Faktor Budaya di Balik Kasus "Child Abuse"

Oleh Bagong Suyanto

HASIL identifikasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur
(2000), menemukan, dalam tiga tahun terakhir paling tidak telah terjadi 300
lebih kasus child abuse. Yang mengherankan, justru sebagian besar pelakunya
adalah orangtua korban. Jadi, keluarga dapat menjadi tempat paling berbahaya
bagi kelangsungan hidup, perkembangan, dan perlindungan anak.

Secara konseptual, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, yang semua itu diindikasikan dengan kerugian dan ancaman
terhadap kesehatan serta kesejahteraan anak.

Untuk sebagian tindak kekerasan terhadap anak, memang dipicu oleh ciri
kepribadian orangtua yang emosional, dan tekanan kebutuhan hidup yang
menjejas, seperti kemiskinan atau PHK. Tetapi, selama ini harus diakui,
sebagian kasus child abuse sebetulnya dapat dilacak dari faktor budaya dalam
masyarakat yang kurang menguntungkan. Meski belum ada rincian mengenai
budaya mana saja yang merugikan anak, tetapi sejumlah studi telah
membuktikan, di sekitar kita masih banyak dijumpai praktik-praktik budaya
yang merugikan anak baik secara fisik maupun emosional. Misalnya, dalam
praktik pengasuhan anak, pembiasaan bekerja sejak kecil kepada anak, dan
banyak praktik lain yang merugikan anak, yang "berlindung" atas nama
adat-budaya.

Penelitian Mustain (1997) misalnya, tentang tindak kekerasan dalam keluarga
di Surabaya, membuktikan, masih banyak praktik kekerasan terhadap perempuan
dan anak. Dikemukakan Mustain, yang paling sering menjadi sasaran kemarahan
dan kejengkelan orangtua (baca: ayah) adalah anak-anak. Jika sang ayah
sedang marah, tidak jarang anak ditendang dan ditempeleng. Yang menarik
hampir tidak ada reaksi berarti dari orang lain (tetangga) terhadap
perlakuan kasar dan keras itu. Para tetangga menilai, persoalan kekerasan
terhadap anak yang dilakukan orangtuanya adalah urusan intern mereka. Itu
juga dilakukan dalam rangka "mendidik" anak-anaknya yang dinilai membandel
dan membangkang.

Selain temuan Mustain, studi Heddy Shri Ahimsa-Putra dan kawan-kawan (1999)
juga mensinyalir pengaruh faktor budaya terhadap kecenderungan terjadinya
tindak kekerasan yang dialami anak-anak. Menurut Ahimsa-Putra dan
kawan-kawan, di berbagai masyarakat, umumnya ada hubungan yang secara
natural asimetris antara anak dan orang dewasa, merupakan landasan bagi
hubungan asimetris secara kultural antara kedua kategori itu. Dalam hal ini,
anak dalam posisi yang lebih lemah dan karena itu juga lebih rendah. Orang
dewasa secara sadar maupun tidak, telah menciptakan ketidakseimbangan
kultural ini dalam hubungan mereka dengan anak yang sifatnya menguntungkan
orang dewasa, dan mereka menanamkan hal ini pada diri anak. Akhirnya anak
menerima hubungan asimetris ini sebagai hal biasa dan ini merupakan akar
dari berbagai tindak kekerasan orang dewasa kepada anak.

Kendala

Secara teoretis, kasus-kasus child abuse sebetulnya sedikit-banyak dapat
dikurangi bila masyarakat bersedia bersikap proaktif, dan selalu berusaha
secara dini mencegah kemungkinan terjadinya perlakuan salah pada anak.
Masalahnya, adakah masyarakat cukup pengetahuan dan kesadaran untuk
mengambil peran lebih aktif demi kesejahteraan anak-anak, bukan saja anak
sendiri tetapi juga anak-anak lain yang ada di sekitarnya?

Paling-tidak ada tiga faktor yang menjadi kendala bagi masyarakat mengambil
peran aktif dalam mencegah terjadinya child abuse. Pertama, seperti
dikatakan Irwanto (2000), masyarakat umumnya masih kurang memiliki
pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan tindak kekerasan pada anak yang
dikategorikan abuse atau maltreatment, dan bilamana kasus itu terjadi.
Bahkan, yang memprihatinkan, tidak jarang kasus-kasus child abuse dibungkus
dengan dalih demi kepatuhan dan bagian proses pendidikan anak. Seorang warga
masyarakat yang mendengar ada seorang anak menangis karena dipukul bapaknya,
misalnya, ia tidak mustahil akan berdiam diri karena menganggap apa yang
dilakukan bapak itu adalah suatu tindakan yang semestinya. Demikian pula,
jika ada orang yang melihat keluarga yang mempekerjakan anak-anaknya di usia
dini-di bawah 13 tahun-dalam kegiatan produktif. Melatih anak bekerja sejak
dini, dianggap oleh kebanyakan masyarakat di pedesaan sebagai bagian dari
proses pembelajaran untuk mandiri sekaligus bentuk perwujudan dari konsep
berbakti kepada orangtua.

Kedua, karena di berbagai masyarakat, tolok ukur yang dijadikan patokan
untuk menentukan tindakan mana dikategorikan keras dan melanggar hak anak,
dan tindakan mana yang ditoleransi bahkan dianjurkan, umumnya tidak selalu
sama. Upaya untuk mendefinisikan tindak kekerasan terhadap anak-anak dalam
banyak hal berkait secara signifikan dengan ketentuan-ketentuan normatif
(normatice pattern) suatu keluarga dan masyarakat (Clinnard and Meier,
1985).

Artinya, sebuah tindakan yang dikategorikan child abuse dalam masyarakat
tertentu boleh jadi pada masyarakat yang lain dianggap sebagai hal yang
lazim, bahkan suatu keharusan untuk tujuan-tujuan yang secara budaya
dibenarkan. Pada masyarakat tertentu, tindak kekerasan terhadap anak acap
bisa diterima sebagai upaya mendapatkan kepatuhan anak. Tolok ukur kebaikan
suatu keluarga, acap juga ditunjukkan dari kepatuhan anak kepada
orangtuanya. Nilai keluarga yang berkembang dalam masyarakat adalah bila
anak-anaknya patuh kepada orangtua. Anak yang nakal, apalagi membangkang
dalam banyak hal, dipandang sebagai cerminan citra buruk orangtua
(keluarga). Untuk mencegahnya, beberapa orangtua tidak segan-segan melakukan
tindak kekerasan.

Ketiga, ada kesan, masyarakat umumnya lebih senang hidup dalam mitos yang
menyatakan, keluarga adalah institusi yang harmonis, dan niscaya tidak ada
satu pun orangtua di dunia tega berbuat jahat kepada anak-anaknya. Padahal,
berbagai berita yang diekspose surat kabar dan banyak studi telah
membuktikan, mitos itu tidak selalu benar.

Upaya penanganan

Kendati hingga kini masih banyak kalangan menganggap perlakuan kasar dan
keras kepada anak-anak sebagai masalah intern keluarga bahkan mungkin
dianggap sebagai bagian proses pendidikan anak. Tetapi, dengan menyadari
bahwa jumlah anak-anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan dan
perlakuan salah ini makin meluas dari hari ke hari, maka tak terhindarkan
lagi, kita semua harus segera mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan
untuk mencegah agar masalah ini tidak melebar dan melahirkan korban-korban
baru yang menyengsarakan masa depan anak-anak. Beberapa hal yang
direkomendasi dan dinilai perlu dilakukan untuk mengeliminasi, mencegah dan
menangani kasus child abuse adalah:

Pertama, mengingat di masyarakat faktor budaya dan tradisi sering
menempatkan anak sebagai masalah domestik, bahkan acapkali mendukung
kemungkinan terjadinya pelanggaran hak dan perlakuan salah pada anak-anak,
maka langkah pertama yang dibutuhkan adalah melakukan counter-culture.
Yakni, mencoba menarik keluar isu tentang child abuse dari wilayah privat ke
wilayah publik dengan harapan dapat membuka kesempatan dan kemungkinan bagi
lingkungan sosial di sekitar untuk melakukan kontrol, baik secara preventif
maupun kuratif terhadap kasus child abuse.

Kedua, untuk menumbuhkan minat, perhatian dan empati seluruh masyarakat
terhadap permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak, langkah yang
dibutuhkan adalah bagaimana menyadarkan kepada masyarakat bahwa masalah ini
tidak cukup hanya disikapi dengan sekadar berbelas kasihan kepada anak yang
menjadi korban atau mengutuk keras-keras perlakuan orang-orang yang tega
menganiaya anak. Yang benar-benar dibutuhkan saat ini, tak pelak adalah
kesediaan kita semua untuk mengambil langkah-langkah konkret mencegah agar
anak-anak yang menjadi korban tidak makin bertambah, atau paling-tidak
bersedia melaporkan kasus child abuse yang terjadi di sekitar kita kepada
lembaga-lembaga yang memiliki otoritas menangani soal ini, baik itu aparat
kepolisian maupun lembaga-lembaga sosial di masyarakat yang memiliki
komitmen untuk memberikan perlindungan sosial kepada anak-anak, khususnya
anak yang menjadi korban perlakuan salah masyarakat, termasuk korban
perlakuan salah dari orangtua kandung sekali pun.

Ketiga, salah satu kesulitan untuk mendeteksi dan menangani kasus child
abuse adalah karena ruang kejadian kasus ini umumnya di wilayah privat: di
lingkungan intern keluarga korban yang acapkali dipandang masyarakat tabu
untuk dicampuri oleh orang atau pihak lain, terlebih yang bukan berasal dari
sanak-kerabat. Untuk dapat menerobos celah-celah wilayah privat ini, karena
itu upaya monitoring dan penanganan kasus child abuse seyogianya
memanfaatkan dan meminta dukungan lembaga-lembaga atau pihak tertentu yang
fungsional dan eksis di lingkungan lokal, seperti ibu-ibu anggota PKK,
kelompok Dasa Wisma, pengurus RT/RW, dan lain-lain yang betul-betul mengenal
dan "dekat" dengan kehidupan sehari-hari keluarga di lingkungannya. Pada
tahap awal sudah barang tentu pendekatan yang digunakan bukan pendekatan
legal-formal yang secara gegabah menempatkan pelaku child abuse sebagai
tersangka dan harus diproses secara hukum. Pemecahan menurut hukum adat,
kebiasaan setempat yang melibatkan tokoh masyarakat atau ulama lokal
barangkali akan menjadi solusi yang lebih bijak dalam penanganan kasus child
abuse di masyarakat. Tentu saja, untuk kasus child abuse yang terkategori
berat, proses penyelesaian persoalan secara hukum tak terhindarkan.



BAGONG SUYANTO Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, Peneliti Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur






 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/keluarga-sejahtera/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke