Fenomena bom bunuh diri yang dilegitimasikan atas nama agama sekarang ini 
terjadi juga di Indonesia. Biasanya kita hanya mendengarnya di Palestina atau 
negara-negara Timur Tengah untuk melawan Israel. Tiba-tiba istilah ini menjadi 
akrab buat kita di negeri kita. Sebenarnya bagaimana sih kok bisa ada bom bunuh 
diri? Apakah perbuatan ini dibenarkan dalam Islam? Benarkah mereka yang 
melakukannya demi jihad melawan kaum kafir? Siapakah kaum kafir itu?

Fenomena bom bunuh diri yang dilegitimasikan atas nama agama sekarang ini 
terjadi juga di Indonesia. Biasanya kita hanya mendengarnya di Palestina atau 
negara-negara Timur Tengah untuk melawan Israel. Tiba-tiba istilah ini menjadi 
akrab buat kita di negeri kita. Sebenarnya bagaimana sih kok bisa ada bom bunuh 
diri? Apakah perbuatan ini dibenarkan dalam Islam? Benarkah mereka yang 
melakukannya demi jihad melawan kaum kafir? Siapakah kaum kafir itu?

Pertanyaan-pertanyaan ini dibahas tuntas oleh Dr. Jalaluddin Rahmat, 
cendikiawan muslim dari Bandung yang baru-baru ini menerbitkan buku “Dahulukan 
Akhlak di atas Fiqh“ dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian 
Islam Utan Kayu, tanggal 11 September 2003, kamis lalu. Berikut petikannya:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Kang Jalal, sekarang ini kita banyak sekali menyimak 
tentang kasus bom bunuh diri, entah di Palestina, Riyadh, Casablanca, maupun 
Jakarta. Bom bunuh diri ini menjadi fenomena yang menakutkan karena semakin 
banyak jumlahnya. Yang paling ironis, aksi bom bunuh diri itu tak jarang 
menggunakan agama sebagai alasan pembenar. Secara umum, bagaimana Anda melihat 
fenomena bom bunuh diri ini?

DR. JALALUDDIN RAHMAT (KANG JALAL): Pertama, kita sekarang ini harus membedakan 
antara dua hal. Pertama, suicide bomber dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu 
sekelompok orang yang memperuntukkan dirinya sebagai bom untuk mempertahankan 
keyakinan ataupun memperjuangkan ideologinya. Yang kedua adalah orang yang 
sebetulnya tidak melakukan apapun tapi kemudian dinisbahkan pada dirinya 
predikat suicide bomber, pelaku bom bunuh diri. Saya menduga, apa yang terjadi 
di Indonesia adalah satu di antara kedua hal itu tadi.
Untuk kemungkinan yang pertama, suicide bomber-nya seringkali dinisbahkan 
dengan kelompok Islam, seperti di Maroko, Riyadh, dan Palestina. Padahal, 
sebetulnya secara statistik, tindak bunuh diri yang paling banyak frekuensinya 
justru yang dilakukan oleh kelompok Tamil Ilam di Srilanka. Tapi ajaibnya, 
kalau kita berbicara perihal suicide bomber, maka bayangan kita serta merta 
mengarah pada orang-orang Islam. Itu menurut saya kurang benar. Dalam 
sejarahnya, orang Jepang juga punya tradisi suicide bombing. Bahkan, kelompok 
Kamikaze adalah suicide bomber yang pertama, jauh sebelum orang-orang Islam 
melakukannya.

ULIL: Uniknya, alasan pembenar bom bunuh diri tak jarang diambilkan dari agama. 
Apakah masalah ini genuine berpijak dari landasan agama atau sempalan saja?

KANG JALAL: Saya kira, sebagian besar aksi suicide bombing memang genuine, 
memang didasari oleh satu keyakinan agama tertentu. Keyakinan seperti itu ada 
pada tiap agama. Pengebom Kamikaze di Jepang juga didasari ajaran Shinto dan 
untuk berkhidmat kepada kaisar. Di dalam Islam, kita juga mengenal ajaran 
tentang mati syahid. Sebetulnya, isu suicide bombing masuk dalam persoalan 
agama Islam agak ketinggalan jika dibandingkan dengan agama lain.
Pada masa awal-awal munculnya fenomena ini, kebanyakan orang Islam tidak 
menyetujuinya. Dulu, ketika pasukan Hizbullah dari Libanon melakukan bom bunuh 
diri, dari Mesir keluar fatwa yang menyatakan bahwa bom bunuh diri adalah 
perbuatan yang berkonsekuensi dosa yang besar. Jadi pelaku bom bunuh diri kelak 
masuk neraka, kata mereka. Jadi bom bunuh diri tidak dibolehkan dalam Islam. 
Tapi yang agak aneh, belakangan ulama-ulama Nahdlatul Ulama, dalam salah satu 
keputusannya mengatakan bahwa bom bunuh diri bisa dibenarkan untuk pembelaan 
atas agama dan penentangan atas kezaliman.

ULIL: Secara doktrinal, ajaran tentang jihad banyak dianggap sebagai biang 
berbagai aksi bom bunuh diri. Para pelaku bom Bali seperti Amrozi dan Imam 
Samudra tampak bangga sekali atas perbuatannya dan menjadikan doktrin jihad 
sebagai pengesah. Bagaimana tanggapan Anda?

KANG JALAL: Saya tidak mau berpegang pada data berupa ucapan Amrozi di depan 
media massa atau sebagaimana yang didramaturgikan oleh aparat-aparat kita. 
Memang, ada suatu kenyataan, bahwa di dalam Islam kita didorong—dengan merujuk 
pada teks-teks Alqur’an dan Hadis—untuk mati di jalan Allah, terbunuh di jalan 
yang diridhai Allah. Imam Ali misalnya pernah berkata, “Aku tidak perduli 
apakah maut mau menjemputku atau aku yang menjemput maut.” Jadi, ada semacam 
suatu kebanggan tersendiri untuk bisa mati secara syahid.
Saya kira, banyak sekali teks Alqur’an yang menyebutkan keutamaan orang-orang 
yang terbunuh di jalan Allah. Saya mengemukakan berbagai dalil itu untuk 
menunjukkan bahwa tidak terlalu mengherankan bila ada saja beberapa orang yang 
lantas berpegang pada teks-teks yang tersedia itu untuk melakukan tindak-tindak 
kekerasan, ngebom, memusuhi ataupun mengusahakan kehancuran bagi orang-orang 
yang dia persepsi sebagai musuh-musuh Islam.

ULIL: Termasuk para pelaku pemboman di negeri kita?

KANG JALAL: Dalam pengadilan mereka tampak ragu-ragu dengan keyakinan mereka 
itu. Tapi saya hanya akan menganalisis soal bom bunuh diri secara konseptual 
bukan berdasarkan tokoh-tokoh bom bunuh diri seperti yang ditampakkan di 
Indonesia. Sebab, bagi saya, tentang hal itu ada cerita yang lain. Mengapa 
mereka tampak ragu-ragu di pengadilan? Ini kalau kita amati agak berbeda dengan 
bom bunuh diri yang dilakukan kelompok Hizbullah di Libanon misalnya. Di sana 
biasanya dilakukan secara terbuka dan diketahui. Biasanya juga para pelaku bom 
bunuh diri tersebut melancarkan tindakannya berdasarkan izin dari imam meraka. 
Maka dari itu, tidak sembarang orang bisa membuat tafsiran bahwa tindakan yang 
mereka lakukan adalah jihad fi sabilillah.

ULIL: Tapi siapa tahu para pelaku bom Bali ini juga diberi izin oleh imamnya?

KANG JALAL: Boleh jadi. Cuma ada fenomena yang membedakan masalah kita di sini 
dengan di luar negeri. Orang-orang yang hadir di bumi Indonesia sekarang ini 
adalah tokoh-tokoh yang seakan-akan didatangkan dari planet lain. Kita tidak 
mengenal siapa Amrozi sebelumnya. Dia bukan aktivis, bukan juga apa-apa. 
Tiba-tiba kita mengenal Amrozi dan lain-lain pertama kalinya dari majalah Time. 
Tampaknya, cerita berikutnya seperti mengikut saja apa yang dikisahkan Time 
tentang tokoh-tokoh seperti Hambali, Amrozi, dan lainnya itu.
Maka dari itu, menurut saya, tidak heran kalau mereka muncul di muka pengadilan 
dalam keadaan ragu-ragu. Saya tidak yakin mereka-mereka itu berada dalam sebuah 
jaringan sebuah gerakan Islam dan berjuang betul-betul atas dasar ideologi 
Islam itu sendiri.

ULIL: Kang Jalal, tadi anda membenarkan adanya beberapa doktrin yang bisa 
diselewengkan untuk tindak kekerasan. Lantas bagaimana menyikapi sejumlah 
doktrin semacam itu?

KANG JALAL: Saya kira, yang sering orang lupakan, para ulama dulunya sudah 
merumuskan bahwa tindakan kekerasan memang ada, tapi hanya dapat dibenarkan 
dengan beberapa kriteria tertentu. Pertama, kekerasan hanya sah dilakukan dalam 
suasana perang. Dalam konteks adanya darul harb misalnya. Kedua, perang hanya 
boleh dilakukan apabila kita dalam posisi diserang. Dalam posisi demikian, kita 
memang harus melakukan perlawanan. Membiarkan kezaliman berlangsung tanpa 
perlawanan jelas tidak dibenarkan. Ketiga, dalam situasi perang, kita terlarang 
untuk menyakiti rakyat sipil yang tidak berdosa. Jadi perang harus diarahkan 
pada pihak militer atau kaum agresor yang memang nyata-nyata menyerang kita.

ULIL: Bukankah jihad yang dulu dipraktikkan Nabi atau penguasa-penguasa Islam 
setelah itu selalu dideklarasikan secara resmi oleh penguasa yang sah, bukan 
oleh kelompok-kelompok tertentu atau laskar-laskar liar?

KANG JALAL: Kalau kita dibenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan dalam 
bentuk jihad fi sabilillah misalnya, maka akan timbul masalah lain. Yaitu 
masalah penafsiran orang tentang jihad yang bisa bermacam-macam. Penafsirannya 
bisa saja sangat individualis, dan itu bisa menimbulkan suasana chaos. Bisa 
terjadi perang sipil antara kita sendiri.
Misalnya, kelompok ulama di Jawa Barat mengangkat isu jihad untuk memerangi 
Ulil Abshar-Abdalla, dan mereka menganggap itu sah. Nantinya, mungkin Jaringan 
Islam Liberal pun bisa mengklaim diri berjihad (kalau ada keberanian) atas 
dasar penafsirannya. Akhirnya terjadilah pertengkaran. Karena itu, diperlukan 
sebuah lembaga resmi untuk mengatasi ikhtilaf (perbedaan).
Mereka yang pernah belajar ilmu Ushul Fikih mungkin tahu, bahwa percekcokan 
bisa diselesaikan dengan keputusan pemilik otoritas. Nah itulah yang membedakan 
kelompok bom bunuh diri di sini dengan yang di Libanon. Di sana jelas ada Imam 
Syiah yang memberi otorisasi sehingga penafsiran tidak diserahkan secara 
serampangan kepada individu-individu atau kelompok tertentu saja.

ULIL: Bagaimana dengan klaim kalangan teoriris itu bahwa mereka berjuang demi 
menegakkan syariat Islam?

KANG JALAL: Sejak pertama kali saya berpikir bahwa mereka bukan orang yang 
betul-betul berjuang untuk Islam. Walaupun dari liputan media kita tahu mereka 
mengesankan diri sedang berjuang menegakkan syariat Islam atau for whatever. 
Hanya saja, saya adalah orang yang selalau dididik untuk kritis terhadap media, 
dan pemaknaaan yang diberikan oleh sebuah media. Saya tidak percaya mereka 
berjuang atas dasar nilai-nilai perjuangan Islam.

ULIL: Ada banyak kalangan yang menyayangkan sikap kalangan ulama yang kurang 
proaktif melakukan delegitimasi atas klaim jihad mereka. Tanggapan Anda?

KANG JALAL: Saya kira, sudah banyak reaksi penentangan yang dilakukan oleh 
kalangan ulama kita, baik secara resmi maupun tidak resmi atas aksi bom bunuh 
diri di Indonesia dan berbagai tindakan kekerasan lainnya. Jadi, tidak benar 
juga kalau ulama kita disebut diam saja. Tapi catatan kecil yang perlu saya 
kemukakan, memang betul sebagian ulama masih saja melihat aksi seperti itu 
sebagai aksi jihad di jalan Allah, dan terbunuh di jalan Allah adalah sangat 
mulia. Masalahnya sekarang adalah, apa kriteria suatu perjuangan itu bisa 
disebut di jalan Allah?

ULIL: Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering 
diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah 
konsep ini sudah tepat penggunaannya?

KANG JALAL: Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, 
dia ada di dalam Alqur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus 
merekonstruksi maknanya lagi—bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata 
kafir dan derivasinya di dalam Alqur’an selalu didefinisikan berdasarkan 
kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah 
didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang 
nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Alqur’an. Misalnya disebutkan 
bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam 
Alqur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak 
bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd 
(kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar 
(nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan 
dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia 
lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau 
keyakinan, seperti yang kita ketahui.

ULIL: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa 
juga disebut orang kafir?

KANG JALAL: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an tentang konsep 
kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata 
pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman 
aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada 
anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna 
kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, 
bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan 
percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut 
Alqur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata 
beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, 
“Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam 
kelaparan.”[]


www.ahmadsahidin.wordpress.com




------------------------------------

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/kisunda/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/kisunda/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    kisunda-dig...@yahoogroups.com 
    kisunda-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    kisunda-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke