Rupa-rupa tafsiran nu kungsi kabaca teh. Saheulaanan mah, keur batur ngopi
sore. Tah aya tafsiran Yacob Sumardjo.
===

"Salawe Nagara"
Oleh Jakob Sumardjo

DALAM pantun Panggung Karaton, Prabu Siliwangi menyerahkan peta kepada
putranya, Raden Wangi, agar mencari negara yang "berpulau tiga puluh tiga
dan berbengawan 65" untuk dijadikan kerajaannya. Ungkapan semacam itu juga
dikenal di Tangtu Baduy, yaitu "nagara satelung puluh teulu, bagawan
sawidak lima, pancer salawe nagara."

Apakah yang tersembunyi di balik "pulau 33, sungai 65, dan 25 negara?"
Kalau ungkapan semacam itu berulang-ulang dikenal dan diucapkan, tentulah
mengandung satu makna penting bagi masyarakat Sunda. Itulah semacam
peribahasa atau pikukuh adat mengenai kehidupan bernegara di Sunda.

Ada semacam matematika Sunda yang penuh dengan angka-angka, seperti tunggal
alias satu, dua, tiga, lima, enam, tujuh, sembilan, dua belas, dua puluh
lima, tiga puluh tiga, empat puluh, enam puluh lima, seratus dua puluh
lima, dan sebagainya. Hitungan-hitungan itu senantiasa membentuk sistem
hubungan tertentu yang memiliki makna kualitas tertentu pula. Matematika
ini adalah cara berpikir masyarakatnya.

Bagi orang modern, angka-angka dan penjumlahan semacam itu hanya berlaku
nominal belaka. Akan tetapi bagi masyarakat Sunda lama, bahkan sampai
sekarang juga terutama di desa-desa, angka-angka punya makna keramat. Ada
angka-angka "suci" dan angka-angka "profan". Angka-angka suci itu
mengandung kerohanian yang mendatangkan kualitas-kualitas transenden.
Jangan bermain-main dengan angka dan jangan meremehkan angka-angka.

Marilah kita mulai dengan angka 33 dan 65. Mengapa angka-angka ini begitu
penting dalam cerita pantun dan pikukuh Baduy. Matematika 33 harus dibaca
sebagai sistem mandala. Mandala adalah ruang manusia tertentu yang dihadiri
oleh daya-daya transenden, kekuatan, kuasa, kesucian, kegaiban, yang
adikodrati (supranatural). Ruang itu disimbolkan dalam bentuk bujur sangkar
imanen, sedangkan daya-daya adikodratinya disimbolkan dalam bentuk
lingkaran yang berimpitan dengan bujur sangkar sehingga simbol mandala
disebutkan sebagai "lingkaran dalam bujur sangkar atau bujur sangkar dari
lingkaran."

Hadirnya yang transenden di dunia imanen ini diharapkan oleh mereka yang
berpikiran religius. Manusia tidak berdaya dalam beberapa persoalan
hidupnya sehingga mengharapkan dan memohon agar daya-daya transenden hadir
di dunia manusia untuk mengatasinya. Itulah antropologi yang sudah terjadi
sejak manusia berada di dunia ini, sedangkan pemikiran mandala ini masuk
Indonesia pada zaman Hindu Buddha Indonesia.

Mandala adalah ruang bujur sangkar dunia ini. Mengapa bujur sangkar? Karena
mengandung empat sisi yang sama. Jadi, ada dua pasangan kembar sisi-sisi
itu menempati arah ruang yang saling berlawanan, yakni utara berhadapan
dengan selatan, dan timur berhadapan dengan barat. Hal-hal berlawanan di
dunia ini harus disatupadukan secara imbang dan harmonis di tengah-tengah
bujur sangkar atau tengah-tengah lingkaran. Entitas pusat ini menghimpun
kualitas-kualitas atau potensi-potensi "diam" keempat entitas yang saling
berlawanan sehingga melahirkan entitas baru di pusatnya mengandung
aktualisasi potensi-potensi dinamisnya. Itulah sebabnya entitas pusat
menjadi sakramen alias dijadikan suci. Dan yang suci ini kualitas
transenden yang mengandung daya-daya gaib buat kepentingan manusia. Yang
suci atau keramat akan mendatangkan berkat. Karena nilainya yang demikian
itu, pusat yang sakramen, suci, penuh daya-daya itu tidak boleh disentuh
atau tabu. Orang-orang Baduy menyebutnya sebagai buyut.

Kembali ke angka 33. Dibaca dalam bahasa mandala, angka 33 terdiri dari
himpunan 32 dan 1 pusat. Angka 33 kalau dibagi dalam bujur sangkar mandala
yang empat akan menjadi 8 mandala. Jadi 33 adalah 8 mandala dengan satu
pusat yang buyut. Angka delapan juga menunjuk pada arah ruang yang lain,
yakni barat laut, barat daya, timur laut, dan tenggara. Semakin banyak
ruang berlawanan yang dihimpun pusat, maka semakin tinggi kualitas
buyut-nya.

Dengan demikian, angka 33 tidak lain adalah mandala besar yang terdiri dari
1 pusat yang dikitari 32 sudut ruang yang saling berlawanan. Sebutlah
"pusat" itu Galuh atau Pajajaran. Galuh adalah buyut pusat yang disakralkan
oleh 32 buyut-buyut lain (tak jelas perkampungan atau raja-raja daerah).

Akan tetapi, mengapa 33 pulau? Bukankah tanah Sunda ini daratan belaka?
Makna "pulau" ini harus kita hubungkan dengan 65 bengawan atau sungai.
Sungai-sungai besar dan kecil di seluruh Sunda ini sangat banyak, lebih
dari 65 sungai. Mengapa hanya disebut 65 bengawan? Dibaca secara mandala,
65 adalah 1 pusat dengan 64. Dan 64 jelas perkalian dua dari 32.
Hubungannya adalah bahwa 1 pulau memerlukan hadirnya 2 sungai. Jelasnya, 1
pulau atau 1 buyut atau 1 mandala memerlukan hadirnya 2 sungai.

Teka-teki ini terjawab kalau orang pergi ke Kawali, Susuru, dan
Karangkamulyan di daerah Ciamis-Banjar. Situs Kawali ternyata dikepung
sungai-sungai sehingga merupakan sebuah "pulau" dari daratan sekitarnya.
Sungai "pusat" adalah Cimuntur yang mengalir dari arah utara (daerah
bukit-hutan Panjalu) ke selatan sampai Karangkamulyan di Bojong, kemudian
bertemu dan bersatu dengan Sungai Citanduy yang lebih besar.

Situs Kawali berada di sisi kanan dari arah hulu Cimuntur, sedangkan di
utaranya mengalir Sungai Cikadongdong, di selatannya Sungai Cibulan. Dan di
sebelah barat situs itu digali terusan yang menghubungkan Sungai
Cikadongdong dan Sungai Cibulan, disebut Cigarunggung. Dengan demikian,
situs Kawali merupakan "pulau". Dan pulau itulah berisi buyut Kawali, yang
sekarang dinamai Astana Gede.

Keadaan serupa juga terdapat di Susuru di daerah Bojong, Kalurahan
Karangsari. Di Susuru (tanaman sejenis kaktus?) di sisi kanan Sungai
Cimuntur dari arah hulu terdapat situs tua juga. Situs itu berada persis di
pertemuan Sungai Cimuntur dengan Sungai Cileuer. Pertemuan kedua sungai itu
begitu rupa sehingga membentuk semacam pulau berbentuk dataran tinggi yang
hanya dipisahkan oleh jalan masuk dua meter yang diapit dua jurang terjal.
Situs itu menjulang tinggi dari kedua aliran sungai sehingga dapat dibuat
14 tingkatan sampai ke puncaknya. Itulah buyut Susuru.

Di situs Karangkamulyan, pulau itu muncul lagi. Karangkamulyan berada di
tepi kanan Cimuntur yang bertemu dengan Sungai Citanduy. Dan antara
Cimuntur dan Citanduy digali terusan atau parit sehingga situs
Karangkamulyan dikepung aliran-aliran sungai dan menjadi pulau. Bekas parit
itu masih bisa dilihat sekarang, tapi sudah kering, dan sebagian dipotong
jalan raya Banjar-Ciamis.

Begitulah, sudah jelas bahwa 33 pulau dan 65 bengawan dimaksudkan sebagai
33 kabuyutan yang dibentuk di antara pertemuan dua sungai atau tiga sungai,
bahkan kalau perlu dibikin sungai buatan atau terusan berupa parit
(walungan). Jumlah 33 dengan 65 cocok dalam hitungan matematika
spiritualnya. Atau sekurang-kurangnya ungkapan para puun Tangtu dapat
dibuktikan dalam realitas.

Sekarang tinggal memecahkan misteri Salawe Nagara. Lengkapnya ungkapan
tersebut seperti ini:

Buyut yang dititipkan kepada puun
Nagara tiga puluh tiga
Sungai enam puluh lima
Pancar dua puluh lima negara.

Dibaca dalam bahasa mandala, maka 25 terdiri dari 1 pusat dengan 24 unsur
penyatunya. Akan tetapi mengapa 24? Bukankah itu berbeda dengan hitungan
matematika Sunda yang 4,8,32, dan 64? Inilah cara berpikir rohaniah Sunda
yang sebenarnya. Angka 24 Merupakan perkalian 3 dari 8. Angka 4 dan 6 jelas
bermakna mandala tanpa dihitung pusatnya yang hanya satu. Sebutan 3 itu ada
di mana-mana di Sunda. Tritangtu. Satu yang tiga dan tiga yang satu. Sebuah
pemikiran paradoksal yang jelas akan disumpahi manusia modern yang berpikir
linear.

Kalau disebut Salawe Nagara berarti kesatuan tiga negara yang masing-masing
memiliki delapan kabuyutan, begitu pula pusat dengan satu kabuyutan. Akan
tetapi, bukankah negara yang sempurna dalam alam pikiran masyarakat Sunda
lama itu terdiri 33 pulau (33 kabuyutan) yang dibentuk oleh 64 sungainya
yang masing-masing menyatu (campur, campuh)? Lalu di mana letak delapan
kabuyutan yang lain? Karena hanya ada satu pusat, pusat itulah yang
memiliki delapan kabuyutan.

Di situs Karangkamulyan dan Astana Gede Kawali terdapat banyak artefak
berupa batu berdiri, batu duduk, batu kursi, punden berundak, lingkaran
batu, kolam, yang belum pernah diteliti jumlahnya di tiap situs. Mungkinkah
itu yang dimaksud sebagai "kabuyutan pusat" yang terdiri dari delapan
buyut? Dengan demikian, tiga situs besar Kawali-Susuru-Karangkamulyan
merupakan tiga pusat yang bersatu membentuk Salawe Nagara?

Masih banyak misteri harus dibuka dalam artefak-artefak kabuyutan di tanah
Sunda ini. Ada berapa sisa-sisa peninggalan kabuyutan di seluruh Sunda?
Apakah Salawe Nagara itu seluruh tanah Sunda? Di mana pusat mandalanya yang
terdiri dari delapan kabuyutan itu? Atau Salawe Nagara sebenarnya ada di
setiap daerah mandala kekuasaan di Jawa Barat ini? Ini dapat berarti bahwa
galuh adalah Salawe Nagara, Pajajaran, juga Salawe Nagara?

Artefak budaya adalah terjemahan dari pikiran kolektif yang merupakan
afirmasi masyarakat Sunda. Artefak-artefak budaya Sunda mengundang cara
berpikir masyarakatnya. Dan salah satu cara berpikir itu adalah pola
rasional "matematika Sunda". Dan masyarakat ini memang banyak menanam
pikukuh-pikukuh-nya dalam bentuk bilangan-bilangan, seperti "tilu sapamula,
dua sakarupa, hiji eta-eta keneh", "cupu manik astagina", "sakawolu" dan
lain-lain.

Sudah tiba saatnya untuk "mengeluarkan" kesundaan ini dari persembunyiannya
di balik artefak-artefaknya, baik berupa ungkapan verbal maupun benda-benda
budayanya. Bahkan mungkin juga tingkah lakunya. Di balik activities dan
artefak Sunda ini akan terbaca ideas Sundanya.

Apa yang saya tulis ini tentu merupakan tafsir belaka. Terbuka cara
menafsir lain dalam pola matematikanya. Hal ini bagi saya menunjukkan
tingkat kecerdasan yang tinggi pada nenek moyang orang Sunda, yang telah
berpikir begitu mendalam, eksak, sederhana, dan jelas jernih.
Kualitas-kualitas demikian itu sering saya jumpai dalam pergaulan dengan
kawan-kawan Sunda. Bahkan yang dinamakan masyarakat Baduy yang "primitif"
(kata mereka) ternyata mengandung kualitas yang saya maksudkan di atas.
Artinya, kita tidak boleh menyepelekan cara berpikir tua ini yang memiliki
pola rasionalnya sendiri yang amat berbeda dengan pola rasional modern..***

* Jakob Sumardjo, Budayawan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 08 Februari 2009



2013/9/8 mang kabayan <dkaba...@gmail.com>

> **
>
>
> ** Wakakakakak teuing atuh da teu apal jiaaaaah mani sok di empet-2 mere
> elmu teh.... Buruuuu ketrukeuuuun naon tah hartina?
>
> Kang Oman keur ka luar negeri ceunah.
>
> nuhuuuuns,
> mang asep kabayan
> www.cipaku.org
> ------------------------------
> *From: * Ki Hasan <khs...@gmail.com>
> *Sender: * urangsu...@yahoogroups.com
> *Date: *Sun, 8 Sep 2013 19:14:32 +0800
> *To: *Urang Sunda<urangsu...@yahoogroups.com>
> *ReplyTo: * urangsu...@yahoogroups.com
> *Cc: *Kisunda<kisunda@yahoogroups.com>; Baraya_Sunda<
> baraya_su...@yahoogroups.com>
> *Subject: *Re: [Urang Sunda] Papat Kalima Pancer/ Opat Sehat Lima Sampurna
>
>
>
> Hehehe. Lain /bangsawan/ atuh A, /bangawan/ kalee. Tina pikukuh Baduy.
>
> /*AMANAT BUYUT* buyut nu dititipkeun ka puun nagara satelung puluh telu
> bangawan sawidak lima pancer salawe nagara gunung teu meunang dilebur lebak
> teu meunang dirusak larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirubah
> lojor teu menang dipotong pondok teu meunang disambung nu lain kudu
> dilainkeun nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun/
>
> Tah Kang Oman, nu resep ngabedah kanu kieu mah. Hehehe
>
>
> 2013/9/8 mang kabayan <dkaba...@gmail.com>
>
>> **
>>
>>
>> Lain euy anu dimaksud bangsawan sawidak lima nuju tilu naon artina?
>>
>> Terus ari papat kalima pancer eta naon oge euy?
>>
>> Asa sering ngadenge eta kalimat sok kasebut ngan teu apal artina :(.
>>
>> Sawidak sakumaha nya?
>> nuhuuuuns,
>> mang asep kabayan
>> www.cipaku.org
>>
>
>   
>

Kirim email ke