[Hermawan Kartajaya] Belajar dari Dahlan Iskan
Grow with Character! (2/100) Series by Hermawan Kartajaya

[ Kamis, 21 Januari 2010 ]

SETELAH hampir dua puluh tahun saya jadi entrepreneur, kayaknya sudah waktunya 
melakukan confession. Paling tidak, ada tiga orang yang menginspirasi saya, 
sampai "berani" keluar dari Sampoerna dan membuka MarkPlus Professional Service 
pada 1 Mei 1990. 

Pak Dahlan Iskan adalah salah satunya. Tentu saja bukan dari seorang Dahlan 
Iskan yang sudah terbukti bisa membesarkan Jawa Pos seperti sekarang dan bahkan 
diangkat pemerintah untuk memimpin PLN seperti sekarang. 

Saya justru "belajar" dari Pak Dahlan yang masih sedang struggling 
mati-matian... Namun, saya sudah "sensing" waktu itu bahwa pada suatu ketika 
orang ini akan jadi somebody yang hebat. Untuk itu, saya perlu flashback ke 
belakang sedikit.

Ketika Pak Dahlan mulai dipercaya untuk menjalankan Jawa Pos di Surabaya, saya 
masih bekerja sebagai general manager marketing PT Panggung Electronic 
Industries.Tugas saya adalah memasarkan produk produk JVC, TEAC, MAXELL, JBL 
dan bekangan CASIOTONE. Di situlah saya untuk kali pertama belajar secara 
"praktik" bagaimana produk-produk elektronik didistribusikan. Di situ pula saya 
sadar bahwa sebagus apa pun produk dan sekuat apa pun brand yang dijual, akan 
susah dipasarkan kalau jalur distribusi tidak bagus.

Di PT Panggung yang kompleksnya ada di Waru, saya juga belajar bagaimana orang 
Jepang mengembangkan manajemen khasnya. Karena itu, saya jadi sering punya 
kesempatan untuk ke Jepang bolak-balik bersama Pak Kindarto Kohar dan Pak Ali 
Soebroto, "kulakan" dari berbagai pabrik elektronik tadi.

Nah, ketika itulah, Pak Dahlan sedang gencar-gencarnya membangun kembali Jawa 
Pos yang waktu itu oplagnya tinggal 6.000 eksemplar. Orang yang tidak punya 
pendidikan bisnis apa pun, tapi langsung praktik bisnis. Amazing... apalagi 
posisi sebelumnya, kepala biro majalah Tempo di Surabaya. Jadi murni 
redaksional!

Dalam membangun Jawa Pos, Pak Dahlan tidak mau ikut "aturan main" koran, yang 
di Surabaya "diset" oleh Surabaya Post yang koran sore. Pikirannya sederhana 
saja. Masa Jawa Pos sebagai koran pagi kalah dari koran sore... Tapi, 
masalahnya, para agen koran di Surabaya sudah tidak ada yang mau bangun subuh 
karena Jawa Pos tidak laku.

Satu hal fenomenal yang dilakukan Pak Dahlan, sambil membuat koran Jawa Pos 
menjadi different, tapi juga membuat semua karyawan jadi agen koran. 
Distribusi! Persis seperti yang saya lakukan di PT Panggung, yaitu menata 
distribusi kembali. Dari sistem distributorship menjadi branch management.

Dalam membuat Jawa Pos jadi unik, saya masih ingat Pak Dahlan yang masih 
ngantor di Kembang Jepun itu pernah mengatakan, "Kita jangan niru koran-koran 
lain yang halaman pertamanya cuma masang gambar Pak Harto tiap hari..." Jadi, 
waktu Indonesia masih "sangat vertikal", justru Jawa Pos sudah "horizontal". Di 
antaranya mendatangkan orang gede dari Kalimantan.

Berita tentang orang gede ini pasti "eksklusif" karena Jawa Pos yang "punya" 
orang itu. Pikiran dan perilaku Pak Dahlan yang dianggap aneh itulah justru 
yang akhirnya "membesarkan" Jawa Pos.

Pak Dahlan juga tidak segan-segan "minta tolong" kepada saya untuk dapat akses 
ke PT Panggung supaya bisa melihat World Cup secara langsung dari antena 
parabola, yang saat itu belum ada yang punya. Dengan demikian, Jawa Pos jadi 
koran satu-satunya yang bisa menceritakan gol-gol indah World Cup lengkap 
dengan ilustrasi pada keesokan harinya.

Saya juga masih ingat bagaimana PT Panggung "dirayu" Pak Dahlan untuk memasang 
multiscreen di Balai Pemuda untuk pameran yang di-organise Jawa Pos. Saking 
kagumnya saya, walaupun Jawa Pos masih kecil, saya sempat mengundang beliau 
masuk kelas "Marketing Management" yang saya pegang di Ubaya. Saya bahkan bikin 
kompetisi antarmahasiswa untuk bikin paper tentang kasus Jawa Pos.

Saya bahkan membawa case ini dalam talk saya ke mana-mana dengan konsekuensi 
"dimarahin" orang karena belum tentu terbukti nantinya. Tapi, itulah yang saya 
lakukan..

Kenapa?

Karena sambil mendiskusikan kasus itu, saya akan memperkuat "konsep marketing" 
yang saya baca di buku-buku dengan kenyataan praktiknya. Itulah saya "belajar" 
dari seorang Dahlan Iskan!

Selain itu, tentu saja, tulisan Reboan saya yang berjalan sejak saya masih 
bekerja di PT Panggung dan berlanjut ketika di Sampoerna. Dengan "terpaksa" 
menulis tiap Rabu, saya jadi harus banyak mencari kasus current affair untuk 
dibahas dalam kerangka konsep marketing. Saya selalu mengusahakan tulisan saya 
tidak keluar dari koridor marketing, walaupun kasus yang dibahas bisa segala 
macam. 

Misalnya, saya masih ingat artikel pertama saya di Jawa Pos adalah tentang 
Konser Pepsi Cola di Jakarta yang menampilkan Tina Turner. Saya menulis bahwa 
Tina Turner dengan voice power-nya yang saya lihat sendiri, pas untuk 
memperkuat positioning Pepsi sebagai brand yang mau different dari Coke yang 
klasik.

Tapi saya juga menulis tentang kekaguman saya terhadap Lady Di yang berhasil 
memosisikan diri sebagai people's princess mumpung tidak disukai oleh keluarga 
kerajaan! Dua kasus berbeda tapi konsep analisisnya sama. Dengan melakukan itu, 
saya berusaha supaya tulisan Reboan saya harus "hot", tapi tetap "marketing"

Jadi, selain saya "mengaku" bahwa selain belajar "marketing" dari Pak Dahlan, 
saya memang sudah berusaha "memosisikan" diri sebagai "professional marketing 
analyst" sebelum 1 Mei 1990, waktu dilahirkannya MarkPlus Professional Service 
di Surabaya.

Besok saya akan membuka "rahasia" yang lain. (*)

Sumber: http://www2.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=112646 
Koleksi Artikel2 Menarik: http://www.gsn-soeki.com/wouw/hermawankartajaya.php 


Kirim email ke