rif'an, Muda Kaya Raya Mati Masuk Surga: 2013).


Muhammad Ridlo Zarkasyi menengarai belum tumbuhnya semangat berwirausaha di
Indonesia disebabkan: pertama, mental kuli bangsa sebagai efek psikologis
dari puluhan tahun dijajah oleh bangsa imperialis. Kedua, stereotip
masyarakat yang belum menjadikan entrepreneurship sebagai profesi bergengsi
(hlm. vii).


Efek psikologis yang ditanamkan penjajah membekas terhadap etos kerja
masyarakat hingga saat ini. Mental kuli membuat masyarakat terkungkung dan
takut untuk keluar dari zona nyaman. Walau memang setiap orang mencari
kesenangan dalam hidup, namun "kenyamanan" itu justru menjerumuskan ke
dalam kemiskinan.


Ditambah lagi stereotip masyarakat Indonesia tentang pekerjaan sebagai
wirausaha yang masih dianggap sepele dan tidak menjanjikan ketimbang jenis
pekerjaan yang lain. Meski di negeri ini peluang bisnis sangat besar dan
belum banyak yang menggarap, namun yang tertarik belum banyak. Bahkan
masyarakat lebih tertarik jadi kuli di luar negeri dengan menjadi TKI
daripada menjadi raja di negeri sendiri dengan memulai wirausaha.


Antrean menjadi pengusaha memang tak sepanjang antrean jadi pegawai negeri
sipil (PNS). Stereotip menjadi pengusaha belum bergengsi seperti bekerja di
kantoran. Tak heran jika semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tidak
tertarik untuk berwirausaha.


Survey angkatan kerja nasional (Sakernas BPS tahun 2004 mengeluarkan hasil
penelitian, sarjana yang pekerjaannya mandiri 5,85% dan tidak tamat SD
20,8%, sementara sarjana yang menjadi karyawan 83,1% dan yang tidak tamat
SD 8,9%.


Tampaknya, stigma tersebut masih langgeng hingga saat ini. Hal itu
didasarkan pada angka pengangguran lulusan perguruan tinggi yang mengalami
tren kenaikan. Dalam tiga tahun pengangguran meningkat mencapai 26 persen.
Pada tahun 2004 jumlah penganggur sarjana sebanyak 585.358 orang, sementara
pada 2007 mencapai 739.206 orang (hlm. 13).


Fakta di atas menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah tak cukup hanya
memberikan pendidikan secara merata tapi bias. Untuk menjadi negara maju
kualitas SDM perlu ditopang skill yang mumpuni sehingga bisa menjadi mitra
industri. Institusi pendidikan jangan lagi jadi penyuplai beban bangsa,
tapi harus menjadi pekerja siap pakai.


Untuk mencapai hal itu tentu tidak cukup menggalakkan wacana kewirausahaan
dan memperbanyak distribusi bantuan, tapi juga harus dibarengi dengan
upaya-upaya mengubah mindset. Selama pola pikir kuli warisan penjajah masih
melekat, untuk memenuhi 2 persen pengusaha sebagai syarat negara maju
tampaknya masih butuh waktu cukup lama.


Buku Entrepreneur Radikal bagian dari ijtihad mengubah pola pikir itu.
Kesadaran pembaca digugah sehingga terdorong untuk menjadi wirausaha secara
radikal. Wirausaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan total, bukan
sebagai ajang coba-coba apalagi pelarian, sehingga tak goyah menghadapi
tantangan bisnis.


Namun demikian, pelaku usaha juga perlu membaca buku setebal 329 itu.
Sakrenas BPS tahun 2004, yang merupakan putra pendiri pesantren Gontor,
berbagi pengalaman inspiratif seputar dunia usaha. Dalam beberapa bagian
diuraikan solusi-solusi taktik mengatasi tahapan-tahapan krisis dalam
bisnis yang pasti dialami setiap pelaku usaha. Dengan belajar dari
pengalaman orang lain, kita bisa mengantisipasi dan meminimalisasi
guncangan usaha. []



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke