Berita atau artikel yang ditulis dalam http://bataviase.co.id/node/150855,
tertanggal 30 Maret 2010 menuturkan bahwa Keturunan Sunda juga menjadi raja
di Majapahit.

Berikut adalah petikan artikel tersebut  :
" ........ Sebagian mereka tinggal bersama keluarga raja Majapahit dan
keluarga-keluarga keturunan Sunda yang tinggal di Majapahit semenjak masa
Sri Kertarajasa -Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh yang berasal dari Kerajaan
Sunda- merintis berdirinya Kerajaan Majapahit ........"

Point inti dari petikan artikel tersebut adalah Raden Wijaya atau Jaka
Sesuruh yang berasal dari Kerajaan Sunda, hal ini jelas-jelas SALAH BESAR
dan dibuat-buat. Penulis artikel tersebut sepertinya menggunakan referensi
Kidung Sundayana, tetapi tidak memperhatikan prasasti-prasasti jaman
Majapahit maupun apa yang tertulis di dalam kakawin Negarakertagama.

Kakawin Negarakertagama pupuh XLVI/2 dijelaskan : " .... Narasingha(murti)
menurunkan Dyah Lembu Tal, sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan
arca Budha". Selanjutnya dalam Pupuh XLVII/1 dijelaskan : " Dyah Lembu Tal
itulah bapa Baginda Nata (Wijaya), dalam hidup atut runtut sepakat sehati
.....". Dari uraian kedua pupuh tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa Sanggramawijaya atau yang akrab disebut Raden Wijaya adalah putera
Dyah Lembu Tal, sedangkan Dyah Lembu Tal adalah putera Narasinghamurti dari
Singosari (Tumapel), yang saat ini berada di wilayah Kabupaten Malang, Jawa
Timur.

Fakta lain adalah apa yang tertulis dalam Prasasti Kudadu bertarikh 1294 M
yang menyebutkan bahwa Negara baru Majapahit dianggap sebagai lanjutan
kerajaan Singasari yang telah runtuh pada tahun 1292, sebagai bukti
kesetiaan pendirinya kepada para raja leluhur di Singasari. Selanjutnya,
Sanggramawijaya sendiri mengakui bahwa ia adalah keturunan Singasari,
putera Dyah Lembu Tal, cucu Narasinghamurti dan menantu raja Kertanegara.

Dengan demikian apa yang tertulis dalam artikel bataviase.co.id tersebut di
atas adalah salah besar dan sama sekali tidak berdasar fakta-fakta sejarah
yang ada.

Penulis : J.B. Tjondro Purnomo ,SH

bahasan

dalam Nagarakrtagama (atau lebih tepatnya disebut kakawin Desa Warnnana)
wirama (pupuh) 46 bait kedua, tertulis"...lawan sri nara singha murttyaweka
ri dyah lebu tal susrama, sang wireng laga sang dhinarmma ri mireng boddha
pratista pageh" (...dengan sri Nara Singamurti ayah Dyah Lembu Tal yang
terpuji, pemberani dalam pertempuran diabadikan di mireng dalam wujud arca
Budha). dalam wirama (pupuh) 47 bait pertama, termaktub "dyah lembu tal
sira maputra ri sang narendra" (Dyah Lembu Tal berputra baginda
raja/Kertarajasa)
dalam wirama (pupuh) 46 itu tidak disebutkan apakah Dyah Lembu Tal seorang
laki-laki atau perempuan. kata-kata "sang wireng laga..." (sang pemberani
dalam pertempuran...) jika dicermati bukanlah merujuk pada sosok Dyah Lembu
Tal tetapi pada sosok Sri Nara Singamurti, ayah dari Lembu Tal. sedangkan
dalam wirama (pupuh) 47 hanya disebutkan bahwa Dyah Lembu Tal berputra
Kertarajasa. jadi Nagarakrtagama tidak menjelaskan Dyah Lembu Tal itu
seorang laki-laki atau seorang perempuan.
mengapa Prapanca tidak memberi uraian yang lugas soal Dyah Lembu Tal? Dalam
(wirama) pupuh 46 dan 47, Prapanca memang ingin bercerita soal garis darah
prabu kertarajasa (raden Wijaya). garis darah raja-raja. prabu pertama
Wilwatikta itu/Kertarajasa (raja) merupakan keturunan nara Singamurti
(raja/bersama dengan Wisnuwardana). jadi seolah Dyah lembu tal dilewati
saja karena ia bukan raja penguasa.
jika semisal memang Dyah Lembu Tal adalah perempuan, mengapa Prapanca tidak
menyebutkan siapa ayah Raden Wijaya? analisisnya jika mengacu pada Pustaka
Rajyarajya I Bhumi Nusantara bahwa ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma dari
Sunda, maka tidak mungkin Prapanca akan menyebut sesuatu tentangnya.
mungkin sekali "Sunda" adalah sesuatu yang sensitif mengingat Prapanca juga
tidak menyebut peristiwa Pasunda Bubat sama sekali. jadi nama Rakeyan
Jayadarma (sebagai orang Sunda) tak mungkin dimasukkan Prapanca dalam
kakawin puja-pujinya itu

bukankah tafsiran soal fakta lunak dalam kajian sejarah itu terus
berkembang...secara umum memang tafsiran atas "sang wireng laga" itu selalu
mengacu pada Lembu Tal, tetapi hal ini bukan tafsir final. bukan sebuah
fakta yang validitasnya telah teruji benar. banyak tafsir soal isi dalam
kakawin desa warnnana yang masih perlu diberdebatkan lagi. permasalahannya
kita sering membaca kakawin desa warnnana dalam bentuk sudah terjemahan,
semestinya kita membaca masih dalam bentuk bahasa aslinya atau setidaknya
telah diubah dalam bahasa Jawa kawi. kembali ke permasalahan awal, memang
betul bahwa raden Wijaya itu keturunan Arok-dedes. ia memang justru darah
murni Arok Dedes, bukan seperti penguasa-penguasa Singosari terdahulu yang
didominasi konflik keturunan Tunggul Ametung-dedes dengan Arok-Umang.
tetapi bahwa Wijaya keturunan Arok hal itu tidak bisa menjadi bukti untuk
mengambil kesimpulan bahwa Dyah Lembu Tal adalah Laki-laki karena
dihubungkan dengan garis darah laki-laki yang dianut di Jawa. prasasti
Balawi bukanlah rujukan valid untuk membuktikan bahwa Lembu Tal adalah
laki-laki. prasasti itu keluar demi legitimasi kekuasaan dan tentunya telah
disesuaikan kepentingan, sama halnya misalnya Balitung membuat prasasti
Mantyasih yang menyebut pangkal penguasaan tanah Jawa (tengah) pada sosok
Sanjaya. itu juga demi legitimasi. kenapa Wijaya (jika menganut tafsir
bahwa ia keturunan Sunda )tidak menyebut sama sekali bahwa ia keturunan
Sunda, hal ini juga bisa dianalisa bahwa jelas ia tak mungkin menyebut ia
putra rakryan jayadara dari Sunda padahal ia mendirikan kerajaan di Jawa
Timur. Wijaya jelas ingin menunjukkan bahwa ia pewaris sah negeri Singosari
yang telah runtuh. untuk itulah ia menyebut Arok sebagai pangkal garis
darahnya. sangat riskan ia menyebutkan sesuatu yang "berbau" Sunda kala itu
karena mungkin sekali beberapa bawahannya akan "mempertanyakan"
kekuasaannya atas tanah jawa (bagian timur). hal ini bisa dicontohkan (jika
menarik waktu jauh ke belakang lagi)pada kasus Airlangga, menantu
Darmawangsa, yang ikut terkena dampak "pralaya". kala Airlangga selamat dan
mendirikan kerajaan Kahuripan, ia juga menarik garis pangkal pada "trah"
Darmawangsa yang masih keturunan Mpu Sendok itu (lihat pada nama abiseka
Airlangga saat diangkat jadi raja "Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramottunggadewa"). Airlangga tidak mungkin akan
menyebutkan bahwa ia putra dari wangsa Marwadewa dari Bali. Hal itu juga
demi legitimasi kekuasaan. jadi penyebutan nama raja (pendahulu)sebagai
pangkal dari kekuasaan seorang raja itu selalu disesuaikan dengan
kepentingan, dimana sang raja itu mendirikan kerajaannya.

Kirim email ke