Sababaraha minggon kapengker kaleresan nonton warta di tv swasta DPR keur 
hoghag jeung wakil ti pamarentah menkes jeung ti ipb. Si DPR keukeuh pamarentah 
kudu ngumumkeun info susu ieu ka rahayat tapi pihak pamarentah keukeuh embung 
ngumumkeun.

Puguh jang sim kuring mah rada bingung kudu milih susu nu mana jang budak nu 
leutik kabeneran poe ieu pas 3 taun. Jeung deuih pernah meunang kiriman email 
ti babaturan duka bener henteuna mah daftar susu nu ngandung kuman ieu, 
kabeneran deuih susu anu sok diinum ku budak aya dina daftar. Ari ditanya 
kababaturan mah cenah eta daftar susu teh pengumuman sababaraha waktu katukang 
tipamarenata.

Cing susuganan aya baraya anu menang ingpo perkawis ieu rek google kompi keur 
ngadat deui rada telat ari meungan linkna teh.

Baktos
ERN
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Ii Sumirat" <sumi...@bdg.bumiputera.co.id>
Sender: kisunda@yahoogroups.com
Date: Tue, 22 Feb 2011 14:28:33 
To: <kisunda@yahoogroups.com>
Reply-To: kisunda@yahoogroups.com
Subject: [kisunda] Tulisan Soeryo Pratomo Ngeunaan Susu Formula bakterian

Urusan kukumanan... 
Sikuring neraskeun
  

Catatan Soeryo Pratomo Tentang Heboh Susu Formula Berbakteri

SALAH satu hal yang harus kita bisa lakukan adalah menjadikan bangsa
ini sebagai masyarakat berpengetahuan. Dengan itulah maka bangsa ini
akan mempunyai wawasan yang luas dan tidak terjebak dalam persoalan
yang sekadar menimbulkan ingar-bingar.

Beberapa hari belakangan ini kita diramaikan oleh perdebatan
berkaitan susu formula yang mengandung bakteri. Apalagi ketika
Mahkamah Agung memutuskan untuk mengumumkan susu formula yang ada di
pasaran, yang diduga tercemar Enterobacter sakazakii. Dengan alasan
untuk kepentingan publik, maka para peneliti Institut Pertanian Bogor
dan juga Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Kementerian Kesehatan
diharuskan mengumumkan secara terbuka nama susu formula yang didapati
tercemar bakteri.

Kita tidak bermaksud untuk tidak menaati keputusan MA yang
berkekuatan hukum tetap. Namun apa yang sedang terjadi sekarang ini
tidak sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan dan kebebasan yang
dimiliki oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitian bagi
kebaikan kehidupan manusia.

Mengapa kita sampai mengatakan seperti itu? Peneliti IPB yang
melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya Enterobacter
sakazakii di dalam susu formula, bukan sedang melakukan pemeriksaan
terhadap susu formula yang beredar di pasaran. Peneliti itu sedang
mencoba menemukan ada atau tidak bakteri sakazakii di dalam susu
formula.

Dari 22 sampel yang diambil, ditemukan adanya bakteri sakazakii
pada lima sampel. Langkah selanjutnya adalah mencoba mengetahui bahaya
dari keberadaan bakteri sakazakii tersebut di dalam susu formula.
Untuk itulah lalu dilakukan percobaan kepada mencit atau anak tikus
putih.

Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2003-2006 itu kemudian
dibawakan dalam forum ilmiah dengan diberi judul "Potensi kejadian
Meningitis pada Mencit Neonatus akibat infeksi Enterobacter sakazakii
yang diisolasi dari Makanan Bayi dan Susu Formula". Penelitian ini
dipublikasikan melalui website IPB pada tanggal 17 Februari 2008.

Di kalangan para peneliti, hasil penelitian seperti ini merupakan
sesuatu yang biasa. Bahkan dari debat ilmiah bisa dikembangkan lebih
lanjut bagaimana misalnya mengendalikan bakteri tersebut agar tidak
membahayakan kesehatan manusia. Atau kalau memang dianggap sangat
membahayakan kesehatan masyarakat bisa dimasukkan sebagai usulan
kepada BPOM maupun Kementerian Kesehatan untuk misalnya melakukan
penelitian lebih lanjut dan bahkan mungkin melarang susu formula yang
mengandung Enterobacter sakazakii untuk beredar di pasaran.

Hasil penelitian yang seharusnya didekati dari kacamata ilmiah
menjadi persoalan ketika dibawa menjadi bahasan awam di ranah publik.
Apalagi kemudian tidak ditempatkan konteks yang tepat bahwa yang
sedang dilakukan bukanlah pemeriksaan terhadap semua produk susu
formula yang ada di pasaran, tetapi pencarian terhadap ada atau
tidaknya bakteri sakazakii pada susu formula.

Kesalahkaprahan ini semakin menjadi-jadi ketika dijadikan ajang
untuk mencari sensasi. Penelitian ilmiah dibawa ke dalam ranah hukum.
Yang lebih menyedihkan, kini persoalan dibawa lagi ke ranah politik.
Anggota DPR begitu genit untuk seakan-akan membela kepentingan rakyat,
tanpa mencoba memahami duduk perkara penelitian yang sebenarnya
dilakukan.

Kalau persoalan ilmiah didekati dengan cara pandang yang tidak
ilmiah, maka pasti yang lebih mencuat adalah kontroversi. Kalau
peneliti selalu ditakut-takuti oleh cara-cara seperti itu, maka ilmu
pengetahuan Indonesia tidak akan pernah berkembang. Sepanjang kita
masih bersikap seperti itu, maka ilmu pengetahuan kita akan semakin
jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain.

Padahal bangsa lain justru mendorong ilmuwannya untuk melakukan
penelitian. Bangsa Korea misalnya sudah berhasil melakukan kloning
pada hewan. Dengan dasar ilmu pengetahuan itu, maka bangsa Korea
semakin melompat tinggi dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Apakah seorang peneliti bisa salah? Sebagai seorang manusia
biasa, pasti peneliti bisa salah. Namun kesalahan yang dilakukan
peneliti tidak bisa dikriminalkan. Kalau pun ada pelanggaran berat
yang dilakukan, itu harus dinyatakan bersalah terlebih dahulu oleh
Komite Etik Peneliti.

Kriminalisasi terhadap peneliti tidak bisa dibiarkan, karena itu
akan mempengaruhi kemajuan bangsa ini. Orang akan malas menjadi
peneliti, karena akan dihadapkan kepada hal-hal yang tidak masuk akal.
Padahal menjadi seorang peneliti tidak bisa begitu saja, tetapi harus
melalui jenjang profesional yang panjang.

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) harus turun tangan
untuk menyelesaikan kekisruhan yang terjadi sekarang ini. AIPI tidak
bisa membiarkan para peneliti kita dijadi-jadikan bulan-bulanan para
politisi yang butuh panggung ataupun para petualang yang membutuhkan
popularitas. AIPI harus tampil untuk mendudukkan perkara dan sekaligus
mengedukasi bangsa ini.

Jangan biarkan persoalan yang berkaitan dengan bakteri pada susu
formula menjadi persoalan IPB atau BPOM atau Kementerian Kesehatan
semata. Ini harus menjadi persoalan AIPI, karena ini akan mempengaruhi
nasib para peneliti Indonesia.

Bangsa ini tidak akan pernah mempunyai orang-orang sekelas
Albert Einstein, kalau kondisinya seperti ini. Padahal dari "kegilaan"
peneliti seperti itulah akan ditemukan sesuatu yang besar dan
bermanfaat bagi kehidupan bangsa ini. Dari penelitian-penelitian yang
jauh berwawasan ke depan akan bisa membawa Indonesia dikenal sebagai
negara terkemuka, karena ilmuwan-ilmuwannya mendapat penghargaan Nobel
dari hasil ketekunan melakukan penelitian.

Pilihan lain kita akan terus menjadi bangsa paria seperti
sekarang ini. Bangsa yang hanya ramai dalam berwacana, namun tidak
pandai dalam melakukan karya yang bermanfaat bagi kehidupan bangsa dan
negaranya.

-- 
Andi Irman
Public Relations Specialist
HP:0813-1088-1000




Kirim email ke