Belajar dari Kiai Pelukis Lambang NU





[image: Belajar dari Kiai Pelukis Lambang NU]




Judul                : Kiai Ridlwan Abdullah; Peran dan Teladan Pelukis
Lambang NU


Penulis             : Abdul Holil


Penerbit            : Pustaka Idea


Terbitan            : I, 2015


Tebal                : xvii + 88 hlm


ISBN                 : 978-602-72011-6-12


Peresensi          : M Ichwanul Arifin, *mahasiswa UIN Sunan Ampel
Surabaya/Kader PC IPNU Kota Surabaya*






*“Jangan takut tidak makan kalau berjuang mengurus NU. Yakinlah! Kalau
sampai tidak makan, komplainlah aku jika aku masih hidup. Tapi kalau aku
sudah mati, maka tagihlah ke batu nisanku!”*




Wasiat di atas merupakan wasiat yang cukup populer di kalangan warga NU,
wasiat tersebut merupakan pesan yang ditujukan kepada para penerus
perjuangan NU agar selalu serius dan yakin dalam menjalankan roda
kekhidmatan tanpa merasa takut akan ancaman kelaparan. Wasiat tersebut
disampaikan oleh KH Ridlwan Abdullah, salah satu tokoh pendiri NU yang juga
merupakan tokoh pelukis lambang NU.




KH Ridlwan Abdullah merupakan anak sulung dari pasangan Abdullah dan
Marfuah yang terlahir dari kalangan keluarga yang kuat beragama. Beliau
dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1885 M, di kampung Carikan 1, kelurahan

Alun-Alun Contong, yang sekarang masuk bagian wilayah kecamatan Bubutan di

kota Surabaya. (Hlm. 16)




Kecakapan melukis Kiai Ridlwan sudah tampak ketika beliau duduk pada
Pendidikan Dasar di Sekolah Belanda (Hollandsch Inlandsche School), hal ini
terbukti ketika pada waktu pelajaran menggambar di sekolah, sang guru dari
Belanda yang sedang mengajar, menyuruh Ridlwan untuk menggambar gurunya
tersebut, tetapi Ridlwan justru menggambar tubuhnya saja, sedangkan
wajahnya tergambar ratu Belanda yang bernama Wilhelmina. Sang guru langsung
merasa tertarik atas kelebihan yang dimiliki Ridlwan tersebut sehingga pada
masa kerjanya sebagai guru habis, ia datang menemui orang tua Ridlwan
bermaksud untuk mengadopsinya sekaligus dibawa ke Belanda, tetapi ayahnya
tidak mengijinkannya sebab ada kekhawatiran dari pribadinya dan
menginginkan agar anaknya melanjutkan pendidikan di pesantren (Hlm. 18)




Dalam riwayat pendidikan keagamaan, pertama Kiai Ridlwan menimba ilmu di
pesantren Buntet Cirebon, lalu melanjutkan ke pesantren Kademangan
Bangkalan Madura yang diasuh oleh Syaikhona Kholil Bangkalan dan pesantren
Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, lalu Kiai Ridlwan melanjutkan belajar ke
Makkah lalu kembali ke Surabaya sehingga tercatat bahwa beliau menggali
ilmu agama selama  11 tahun (Hlm. 19).




Dalam bidang pengabdian dan pengalaman organisasi, Kiai Ridlwan ikut andil
menjadi bagian “Barisan golongan Muda Bumi Poetera” yang mengupayakan
kesadaran berbangsa melalui jalur pendidikan. Kiai Ridlwan ingin mendidik
para pemuda, agar semangat mereka bangkit dan sadar untuk menggelorakan
kecintaan terhadap bangsa (nasionalisme). Akhirnya, buah kesadaran
nasionalisme tersebut menjelma menjadi perguruan “Nahdlatul Wathan”
 (Kebangkitan Tanah Air) yang berdiri tahun 1941. Selain itu, beliau juga
aktif di “Taswirul Afkar” pada tahun 1918, sebuah lembaga perumusan
konsepsi atau pemikiran berbagai persoalan keagamaan dan sosial
kemasyarakatan. Selain itu, Kiai Ridlwan bersama Kiai Wahab dan juga Kiai
Kahar, memprakarsai berdirinya perhimpunan “Tamirul Masajid”, sebuah
perhimpunan yang bertujuan memelihara tempat peribadatan, Masjid, barang
wakaf dan sebagainya. Salah satu wujud kerja perhimpunan ini adalah
berdirinya Masjid Jami’ Kemayoran yang hingga sekarang berada di jalan
Indrapura 2 Surabaya. Bahkan karya monumental arsitektur bangunan kubah
Masjid Kemayoran merupakan fakta sejarah dari hasil ciptaan Kiai Ridlwan.
(Hlm. 22-24)




Dalam pengabdiannya terhadap NU, jasanya sangatlah besar. Sebelum NU lahir,
beliau sudah aktif di beberapa organisasi yang merupakan embrio bagi
berdirinya NU. Bahkan rumah beliau di Bubutan VI no 26 Surabaya ditempati
untuk penandatanganan berdirinya organisasi NU, sedangkan rumah milik
mertuanya yang juga di jalan Bubutan Surabaya diserahkan sebagai
sekretariat dan ruang pertemuan para pengurus NU, dulu menjadi kantor PBNU
dan sekarang menjadi kantor PCNU Kota Surabaya.




Selain itu, jasa yang diberikan Kiai Ridlwan bagi NU adalah lambang yang
mencerminkan sifat ulama dan bila dilihat tidak bosan, yang mana pada
Muktamar NU I, NU belum mempunyai lambang sebagai simbol organisasi. Kiai
Ridlwan dipercaya oleh KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai
Rais Akbar  untuk melukisnya. Lambang tersebut, beliau lukis atas hasil
istikharah beliau dan dapat ditampilkan pada Muktamar NU II pada tanggal 9
Oktober 1927 M/12 Rabiuts Tsani 1346 H, bertempat di Hotel Muslimin Peneleh
Surabaya (Sekarang menjadi Hotel Bali) yang membuat decak kagum bagi yang
melihatnya, (Hlm. 56)




Ditinjau dari sudut sumber sejarah, buku tersebut memadukan antara sumber
primer dengan sumber sekunder, Sumber primer penulis dapat dari
tempat-tempat atau dokumen bersejarah yang hingga kini masih eksis
keberadaannya, seperti bangunan tempat penandatanganan NU, Surat ijin
anggota Konstituante RI milik Kiai Ridlwan, dan sebagainya dan sumber
sekunder penulis dapat dari kepustakan-kepustakaan yang ada.




Buku karya Abdul Holil ini merupakan skripsi yang ditulisnya dan sebagai
bukti kecintaannya kepada NU. Buku ini wajib dibaca bagi seluruh kader NU
dari berbagai kalangan yang ada, sebab isinya menggambarkan secara utuh
sosok dan figur seorang Kiai Ridlwan Abdullah agar para penerus NU selalu
mencontoh para pendirinya serta sebagai dasar pijakan dalam berkhidmat di
NU. []






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke