beunang nyalin tina blogna kang denny yanuar

===========
Karinding, Alat Musik Karuhun Nan Unik
by Denny Yanuar <http://www.facebook.com/profile.php?id=1256932396> on
Tuesday, September 21, 2010 at 11:09pm

BILA dilihat dari segi popularitasnya, mungkin hanya sedikit dari kita yang
mengenal keberadaan alat musik karinding. Padahal, alat musik ini diprediksi
sebagai salah satu jenis instrumen tertua yang merupakan warisan dari
peradaban kuno.

Tempaan perjalanan sejarah yang sangat panjang tersebut temyata tidak
menjadikan eksistensinya makin dikenal masyarakat Terlebih, alat musik
karinding sempat dianggap musik komunis, karena kerap dimainkan anggota
Lekra, lembaga kebudayaan yang diprediksi bentukan Partai Komunis Indonesia
(PKT). Akibatnya, pada masa Orde Baru popularitas alat musik ini makin
tenggelam dan dilarang dimainkan.

"Terlepas dari masalah politik itu, mungkin generasi sebelum kita juga tidak
berani mengeksplorasi alat musik karinding," kata Man Jasad (32), salah
seorang seniman Sunda yang mencoba mengangkat kembali popularitas alat musik
tersebut, saat ditemui di Common Room, Kamis (24/6).Bentuk dari alat musik
ini cukup sederhana. Ukuran standar karinding hanya sepanjang sekitar 10
sentimeter dengan lebar 2 sentimeter. Semula alatmusik ini dibuat dari
pelepah kawung. Namun, karena sulitnya menemukan pelepah kawung, saat ini
para seniman memodifikasi pembuatan alat musik karinding menggunakan bahan
baku dari batang bambu.

Menurut Man, untuk memainkan alat musik ini cukup mudah. Karinding dimainkan
dengan cara ditempelkan di mulut, lalu ditabuh (dipukul) salah satu ujungnya
dengan menggunakan telunjuk. Getaran antara karinding dan mulut tersebutlah
yang dapat menghasilkan irama yang unik dan menarik.Alat musik karinding
dapatdipadukan dengan berbagai jenis alat musik lain, seperti lem-pung,
suling, toleat, bahkan koto (alat musik Jepang). Tidak hanya itu, dari
beberapa eksplorasi yang pernah dilakukan, terbukti pula bahwa karinding
dapat dikolaborasikan dengan beberapa band modern, seperti dengan grup band
Burger Kill, beberapa waktu yang lalu.

Lebih lanjut Man mengatakan, banyak alat musik yang hampir serupa dengan
karinding di daerah lain, seperti genggong di Bali, rinding di Jawa Tengah
bahkan dari luar negeri seperti alat musik jeusharp dari Tibet. "Akan
tetapi, belum adasejarah tertulis dari naskah kuno yang saya temukan. Hanya
berupa cerita lisan dari beberapa orang tua," ucapnya.

Perlu pengembangan

Untuk dapat memopulerkan kembali alat musik karinding di tengah derasnya
arus globalisasi bukanlah suatu perkara yang mudah. Pasalnya, hingga saat
ini apresiasi masyarakat terhadap perkembangan seni dan budaya masih sangat
minim, terlebih pada seni tradisional.

Untuk menyiasatinya, sejak 2008, Man Jasad bersama beberapa rekan seniman
lainnya mencoba mengembangkan alat musik karinding ini sesuai dengan kondisi
zaman. "Buat pengembangannya, yang terpenting adalah pengemasan komposisi
musik agar bisa diterima oleh anak muda zaman sekarang. Jadi, intinya
dikemas dengan gaya kekinian, dari mulai penyajian sampai performanya,"
tuturnya.Pengembangan musik karin- ding tersebut temyata cukup membuahkan
hasil.

Hingga saat ini, telah banyak terbentuk grup karinding di berbagai tempat.
Di Cicalengka misalnya, terdapat grup Markipat Karinding yang memainkan alat
musik tersebut dengan menggunakan gaya vokal khas aliran death metal. Selain
itu, dalam beberapa pergelaran seni juga kerap ditemukan pemaduan karinding
dalam pembacaan puisi.Tidak hanya terbatas sampai disitu. Bila kita
perhatikan, di beberapa pertunjukan musik metal maupun underground di Kota
Bandung, saat ini tidak jarang diselipkan unsur budaya tradisional di
sela-sela acaranya. "Kebetulan saya sendiri sudah belasan tahun berkecimpung
di dunia musik metal. Jadi target utama saya awalnya kepada anak muda yang
suka musik metal," ucap Man.

Walaupun perkembangan alat musik karinding saat ini mulai diterima oleh
kalangan muda, Man mengaku sempat menuai kritik dari beberapa kokolot
(senior) seni Sunda, karena cara penyajiannya dianggap tidak sesuai dengan
tradisi lama. "Akan tetapi, menurut saya pribadi, budaya itu merupakan suatu
produk manusia. Jadi, sah-sah saja untuk mengembangkannya sesuai dengan
kondisi kekinian. Lagi pula kita belum punya referensi berupa audio yang
sudah baku," kata Man. "Sekarang mah, yang paling penting bagaimana caranya
agar tradisi kita bisa berkontribusi aktif di Jawa Barat khususnya, umumnya
di Indonesia dan lebih jauh lagi secara global," katanya. (Albian-syah)



Tiba-tiba sebilah kecil bambu itu menyerang berbagai daerah di Jawa Barat;
hampir seperti simsalabim mewujud jadi tema popular obrolan di kalangan
anak-anak muda, masuk ke dalam diskusi-diskusi seni dan budaya, ikut hadir
dalam perhelatan musik modern, bahkan kerap tertulis dalam status para
facebookers dan posting banyak blogger. Kedatangannya cukup mencengangkan,
dan tentu saja: tak terduga. Tak terduga, karena sebilah bambu itu sama
sekali bukan produk temuan kontemporer, melainkan tercipta dari suatu waktu
yang konon terbentang 6 abad dari masa ini, bahkan telah dinyatakan punah.
Sebilah bambu yang memproduksi bunyi dari vibra salah satu komponennya itu
bernama: karinding. Jika benar karinding telah punah atau mati, maka dapat
dipastikan kini hantunya bergentayangan liar di hampir tiap sudut
tempat. *Sejarah
Karinding *



Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para karuhun untuk
mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat merusak konsentrasi
hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka disebutlah ia sebagai alat
musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun
memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika
sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah.
Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu
atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat
kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang popular di
kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih pada
jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti
gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.



Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya
kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding
diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding
pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki
berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain
pun memiliki alat musik ini--hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama
genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan
beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues).
Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa
mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya
cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan
dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan
menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda
dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.



Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada
dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk
karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan
gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini
untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan
disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran
lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau.
Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah
priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan
ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1]



Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini
tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena
ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.



Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk
karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian
bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Dan
ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.



Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas
tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau
menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum”
karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah
dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan
akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara
konvensional—menurut penuturan Abah Olot--nada atau pirigan dalam memainkan
karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan
iring-iringan.



*Karinding Hari Ini *



Satu hal yang menarik dan patut kita cermati dalam melihat fenomena
kembalinya karinding secara masif di tengah masyarakat ini adalah bahwa
ternyata “kelahiran” kembali karinding ini tidak bermula di daerah-daerah
pedesaan yang masih bercorak tradiosional—yang biasanya masih memelihara
tradisi dan karuhun secara agak ketat. Namun karinding justru kembali hidup
dan popular di perkotaan, di kalangan masyarakat urban--juga generasi
muda--yang kultur sosialnya telah sangat modern, dalam arti telah melepaskan
sebagian besar tradisi karuhun dari kehidupan pribadi dan sosialnya.



Sebagian ada yang menilai, seraya berbangga hati melihat fenomena ini. Bagi
mereka ini menunjukkan suatu kebangkitan budaya lokal. Karinding yang
merupakan seni buhun sanggup eksis dan bersaing dengan alat musik modern
yang cenderung berbau barat.



Kita tahu bahwa modernitas kerap mengeliminir unsur lokalitas hingga membuat
manusia terjebak dalam alienasi atau keterasingan dari akar sejarahnya
sendiri hingga membawa manusia—juga secara kolektif: masyarakat--pada
masa-masa frustasi (frustasi sosial). Dalam waktu lama frustasi yang
berjalin serasi dengan rasa inferioritas di hadapan hegemoni modern yang
digjaya dan seperti tak mungkin dikalahkan ini menumbuhkan perasaan “heroik”
(atau ketakutan yang akut?) untuk kembali merebut jati diri yang merasa
telah dirampas oleh modernitas. Heroisme (atau ketakutan?) inilah yang
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk kembali masuk dan menghubungkan diri
secara lebih mendalam dengan akar budayanya sendiri (fundamentalisme).
Kemuculan kembali karinding sebagai alat musik buhun yang telah ada enam
ratusan tahunan yang lalu merupakan bentuk dari keinginan sebagian
masyarakat urban (sebagai korban utama dari modernitas) untuk kembali
terhubung dengan sejarahnya sendiri dan dengan itu kembali meneguhkan
identitasnya seraya melawan dari gempuran modernitas yang begitu hegemonik.
Maka dengan karinding mereka lawan hegemoni itu.



Namun ada juga yang “biasa saja” bahkan cenderung pesimis dengan kebangkitan
karinding ini. Mereka sama sekali tidak melihat fenomena ini sebagai
kebangkitan seni dan budaya lokal dalam kehidupan kontemporer. Masyarakat
urban dan generasi muda sebagai tempat awal kelahirannya kembali telah cukup
bukti untuk menarik kesimpulan bahwa fenomena karinding ini masih termasuk
dalam fenomena modernitas. Yang baru, yang berbeda, yang tidak nge-pop kerap
menjadi prasyarat untuk seseorang atau komunitas mendapat predikat modern.
Maka, memainkan karinding saat ini adalah bentuk modernitas; sekali lagi
karena ia dianggap baru dan berbeda.



Dan juga fakta bahwa banyak dari kalangan generasi muda yang memainkannya
dengan irama atau beat-beat kontemporer, lepas dari pakem karuhun, juga
mengkolaborasikannya dengan alat-alat musik modern lainnya.



Karena karinding hanyalah fenomena modernitas dan karena itu bersifat
temporer, maka karinding pun akan cepat dilupakan jika keberadaannya di
tengah masyarakat telah mengalami bentuk kemapanan tertentu, atau telah
tergeser oleh sesuatu yang lain, yang lebih baru.



Maka akhirnya semua kembali pada kita. Apakah kita akan memperlakukan
karinding ini sebagai warisan karuhun yang sakral dan wajib dimumule,
ataukah akan memperlakukannya hanya secara profan dan sekadar alat musik
biasa? Jika kita menyikapinya dengan sikap yang pertama berarti kita harus
menjaga orisinalitas dan tetekon-tetekon atau pakem yang terdapat di
dalamnya. Menjaganya untuk tetap lestari menjadi beban moril mendalam bagi
diri kita. Namun bila kita memilih sikap yang kedua maka berinovasilah
sebebas mungkin, bila perlu berkresasilah yang benar-benar baru, seperti
para karuhun dahulu menciptakan karinding. Itu semua pilihan.
<http://www.facebook.com/photo.php?pid=30935873&fbid=1397445256954&op=1&view=all&subj=149502911757360&aid=-1&auser=0&oid=149502911757360&id=1256932396>
<http://www.facebook.com/photo.php?pid=30935874&fbid=1397446056974&op=1&view=all&subj=149502911757360&aid=-1&auser=0&oid=149502911757360&id=1256932396>

http://www.facebook.com/notes/denny-yanuar/karinding-alat-musik-karuhun-nan-unik/149502911757360

Kirim email ke