Bayangan Kematian  
Oleh JALALUDDIN RAKHMAT

Waktu itu, malam tahun baru. Usai sholat maghrib, kami mengadakan 
pengajian singkat menyambut tahun baru. Saya menyarankan agar 
masing-masing merenungkan makna tahun baru bagi dirinya. Jama’ah diam. 
Pengajian tampak seperti upacara mengheningkan cipta. Kami tesentak 
ketika wak Haji, yang tertua diantara kami, memecahkan kesunyian, “Saya 
kira tidak layak menyambut tahu baru dengan pesta. Bukankah tahun baru 
adalah berita duka ? Bukankah setiap tahun baru mengantarkan kita lebih 
dekat ke kuburan ? Pada tahun-tahun yang lalu, maut telah mengambil 
kawan-kawan atau keluarga kita. Lalu, siapa yang akan dijemput maut 
tahun ini ?”
Wak Haji sudah berusia 89 tahun, walaupun tampak sehat dan kuat. Ia 
taat beribadah, selalu sholat berjama’ah. Ia datang ke Mesjid sejam 
sebelum adzan subuh. Walaupun hidup dalam usai senja, ia senang 
bercanda. Karena itu agak mengherankan bila tahun ini ia kedengaran 
pesimis. Mungkinkan itu pertanda bahwa boleh jadi tahun ini ia 
meninggalkan kami ?

“Apakah orang sholeh takut menghadapi kematian ?” tanya seseorang yang 
mengarahkan pertanyaanya kepada saya. “Saya selalu dihantu rasa takut 
mati. Mungkin karena saya tidak sholeh. Wak Haji benar. Tahun baru 
adalah berita duka. Seperti napi yang akan dihukum gantung, saya 
melihat, setiap dentang jam membawa saya lebih dekat ke tiang gantungan.
 Adakah kiat untuk mengobati takut mati ?”
Saya jawab bahwa orang sholehpun takut mati. Salah seorang cucu 
Rasulullah dikenal sebagai Wali Allah. Ia banyak beribadah, sehingga 
diberi gelar Zayn al-’Abidin. Tapi dengarkan doanya, “Kepada-MU aku 
berlindung dari habisnya usia sebelum siap sedia”. Jadi orang sholehpun 
takut mati. Yang membedakan kita dengan orang sholeh adalah alasan yang 
menyebabkan takut mati Kita takut mati karena keterikatan dengan dunia. 
Kalau saya mati, siapa yang akan menjaga kepentingan anak-anak saya, 
siapa yang akan mengurus perusahaan saya, siapa yang mengamankan 
kekayaan saya. Orang sholeh takut mati karena ia merasa belum cukup 
bekal. Ia khawatir akan “habisnya usia sebelum siap sedia”.
Dalam doa yang lain, Zayn al-’Abidin berkata, ” Siapa gerangan yang 
keadaannya lebih jelek dari diriku, jika dipindahkan dalam keadaanku 
sepeti ini, aku dipindahkan ke kuburanku. Aku belum menyiapkan 
pembaringanku. Aku belum menghamparkan amal sholeh untuk tikarku. 
Bagaimana aku tidak menangis, padahal aku tidak tahu akhir perjalananku. 
Kulihat nafsu menipuku dan hari-hari melengahkanku. Padahal maut telah 
mengepak-ngepakan sayapnya di atas kepalaku. Bagaimana aku tidak 
menangis, kalau kukenang saat aku menghembuskan nafas yang terakhir. Aku 
menangis karena kegelapan kubur, aku menangis karena kesempitan 
lahadku, aku menangis karena aku akan keluar dari kuburku dalam keadaan 
telanjang, hina, sambil memikul dosa di atas punggungku.
Walhasil, kalau takut mati karena belum cukup bekal, peliharalah rasa takut 
itu. Tidak perlu kita menghilangkannya. Ingat kepada kematian 
mendorong manusia berbuat baik. Ia akan menjadikan amal sholeh sebagai 
bekal untuk kehidupan sesudah kematian. Sadar akan kematian berarti 
sadar akan ketiaadaan Ego dan “nonbeing”. Bila kita harus mengakhiri 
semuanya dengan kematian, masih absahkah kebiasaan kita untuk 
terus-menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita ? Bukankah 
hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita “memberikan diri” kita buat 
kebahagiaan orang lain ? Dengan menghancurkan Ego, kita memasukkan orang lain 
(the otherness) kedalam eksistensi kita.
Joel Kovel mengamati dengan cermat dunia modern yang disebutnya 
sebagai “dunia tanpa ruh”. Dalam “History and Spirit: An Inquiry into 
the Spirit of Liberation”, Kovel menawarkan pembebasan manusia dari 
Egonya dengan memasukkan spiritulitas ke dalam kehidupan. Salah satu 
caranya ialah menyadarkan manusia akan kematian. “Termasuk ke dalam 
spiritualitas adalah kesediaan untuk mati. Hidup yang bermakna adalah 
kehidupan yang telah menerima orang lain dan mempersiapkan dirinya untuk mati. 
Ini tidak berarti bahwa dia adalah wujud yang ingin mati. 
Sebaliknya, jiwa sempurna memandang hidup ini lebih indah dan lebih 
intens. Sungguh, kesadaran akan adanya kematian, visi tentang bayangan 
maut, tidak lain daripada menjadikan kehidupan sebagai titik pandang 
utama”.
Tuhan mendampingkan kematian dan kehidupan pada ayat yang sama, 
tetapi Dia menyebut kematian lebih dahulu daripada kehidupan. Dia 
menegaskan bahwa kehidupan hanya bermakna dengan latar belakang 
kematian. Keduanya didampingkan sebagai ujian untuk mendorong manusia 
beramal sholeh.
“Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu, siapa 
diantara kamu yang lebih baik amalnya” (QS 67:2)
Rasulullah saw mendampingkan maut dengan Alqur’an. Rasulullah 
bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang 
pertama memberikan peringatan dengan pembicaraannya. Yang kedua 
memberikan peringatan dengan kebisuannya. Yang pertama, Alqur’an dan 
yang kedua adalah kematian”.
Ternyata Wak Haji yang tampak sehat dalam usianya yang hampir seabad 
adalah orang yang mendengarkan peringatan Alquran tentang kematian. 
Ketika permulaan tahun baru mengingatkan banyak orang akan rencana 
hidupnya, Wak Haji mengingatkan kita akan rencana kematian kita. Di 
dekat Baitullah, saya melihat seorang mantan pejabat tinggi berdoa 
dengan khusyuk. Air mata tergenang di dipelupuknya. Ia menyadari, ia 
berada pada hari-hari akhir hidupnya. Ia pulang ke tanah air. Di hadapan 
anak-anaknya, ia berkata, “Hidup kita akan lebih bermakna bila kita 
bermanfa’at bagi orang lain”. Seperti Wak Haji, Alquran dan kematian 
telah memberikan kepadanya kehidupan yang lebih manis dan lebih 
mendalam.[]
Diambil dari buku REFORMASI SUFISTIK karya Jalaluddin Rakhmat (Pustaka Hidayah, 
Bandung)
 
www.ahmadsahidin.wordpress.com

Kirim email ke