Poligami Dalam Sistim Hukum di Indonesia

oleh : Herri Permana*


Secara umum poligami secara luas biasanya dipraktekkan
oleh bangsa/suku-suku nomaden yang hidup di alam yang
keras dan gemar berperang.Di kalangan seperti ini poligami
adalah sebuah kebutuhan karena kuat atau tidaknya suku
mereka ditentukan oleh berapa banyak keturunan yang bisa
dihasilkan terutama anak laki-laki karena laki-laki dalam
komunitas ini dianggap sebagai komunitas militer.Sementara
perempuan dianggap hanya sebagai asset untuk memproduksi
keturunan yang bahkan juga dijadikan sebagai salah satu
harta pampasan perang bila suku itu kalah atau juga dijadikan
alat pertukaran demi perdamaian antar suku.

Di kalangan bangsa/suku-suku yang menetap serta tidak banyak
mengalami ancaman militer , poligami umumnya hanya dilakukan oleh
kalangan tertentu saja yang biasanya kalangan elite dan berkuasa
dimana praktek ini djadikan sebagai salah satu simbol demi
meningkatkan status dan sarana memamerkan kekayaan dan
kekuasaannya.Sementara poligami di kalangan rakyat kebanyakan
biasanya sangat jarang dilakukan.Hal ini juga terjadi di Indonesia
dimana praktek poligami di kalangan rakyat kebanyakan tidak
umum dilakukan.

Pada masa pra kemerdekaan sampai masa-masa awal kemerdekaan
praktek poligami di Indonesia umumnya hanya dilakukan oleh kalangan
elite masyarakat saja diantaranya kaum priyayi dan elite agama seperti
para kyai .Menurut pengamatan Koentjaraningrat ada perbedaan
antara praktek poligami yang dilakukan kalangan priyayi dengan
kalangan kyai yaitu kalangan priyayi yang umumnya berasal dari golongan
Islam abangan biasanya menyatukan istri-istrinya dalam satu rumah
sementara  kalangan kyai/santri sebagian besarnya membuatkan rumah
yang terpisah-pisah bagi istri-istrinya (Jurnal Perempuan no 31, 2003 :75) ,
sebagai bagian dari aturan fiqh.

Memasuki era Indonesia modern praktek poligami semakin ditinggalkan
oleh masyarakat, bahkan akhirnya menjadi sebuah praktek yang tidak
lazim.Hal ini mengakibatkan pelaku poligami umumnya tidak melakukan
praktek ini secara demonstratif seperti pada masa lalu.Praktek poligami
dianggap sebagai praktek yang memalukan dan dapat merusak nama
baik pelakunya .Itulah sebanya sebagian besar perkawinan poligami
di Indonesia di era ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi/sirri terutama
di kalangan menengah .Di kalangan santri tradisionalis terutama
di pedesaan praktek poligami masih marak dilakukan tapi jumlahnya
jauh lebih menurun daripada pada era sebelumnya.

Munculnya gerakan garis keras Islam yang berkembang di Indonesia
sejak era 70-80 an dan mempunyai hubungan dengan kelompok
serupa di Timur Tengah menimbulkan sebuah fenomena baru
dimana kelompok ini memiliki kecenderungan untuk mempropagandakan
poligami bahkan menganggapnya sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi persoalan bangsa dan masyarakat.Dalam propagandanya
kelompok ini kerap melempar tuduhan bahwa kalangan yang menolak
wacana poligami sebagai kalangan yang pro pelacuran atau perzinahan
bahkan secara lebih jauh lagi menuduh mereka sebagai penentang
hukum agama. Jadi secara umum mereka menyederhanakan wacana
poligami  sebagai bentuk pertarungan antara "orang baik" v.s "orang jahat"
dimana pendukung poligami diposisikan sebagai "orang baik"
sementara penentangnya "orang jahat".Akan tetapi karena secara
umum pengikut gerakan ini utamanya kalangan menengah di
perkotaan praktek poligami hanya dilakukan oleh sebagian
kecil saja dari mereka.Tapi tidak seperti yang dilakukan kalangan
Islam tradisonalis , praktek poligami yang dilakukan kalangan ini
condong meniru pola yang dilakukan kaum priyayi/golongan Islam
abangan pada masa lalu  yaitu menyatukan istri-istri mereka dalam
satu rumah

Selain golongan diatas , poligami ditemukan dalam jumlah kecil
di kalangan masyarakat bawah , pekerja keras , atau mata pencariannya
mengharuskan mereka sering berpindah tempat seperti pelaut , sopir
bus antar kota dll.Pelaku poligami dari kalangan ini kebanyakan
bukan dari kalangan agamis bahkan jauh dari nilai-nilai agama
seperti suka mabuk-mabukkan , judi , pergi ke pelacuran dll
Tapi yang menarik adalah  ketika mereka melakukan praktek
poligami mereka selalu mengangkat isu agama sebagai alasan
pembenarannya.

Perkembangan Hukum masalah Poligami di Indonesia.

Di dalam Undang-undang Perkawinan pada masa penjajahan
Hindia-Belanda masalah poligami sama sekali tidak diatur.
Demikian pula pada masa awal kemerdekaan dimana masalah
Perkawinan diatur dalam UU no 22/1946  yang kemudian disempurnakan
dalam UU no 32 tahun 1954 yang hanya mengatur masalah
pencatatan nikah , talak dan rujuk.

Isu pengaturan masalah poligami dalam sistim hukum dan
perundangan di Indonesia pertama kali mengemuka pada
Kongres Wanita Indonesia pertama yang diadakan pada
bulan Desember 1928 yang diprakasai oleh Aisyiyah sayap
perempuan dari pergerakan Muhammadiyah dan diikuti oleh
sekitar 30 an organisasi perempuan.Selain isu poligami ,
isu perkawinan di bawah umur dan kawin paksa juga menjadi
perhatian anggota kongres.

Istri Sedar sebuah organisasi perempuan berhaluan kiri yang
kemudian menjadi cikal bakal GERWANI menolak ikut dalam
Kongres ini sebagai bentuk penentangannya dan penolakannya
untuk berkompromi dalam isu poligami (Saskia Wieringa , 1998)

Memasuki era kemerdekaan , wacana anti poligami mendapat
batu sandungan yang serius ketika Soekarno Presiden Indonesia
saat itu melakukan praktek polgaminya yang pertama dengan Hartini
pada tahun 1954.Organisasi perempuan sayap kiri Gerwani yang sebelumnya
sangat menentang hal ini bahkan menolak segala bentuk kompromi
dalam isu poligami , ketika dihadapkan pada kasus ini condong bersikap
agak lunak akibat pilihan politik para pemimpinnya kepada sosok
Soekarno , bahkan tuntutan Gerwani tentang masalah poligami
dalam isu pembuatan RUU Perkawinan akhirnya semakin melemah,
bahkan di tahun 1964 isu ini kemudian dihilangkan (Saskia Wieringa,
1998 : 28)

Salah satu organisasi perempuan yang secara keras
menentang perilaku presiden Soekarno adalah Perwari (Persatuan
Wanita Republik Indonesia) yang notabene adalah sebuah
organisasi perempuan pro pemerintah yang anggotanya
kebanyakan adalah istri-istri para pejabat  sipil dan militer dimana
mereka juga mendukung Fatmawati untuk bercerai dengan
Soekarno. Beberapa organisasi perempuan terutama yang
berhaluan nasionalis dan sosialis seperti Gerakan Wanita
Marhaenis juga ikut menggugat praktek poligami yang dilakukan
Soekarno.Dan sikap Perwari dan beberapa organisasi perempuan
ini dibayar dengan dicabutnya berbagai  fasilitas yang sebelumnya
dinikmati mereka dari  pemerintah.

Bahkan lebih jauh lagi gerakan penentangan terhadap praktek
poligami yang dilakukan Soekarno kemudian diposisikan sebagai
gerakan Kontra-Revolusioner . Ketua umum Gerwani pada
pidatonya di tahun 1964 mengecam sikap Perwari  itu sebagai
sebuah sikap yang hanya memperjuangkan kepentingan nyonya
nyonya pejabat tinggi dan merupakan serangan terhadap pribadi
Sokarno dan serangan itu harus di jawab karena merupakan bentuk
upaya kontra-revolusioner (Saskia Wieringa , 1998 : 29).

Sementara itu gerakan-gerakan perempuan Islam condong
mendiamkan praktek poligami yang dilakukan Soekarno tersebut.

Perkawinan Soekarno ini adalah tamparan kedua bagi kelompok
perempuan kontra poligami setelah pada tahun 1952 pemerintah
mengeluarkan keputusan no 19 tahun 1952 yang memberi gaji
dua kali lipat bagi pegawai yang berpoligami selain juga tunjangan
pensiun bagi janda poligami juga diberikan dua kali lipat yang
dibagikan secara merata kepada masing-masing janda.

Keputusan ini menjadi tamparan keras bagi kelompok perempuan
di Komisi Perkawinan yang dibentuk tahun 1950 dan sedang
menyusun draft  RUU Perkawinan yang menyatakan poligami hanya
diizinkan dengan persyaratan-persyaratan yang keras.Keputusan
pemerintah itu mendapat dukungan di kalangan Islam yang diwakili
oleh Masyumi dan Partai NU.Organisasi perempuan Islam seperti
Fatayat NU juga secara tegas menyatakan dukungannya.

Memasuki era pemerintahan Presiden Soeharto , pembahasan
RUU Perkawinan yang tertunda akibat gejolak politik pada pemerintahan
sebelumnya akhirnya diteruskan.Pembahasan RUU ini memanas
ketika fraksi Islam PPP walk out dari sidang menolak RUU versi
kaum nasionalis yang didukung oleh Fraksi Golkar dan Partai
Demokrasi Indonesia.Inti penolakan mereka adalah pasal 11
ayat (2) RUU itu yang mengadopsi pasal 7  GHR yang membolehkan
perkawinan antar agama.

Puncak krisis terjadi ketika massa pemuda Islam menduduki gedung
Parlemen ketika sidang akan mengesahkan RUU tersebut.Jend Soemitro
pada saat itu langsung turun tangan dan menemui Presiden Soeharto
dengan membawa draft RUU versi PPP yang kemudian ditandatangai
dan disyahkan menjadi UU no 1/1974 seperti yang berlaku sekarang.

Yang menarik adalah dalam UU tersebut masalah poligami diatur
lebih ketat  dari RUU versi kelompok Islam pada masa era Soekarno.
Salah satunya adalah mensyaratkan adanya izin dari istri sebelumnya.
Menanggapi kontroversi dalam masalah ini K.H Ibrahim Hosen
menyatakan bahwa masalah izin itu tidak diatur dalam hukum agama
jadi hukumnya mubah tapi penguasa sebagai pihak yang memiliki
peranan untuk membentuk hukum Islam bisa merubahnya menjadi
wajib atau haram (Tempo ,14 Mei 1983).

Pemberlakuan aturan yang lebih ketat terhadap praktek poligami
ini merupakan solusi atau jalan tengah yang ditawarkan kelompok
Islam terhadap tekanan sejumlah fihak yang menghendaki dihapuskannya
pasal poligami dalam RUU Perkawinan.

Akan tetapi karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran
aturan dalam UU Perkawinan pasal 3 dan 4 yang mengatur masalah
poligami ini maka aturan itu seringkali diabaikan.Bahkan dari 4500
kasus poligami yang ditangani  Lembaga Konsultasi dan Bantuan
Hukum untuk Wanita dan Keluarga 50 % nya dilakukan oleh
kalangan pejabat dan pegawai negri sipil (Fokus , 12 Mei 1983)

Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah ibu-ibu pejabat
mendesak diterbitkannya PP no 10/1983 yang mengatur masalah
Izin Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai negri sipil dimana
pengaturan praktek poligami bagi kalangan pejabat dan pegawai
negri sipil semakin diperketat.Dengan diterbitkannya PP no 10/1083
ini maka menurut Ny Suprapti Soeprapto payung pelindung bagi
istri pegawai negri makin kokoh (Tempo 14 Mei 1983)

Akan tetapi masalah izin istri ini kemudian dilemahkan dengan
terbitnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia melalui Inpres
no 1 tahun 1991 dimana dalam pasal 59 KHII yang menyatakan
"Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan
izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu
alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama
dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,
dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding
atau kasasi"

Pasal ini memberi otoritas bagi Pengadilan agama untuk memberi
izin berpoligami bagi seorang suami walaupun istri tidak mengizinkannya.

Tapi kelemahan utama dari UU maupun peraturan yang mengatur
masalah perkawinan adalah tidak adanya tindakan hukum yang
tegas yang mengatur masalah sanksi bagi pelaku perkawinan bawah
tangan.Padahal pelaku poligami di Indonesia sebagian besarnya
melakukannya secara bawah tangan / sirri dan ini juga menyebabkan
mereka secara legal formal lepas dari kewajiban dan tanggung jawabnya
sebagaimana yang diatur UU.Fatwa MUI beberapa waktu lalu yang
mensahkan kawin sirri semakin memperburuk masalah ini.

Jadi kampanye perombakan UU Perkawinan juga KHII untuk
memperketat syarat-syarat poligami bahkan menghapuskan
poligami sama sekali tidak akan memiliki kekuatan bila praktek
perkawinan bawah tangan tidak dianggap sebagai tindak
pelanggaran hukum di negri ini.Padahal perkawinan bawah
tangan baik monogami maupun poligami mengakibatkan hak
hak istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu
menjadi terabaikan.Selain itu tanpa adanya sanksi terhadap
pelanggaran pasal-pasal dalam UU Perkawinan membuat UU
ini seperti macan kertas saja.Padahal keberadaan UU ini
mutlak diperlukan untuk menjamin hak-hak warga negara.






* Penulis adalah moderator milis keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
   dan mantan Sekretaris Lembaga Pembinaan dan Pengembangan
   Keluarga Sakinah-Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid
   Indonesia (LPPKS-BKPRMI)  Wilayah Jawa Barat  1997-2000


Referensi :

-Mulia , Siti Musdah , Muslimah Reformis : Perempuan Pembaharu Keagamaan,
  Mizan , Bandung , 2005
- Abdurrahman S.H , Himpunan Perundang-undangan tentang Perkawinan ,
  CV Akamedika Pressindo , Jakarta , 1986
- Umar , Nasaruddin , Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif Al Qur'an ,
   Paramadina , Jakarta 2001
- Wieringa , Saskia , Kuntilanak Wangi : Organisasi-organisasi Perempuan
  di Indonesia Sesudah 1950 , Kalyamitra , Jakarta , 1998
- Wieringa , Saskia , Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia ,
   Garba Budaya , Jakarta , 1999
- Modul Pelatihan Bagi Pengurus , Hukum Keluarga , LPPKS-BKPRMI
  Jawa Barat , Bandung , 1998
- Jurnal Perempuan no 31 , Menimbang Poligami , Yayasan Jurnal Perempuan,
  Jakarta , 2003





Kirim email ke