Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan  mengatakan, 
jenazah koruptor tetap harus disholatkan jika koruptor  tersebut beragama Islam.
"Menyolatkan seorang muslim itu hukumnya fardhu kifayah, wajib  dikerjakan 
meski 
oleh sebagian muslim, katanya di Kantor MUI, Jakarta,  Kamis.
Menurut Amidhan, manusia tidak berhak menetapkan seorang koruptor  itu kafir 
atau tidak dengan tidak menyolatkan jenazahnya. Jika tidak ada  yang 
menyolatkan 
seorang koruptor yang beragama Islam, maka semua umat  Islam akan berdosa.
"Asal ada sebagian orang yang menyolatkan, maka sudah gugur  kewajiban itu," 
katanya.
Ia mengatakan, pernyataan agar koruptor jangan disholatkan tersebut  merupakan 
bagian dari kampanye anti korupsi.
"Karena dalam kampanye anti korupsi maka boleh saja didramatisasi  sehingga ada 
ulama yang mengatakan koruptor itu tidak perlu atau tidak  boleh disholatkan," 
paparnya.
Jadi, lanjutnya, jika itu bagian dari kampanye sah-sah saja, tetapi  tindakan 
korupsi dan menyolatkan orang yang meninggal itu merupakan hal  yang berbeda.
Amidhan mengatakan, MUI belum memfatwakan masalah menyolatkan  jenazah koruptor 
tersebut, namun MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa  korupsi itu hukumnya haram 
dan orang yang melakukan korupsi itu berdosa.
"Tapi bukan berarti koruptor itu kemudian menjadi kafir. Sanksi  agama itu 
bukan 
di dunia," katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama  (NU) Malik 
Madany mengimbau tidak menyolatkan jenazah koruptor yang  meninggal dunia. 
Alasannya, korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang  luar biasa.


      

Kirim email ke