Peran Kiai As'ad dalam Perebutan Senjata Belanda





[image: Peran Kiai As'ad dalam Perebutan Senjata Belanda]




Judul                : K.H.R. As'ad Syamsul Arifin, Kesatria Kuda Putih
Santri Pejuang


Penulis             : Ahmad Sufiatur Rahman


Penerbit            : Tinta Medina, Solo


Terbitan            : Pertama, Mei 2015


Tebal                : XXXVIII+210 halaman


ISBN                 : 978-602-72129-7-8


Peresensi          : M. Kamil Akhyari, *kader muda NU, pecinta buku sejarah*






Pada tahun 2014, Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf membuka tapak tilas dalam
rangka menyusuri jalur perjuangan KH. R. As'ad Syamsul Arifin melintasi 100
desa untuk berebut senjata Belanda di gudang mesiu Desa Dabasan Bondowoso
pada tahun 1947. Tak kurang dari 4000 peserta mengikuti kegiatan tersebut.
Pada 2002, Gus Dur membuka acara tersebut. Diikuti sekitar 5000 santri
Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo.




Memang Kiai As'ad memiliki peran penting dalam merebut senjata Belanda.
Beliau turun langsung berbaur dengan bromocorah yang menjadi binaannya
(disebut Pelopor) memimpin perebutan senjata sambil berpuasa pada 20 Juli
1947 untuk mendukung perlawanan gerilyawan atas agresi militer Belanda.




Para Pelopor sebenarnya meminta Kiai As'ad untuk tidak turun langsung ke
dalam hutan. Mereka khawatir terkena serangan Belanda. Namun, beliau bukan
tipe orang yang suka duduk manis di atas kursi melihat orang lain bekerja.
Beliau bersikeras ikut serta merebut senjata dan siap berperang melawan
Belanda.




Kiai As'ad menyadari cinta tanah air bagian dari iman, dan pentingnya
sebuah tanah air untuk mengamalkan ajaran agama. Agama tanpa tanah air
sulit untuk direalisasikan. Sementara tanah air tanpa agama akan amburadul.
Keduanya ibarat sebuah mata uang, sisi yang satu dengan yang lain tak bisa
dipisahkan.




"Perang itu harus niat menegakkan agama dan *'arebbuk negere* (merebut
negara), jangan hanya '*arebbuk negere*! Kalau hanya *'arebbuk negere,*
hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan
membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk
surga" (hlm. 138).




Demikian motivasi yang Kiai As'ad tanamkan kepada para Pelopor. Dengan
motivasi itu, para Pelopor semangat menyusuri jalan cadas nan berbatu
menanjak melintasi 100 desa, dan tak takut mati untuk memperoleh senjata
demi mempertahankan tanah air sebagai bentuk pengamalan orang beriman.




"Kalian tidak boleh mundur. Kalau mati, akan syahid dan masuk surga. Namun,
jika lari ke belakang, kalian akan meninggal dalam keadaan kafir," *dawuh *Kiai
As'ad kepada para Pelopor sebelum berangkat merampas senjata Belanda (hlm.
107).




Misi mengambil senjata tak mengalami hambatan berarti, namun satu anggota
Pelopor tewas. Anggota Pelopor berhasil mengambil 24 senjata api dan
amunisi, termasuk senapan jenis bren, sten gun, lee enfield, mortir, light
machine gun, serenteng peluru tajam, dan granat (hlm. 136-137).




Sementara pesantren Salafiyah Syafiiyah menjadi tempat berlindung dan
menyusun strategi para gerilyawan. Sehingga, pasukan Belanda menggerebek
pesantren untuk mencari gerilyawan dan senjata. Bahkan, pesantren hendak
dibom karena dinilai membahayakan tapi pesawatnya meledak terlebih dahulu
di udara, sementara gerilyawan berhasil kabur dari pesantren termasuk Kiai
As'ad.




Namun, ada penyusup dan yang dipandu oleh orang dalam Pesantren Sukorejo
sendiri yang berkhianat. Penggerebekan pesantren menjadi ajang fitnah di
media dan Kiai As'ad dituduh melakukan makar pada NKRI dan terlibat dalam
DI/TII. Akhirnya Kiai As'ad menjadi tahanan politik selama enam bulan. Kiai
As'ad kembali ke Sukorejo tahun 1954.




Buku K. H. R. As'ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang
membawa imajinasi pembaca menyusuri perjuangan Kiai As'ad mulai merebut
senjata Belanda hingga kembali ke Sukorejo setelah dipenjara. Penting
dibaca negeri muda di tengah lunturnya rasa memiliki terhadap tanah air.




Berbeda dengan buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat (LKiS, 2013) dan Sang
Pelopor (Pena Salsabila, 2014) yang penulisnya menggunakan pendekatan non
fiksi sehingga harus menggunakan bahasa ilmiah, Ahmad Sufiatur Rahman
menulis dalam bentuk fiksi sejarah. Buku setebal 210 halaman jauh dari
membosankan layaknya buku sejarah pada umumnya. []






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke