- mangga tah tiasa dibaca:  sugan we raresepeun. mani siga mintardja:


Sinopsis: 

Prahara Di Galuh Pakuan

Gugurnya Prabu Maharaja Linggabuana
Gadjah Mada Perlaya


 

[a] Mendung di Dayeuh Pakuan semakin tebal ketika Prabu
Maharaja Linggadewata sakit keras dan Putra Mahkota Rahiyang Satriadewa justru
tidak berada di Kadaton Suradipati, sementara beberapa kerabat istana dan 
senapati
Sunda tengah merencanakan pengambilalihan kekuasaan, bekerja sama dengan
beberapa bangsawan, senapati dan prajurit Majapahit, yang tidak mendapat restu
Maharaja Putri Tribuana Tunggadewi, yang mulai berdatangan memasuki Kotaraja 
Pakuan.

 

Rakean Munding Lelean, Rahiyang Ragamulya Luhur Prabawa,
Rahiyang Aji Wangi Linggabuana dan Rakean Braja Niskala yang sedang menempuh
perjalanan dari Galuh ke Dayeuh Pakuan mengetahui adanya rencana itu dan
menemui Ki Patih Sunda Rahiyang Jawok Panunggal.

 

Pertempuran sengit terjadi antara Rahiyang Limburwesi dan
pengikutnya, yang didukung beberapa bangsawan dan senapati Majapahit, melawan
Ki Patih Sunda Jawok Panunggal dan Munding Lelean yang mempertahankan
kehormatan dan kewibawaan Sunda dan Maharaja Linggadewata.

 

Cerita berkembang ketika Putra Mahkota gugur di
peperangan melawan pemberontak dan Maharaja Linggadewata mangkat karena sakit. 
Penetapan
raja baru di Kerajaan Sunda mengalami ketegangan, namun berhasil teratasi.
Namun ketegangan itu telah memaksa Prabu Maharaja Sunda Rahiyang Linggawisesa,
yang baru diangkat menjadi raja baru di Sunda, memindahkan pusat Kerajaan Sunda
ke Kadaton Surawisesa di Kawali, di dekat puseur dayeuh Kerajaan Galuh.

 

Pertentangan akibat perebutan kekuasaan, ketamakan,
kebencian, dendam dan keinginan untuk memperoleh wahyu keraton dan senjata 
pusaka
telah menjadikan Kerajaan Sunda tidak pernah sepi dari pertentangan dan dendam.

 

Namun mendung di atas Kadaton Surawisesa di Kawali
terjadi lagi ketika Maharaja Linggawisesa mangkat dan digantikan putrandanya
Aji Wangi Linggabuana. Bahkan Prabu Maharaja Linggabuana kemudian harus
melakukan perjalanan jauh melalui Sungai Citarum dan pantai utara ke puser 
dayeuh
Majapahit untuk mengantar Sang Mahadewi Dyah Pitaloka yang akan menjadi
permaisuri Prabu Maharaja Hayam Wuruk. 

 

Maka terjadilah prahara di Bubat yang membuat Kerajaan
Sunda menjerit maratan langit. Prabu Linggabuana gugur, Dyah Pitaloka belapati,
dan para perwira dan kesatria kerajaan gugur.

 

[b] Namun Rakean Braja Niskala berhasil menyelamatkan
diri setelah dibantu oleh Panglima Pasukan Berkuda Kerajaan Majapahit Gajah
Enggon. Bahkan Gajah Enggon telah menemui Prabu Hayam Wuruk yang kemudian 
diperintahkan
untuk meminta maaf kepada Hyang Bunisora, rayinda Prabu Linggabuana. 

 

“Bakti hamba kepada Mahapatih Mangkubumi Sang Rahiyang Bunisora,”
kata Braja Niskala.

 

“Pamanda Braja Niskala, bangunlah. Tidak semestinya Pamanda
berbuat demikian yang membuat aku menjadi tidak enak hati,” kata Sang Guru
Jampang Hyang Bunisora.

 

[c]

“Ilmu puncak Bongas Amparan adalah ilmu yang sangat
berbahaya, Aji Sangga Buana, ilmu yang sulit dicari bandingnya pada saat
Kerajaan Singasari,” desis Ki Mara di dalam hatinya.

Karena itu, ketika Bongas Amparan itu meloncat dengan
kecepatan yang sangat tinggi, secepat petir menyambar, maka Ki Mara itupun
kemudian telah meloncat pula menyambut Bongas Amparan. Kedua tangannya yang
menyilang dengan jari-jari yang mengepal direntangkannya ke depan untuk
menyambut pukulan tangan Bongas Amparan dalam ilmu puncaknya.

Benturan dua ilmu yang dashyatpun terjadi dan menimbulkan
ledakan yang menggetarkan. Rumah Ki Dukuh dan pepohonan tampak bergetar.
Daun-daun yang menguning telah rontok ke bumi.

Sekejap setelah benturan terjadi, tubuh Ki Mara telah
terdorong surut ke belakang dan kemudian jatuh berguling-guling ke belekang
dengan kerasnya. Sesaat kemudian dia terlentang. Wajahnya tampak menegang dan
menahan sakit yang tidak terkira di dadanya, sedangkan dari sela-sela bibirnya
terlihat darah kehitam-hitaman mengalir ke luar.

Bukan hanya Ki Mara. Tubuh Bongas Amparan juga telah
terlempar beberapa tombak setelah benturan terjadi. Bongas Amparanpun kemudian
telah terlentang. Terdengar keluhan, sedangkan kedua tangannya menekan dadanya.
Dari sela-sela bibirnya telah pula ke luar darah yang kehitam-hitaman.

 

[d]

Prabu Ragasuci kemudian telah membagikan pusaka itu
secara adil kepada para putranya, Rahiyang Citraganda memperoleh Kujang
Sanghyang Jago, Rahiyang Handap Ageung mendapatkan Kujang Sanghyang Ciung
Wanara, sedangkan Rahiyang Salaka Adyamanah menerima Trisula Sanghyang Tapak
Ragamanah. 

Namun Mahaprabu Ragasuci yang merasa lebih asih kepada
putra bungsunya, telah pula menyerahkan Sanghyang Bangkong Ngora kepada
Rahiyang Salaka Adyamanah itu. Kenyataan itu membuat Rahiyang Citraganda yang
menjadi Putra Mahkota merasa tidak senang.

 

[e]

“Namun ternyata Aji Brajawisesa Ki Teja Nunggal benar-benar telah
sempurna,” desis Kiai Munding Lelean.

“Tuan. Sesungguhnya tidak ada ilmu yang sempurna itu, karena yang sempurna
itu hanya milik Gusti Yang Maha Agung,” kata Ki Teja Nunggal perlahan. “Jika
hamba dan adik hamba memiliki Aji Brajawisesa yang diciptakan oleh Mahaprabu
Brajawisesa pada masanya itu, sesungguhnya merupakan karunia bagi hamba berdua,
karena sesungguhnya hamba bukanlah orang-orang dari keturunan Ksatria,” katanya
lagi.

Kiai Munding Lelean itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jika Tuanku Rakean Galih Sundabuana mengizinkan hamba berdua menguasai Aji
Brajawisesa itu, maka tujuannya adalah agar ilmu itu tidak sirna, dan menjadi
kewajiban hamba untuk mewariskannya kepada orang-orang yang pantas dan
terpilih,” kata Ki Teja Nunggal sambil menundukkan kepalanya.

“Aku mengerti Ki Teja Nunggal. Pamanda Galih Sundabuana merasa cemas bahwa
ilmu itu akan semakin hilang, sedangkan Pamanda tidak bisa berbuat apa-apa
dalam pewarisan ilmu itu kepada para putranya karena Pamanda harus terus
bersembunyi dari kejaran Pamanda Rakean Jabung Palima dan Rakean Limburwesi
yang menginginkan pusaka itu,” kata Kiai Munding Lelean.

Sementara itu keadaan di dalam goa itu kini semakin gelap setelah matahari
sama sekali telah hilang di cakrawala. 

“Ki Teja Nunggal, ruangan di dalam goa ini demikian gelapnya, apakah kita
akan ke luar sekarang?” tanya Kiai Munding Lelean.

 

[f]


“Bahkan kini aku mendengar pengaruh Rakean Limburwesi dan
putranya Rakean Jagat Balungbeusi telah membuat Kadaton Suradipati menjadi
memanas, para panglima dan senapati telah saling mencurigai dan mulai berpihak
serta mencari keuntungan. Bahkan ketika Mahaprabu Linggadewata kini sedang
sakit, Rakean Limburwesi diduga telah melakukan hubungan dengan para bangsawan
dan senapati di Majapahit untuk menjadikan Sunda menjadi taklukkan Majapahit,” 
kata
Kiai Munding Lelean.

“Apakah orang-orang Majapahit itu mendapat restu dari
Sang Ratu Majapahit Tribuana Tunggadewi?” tanya Raden Raga.

“Tentu tidak, meskipun aku belum bisa memastikannya.
Untuk itulah aku harus segera bertemu dengan Mahapatih Sunda Rakean Jawok
Panunggal,” kata Kiai Munding Lelean.

“Apakah keuntungan orang-orang Majapahit itu dengan
menaklukkan Sunda?” tanya Raden Raga.

“Banyak alasan. Mereka kerajaan besar. Tentu banyak pihak
yang ingin mencari keuntungan, ingin memperoleh pujian, kamukten, ingin
memperoleh kekuasaan, atau bahkan harta benda. Selalu saja ada orang-orang yang
ingin memaksakan kehendaknya, merasa paling berkuasa, paling benar,” kata Kiai
Munding Lelean.

Raden Raga itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apalagi
ketika orang-orang Majapahit itu telah mendapat dukungan dari kalangan dalam di
Kadaton Suradipati sendiri,” desis Raden Raga.

“Mungkin juga sebaliknya. Orang-orang Sunda yang
menginginkan kekuasaan kemudian membujuk atau menjebak orang-orang Majapahit
untuk membantu mereka merebut kekuasaan, baru setelah itu orang-orang Majapahit
itu akan dimusnahkan,” desis Kiai Munding Lelean.

“Paman benar. Semua bisa terjadi. Bahkan bisa jadi
kedua-dua pihak saling memengaruhi, saling memberikan dukungan untuk tujuan
yang berbeda,” kata Raden Raga tersendat.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Ki Teja Nunggal?” tanya
Kiai Munding Lelean.

“Tuan, hamba adalah orang yang tidak memiliki pengetahuan
apapun selain kesetiaan. Tetapi sebaiknya Tuan segera bertemu Mahapatih Sunda
yang telah menyampaikan pesan agar Tuan segera ke Dayeuh Pakuan,” kata Ki Teja
Nunggal.

Kiai Munding Lelean itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia
mengambil napas yang dalam. “Baiklah. Aku memang harus menemui adikku itu,”
desisnya. [/]: ceritasilatsu...@wordpress.com


Kirim email ke